Saturday, 16 November 2024 13:23 WIB
JAKARTA, fiskusnews.com: Gara-gara setoran pajak tahun ini, gagal meraup target Rp1.988,9 triliun, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bakal gas pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Berdalih amanat dari UU Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP).
Padahal, banyak ekonom menyarankan agar penerapan PPN 12 persen berdasarkan UU HPP itu, ditunda. Karena momentumnya belum tepat. Saat ini, daya beli masyarakat cukup terpuruk.
Indikasinya cukup banyak. Mulai dari berkurangnya jumlah kelas menengah 9,5 juta jiwa pada 2023. Itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang meneropong adanya penurunan jumlah penduduk kelas menengah dalam 5 tahun (2019-2023).
Pada 2019, BPS mencatat, jumlah rakyat kelas menengah masih 57,33 juta jiwa. Namun pada 2023, susut besar menjadi 48,27 juta jiwa. Tahun ini, turun lagi menjadi 47,85 juta penduduk.
Tentu saja, kenyataan di lapangan tak ‘seindah’ angka-angka BPS tentang kemiskinan kelas menengah itu. Kuat kemungkinan jumlahnya lebih besar lagi.
Bukti lainnya adalah deflasi lima bulan beruntun sejak Mei 2024 adalah gambaran letoinya daya beli. Jika benar tahun depan PPN dikerek 12 persen, maka semakin ‘matilah’ daya beli masyarakat.
Kenaikan PPN meski hanya 1 persen, berdampak kepada naiknya biaya produksi. Karena tak mau rugi, industri barang maupun jasa akan menaikkan harga. Karena bahan baku harganya juga naik.
Bagi industri yang tak kuat, pilihannya sangat pahit. Mengurangi operasional pekerja atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dua-duanya memberikan ampak kepada semakin beratnya aya beli.
Demikian pula sektor jasa juga akan menyesuaikan dengan perkembangan harga barang di pasaran. Intinya, seluruh sendi kehidupan bakalan berat.
Tahun depan, Ketika banyak pengangguran, daya beli babak belur, Sri Mulyani justru menggenjot pajak dengan pilihan mengerek PPN menjadi 12 persen. Bukan berburu pajak orang kaya yang diprediksi memberikan tambahan bagi penerimaan negara Rp80 triliun.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Achmad Hanif Imaduddin, berharap, pemerintahan Prabowo subianto-Gibran Rakabuming Raka berani menerapkan pajak kekayaan bagi kelompok tajir melintir di Indonesia.
Dia mengitung, jika 50 orang kaya di Indonesia (Forbes) dikenakan pajak 2 persen saja, pemerintah akan mendapat tambahan pajak senilai Rp81 triliun. Mulai dari Prajogo Pangestu, Budi Hartono bersaudara dan lainnya.
Di mana, pajak kekayaan dikenakan kepada warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan atau aset minimal US$1 juta atau setara Rp15,5 miliar (kurs Rp15.500/US$).
“Kalau kita mengambil data dari Forbes, kami pernah melakukan proyeksi dari 50 orang terkaya di Indonesia, apabila kekayaannya ini dikenai pajak, kita bisa mendapatkan sekitar Rp81 triliun,” ujar Hanif, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Tapi itu tadi, Sri Mulyani tak mau mendengar usulan Celios. Dia memilih menggenjot pajak yang menyasar 280 juta rakyat Indonesia yang didominasi kaum duafa. Rasa-rasanya, jumlah orang miskin bakal semakin sesak saja di negara kita.
Reporter: Amanda Valerina
Sumber: https://www.inilah.com/tahun-depan-hidup-makin-berat-sri-mulyani-pilih-pajaki-orang-miskin-ketimbang-konglomerat
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com