Tuesday, 26 November 2024 00:50 WIB
JAKARTA,fiskusnews.com – Legenda Robin Hood merupakan sebuah legenda yang menceritakan perjuangan seorang pria dalam membantu masyarakat sekitarnya dari penindasan penguasa. Dalam legenda yang berlatar keadaan Inggris di akhir abad ke-12 ini, diceritakan bahwa Robin Hood berusaha membantu rakyat yang tertindas dengan cara yang unik : mengambil harta kaum penindas dan membagikannya kepada rakyat yang membutuhkan. Hal ini merupakan bentuk pemberontakan Robin Hood terhadap keadaan saat itu, ketika penindasan merupakan sebuah perilaku yang kerap dijumpai di lingkungan sekitarnya. Cerita yang sejenis ternyata juga kita temui di Indonesia dalam legenda Si Pitung. Tidak berbeda dengan legenda Robin Hood, legenda ini menceritakan sosok pahlawan Betawi yang berusaha menolong rakyat sekitarnya dengan cara mengambil harta kaum penindas dan membagikannya kepada rakyat yang membutuhkan. Berlatar keadaan Betawi (Indonesia) pada masa kolonial, legenda ini adalah kisah kepahlawan paling heroik di Indonesia.Bedanya, Si Pitung juga harus melawan kaum penjajah, sedangkan Robin Hood hanya menghadapi penindas sebangsanya. Ada beberapa kesamaan yang terdapat dalam legenda Robin Hood dan legenda Si Pitung.Kesamaan dalam legenda Robin Hood dan legenda Si Pitung diantaranya dapat dilihat dari modus yang digunakan untuk membantu kaum miskin yang tertindas. Modus yang digunakan kedua tokoh ini cukup unik, karena mereka membantu masyarakat dengan cara merampok harta kaum penguasa. Membantu dengan cara merampok tentu merupakan suatu hal yang tidak lazim, namun begitulah cara Robin Hood dan Si Pitung membantu masyarakat di sekitarnya.
Sejarah Pajak Indonesia
Sejarah kemerdekaan Indonesia tidak melulu soal peran besar Soekarno dan Muhammad Hatta. Kalau keduanya adalah pemeran utama, seperti halnya drama, selalu ada tokoh lain di balik layar yang perannya tidak kalah penting dalam membidani kelahiran Indonesia menjadi Negara yang berdaulat dan diakui dunia. Dia tidak banyak bicara, jarang tampil layaknya Sang Proklamator, tetapi jeli dalam menyusun pilar-pilar negara yang berserakan dan nyaris luput dari pengamatan.
Adalah Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952), Dokter Jiwa yang punya andil besar dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar 1945. Beliau pula, cerdik cendikia yang mengusulkan agar pemungutan pajak di Indonesia diatur secara hukum. Atas usulannya tersebut, pajak untuk pertama kalinya dibahas dalam sidang Panitia Kecil Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia–Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI–PPKI) yang dia pimpin. Kata “pajak” kemudian muncul dalam draf kedua UUD yang disampaikan BPUPKI PPKI pada 14 Juli 1945.
Atas dasar itu, Muhammad Hatta memutuskan untuk memasukan pajak dalam Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Sejarah itu yang kemudian membuat Radjiman Wedyodiningrat dikenang sebagai Bapak Pajak Indonesia dan tanggal 14 Juli 1945 ditetapkan sebagai Hari Pajak Nasional.
Sejatinya, pemungutan pajak di Nusantara telah berlangsung sejak era kerajaan yang diawali dengan konsep upeti. Dalam Buku Profil Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2014) dijelaskan, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ketika dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629), diberi hak octrooi yang salah satunya adalah mencetak uang dan melakukan kebijakan perekonomian. Sejak tahun 1600-an, VOC mengeluarkan kebijakan untuk menambah isi kas negara dengan menetapkan peraturan verplichte leverentie (kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC), contingenten (pajak hasil bumi, pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah agar harganya tinggi, dan preangerstelsel (kewajiban menanam pohon kopi).
Akibat terjadinya keadaan ekonomi yang memprihatinkan dikarenakan adanya peraturan agraria Laissez faire laissez passer–perekonomian diserahkan pada pihak swasta (kaum kapitalis)—yang dilakukan atas desakan kaum Humanis Belanda, pemerintahan Hindia Belanda membentuk Departement van Financien pada tahun 1924. Sejak itu, pajak dipungut secara kelembagaan melalui 3 Djawatan di bawah Departemen Van Financien: (1) Djawatan Padjak; (2) Djawatan Bea Cukai; dan (3) Djawatan Padjak Hasil Bumi.
Pada Zaman Jepang, Departemen Van Financien Berganti Nama Menjadi Zaimubu dan ketiga Djawatan tersebut digabungkan (1942). Sayangnya, pajak yang dipungut sebelum kemerdekaan kurang mencerminkan rasa keadilan, tidak transparan, dan sifatnya lebih menunjukan superioritas penguasa kepada rakyatnya. Keprihatinan ini yang menjadi landasan Radjiman mengusulkan agar dibuat rambu-rambu hukum pemungutan pajak.
Pengusaha Penguasa
Penguasa menurut hemat saya adalah seorang atau kelompok yang diberi dan mempunyai kewenangan berkenaan dengan keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan olehnya akan menjadi pedoman serta dapat mempengaruhi banyak orang dalam hal tertentu. Sementara itu pengusaha adalah seorang atau kelompok yang melakukan kegiatan perekonomian tertentu baik dalam kategori kecil sampai dengan kategori besar untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Perlu untuk kita ketahui bersama bawasannya Penguasa dan Pengusaha ibarat dua sisi mata uang, dimana dua sisi mata uang merupakan bagian yang saling melengkapi supaya uang tersebut mempunyai nilai tukar. Artinya penguasa dan pengusaha harus saling melengkapi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Lalu bagaimana jika penguasa dan pengusaha bertemu untuk suatu kepentingan pribadi yang menguntungkan? Dan bagaimana jika penguasa dan pengusaha adalah satu pribadi (1 orang)?
Jika Penguasa dan Pengusaha mempunyai itikad yang baik maka akan berdampak pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi Masyarakat. Namun pada kenyataanya masih banyak oknum Penguasa (pejabat) yang menyalahgunakan kekuasan tersebut demi tercapainya kepentingan pribadi. Sebab Demokrasi memberikan ruang yang luas bagi penguasa untuk berbisnis dalam kekuasaan.
Tidak tanggung-tanggung banyak pengusaha yang relah mengeluarkan dana demi mempengaruhi penyusunan kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh para penguasa (pejabat) agar kepentingan mereka terakomodasi dengan modus-modus yang canggih, bahkan bisa menjurus manipulatif. Inilah yang dinamakan industri hukum.
Maka kita sebagai masyarakat perlu ikut mengkaji, dan mengawasi secara menyeluruh dampak dari kebijakan tersebut. Karna Aturan hukum yang dikuasai oleh penguasa, dan pengusaha mengendalikan hukum dengan uang. Persis seperti apa yang di katakan oleh Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) “Penguasa menentukan maju mundurnya pengusaha. Tapi pada dasarnya penguasa didorong oleh pengusaha.
Akibat Pengusaha Merangkap Penguasa
Dengan rencana Pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% jelas akan sangat membebani daya beli masyarakat mengingat adalah jenis pajak tidak langsung yang dititipkan pemungutannya oleh penguasa kepada pengusaha. Beban terakhir atas pajak ini konsumen terakhir, tidak perduli apakah konsumen itu mampu atau tidak mampu daya belinya, begitu konsumsi barang atau jasa yang menjadi objek PPN harus membayar juga pungutan 12% itu. Pajak disini jelas berfungsi sebagai budgetair, mengisi kas negara dengan mengorbankan rasa keadilan dari rakyat kecil.
Disisi yang lain telah dibahas di Prolegnas renca Tax Amnesty yang menyasar orang-orang kaya (HnWI) yang telah dianggap tidak patuh membayar pajak, artinya penguasa mentolerir pelanggaran pajak dengan diadakannya pengampunan pajak berkali- kali. Penguasa telah mengakui gagal mengawasi pengusaha untuk patuh membayar pajak sehingga penghasilan sudah terlanjur terakumulasi menjadi kekayaan.
Kebijakan penguasa kali ini sangat berpihak kepada pengusaha. Inilah akibat dari pengusaha yang merangkap sebagai penguasa, atau penguasa “nyambi” jadi pengusaha.(jis)
Jakarta, 26 November 2024
Joko Ismuhadi Soewarsono*)
*)penulis merupakan seorang akademisi anggota utam Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perserikatan Ahli Hukum Indonesia (Perkahi), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan dan doktor bidang hukum perpajakan.
Disclaimer: pendapat diatas merupakan pendapat pribadi penulis terlepas dari institusi penulis bekerja.
Referensi:
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com