Friday, 11 October 2024 04:09 WIB
Jakarta – fiskusnews.com:
Sekitar sepuluh hari ke depan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tak akan sama lagi, seperti yang kita kenal selama ini.
Di pemerintahan baru Prabowo – Gibran, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang sebelumnya menjadi bagian dari Kemenkeu, akan bersalin rupa menjadi Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk kemudian bermetamorfosis sebagai sebuah Kementerian.
Hal tersebut disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, bahkan menurutnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah mengantongi nama calon menteri untuk lembaga negara baru tersebut.
“Ada Asta Cita ke-8 itu Badan Penerimaan Negara, itu jadi Kementerian Penerimaan Negara. Menterinya sudah ada,” ucap adik Prabowo itu, seperti dilansir CNNIndonesia. Selasa (08/10/2024) kemarin.
Pemerintahan baru Indonesia, yang akan mulai memerintah pada 20 Oktober 2024 tersebut menganggap pembentukan BPN diperlukan untuk mengerek rasio penerimaan negara Indonesia menjadi 23 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), guna mengejar rata-rata pertumbuhan ekonomi di kisaran 7-8 persen dalam 3 tahun mendatang.
Selain pajak, bea dan cukai, BPN juga akan diberi tanggung jawab untuk mengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sebelumnya berada di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kemenkeu.
PNBP yang nantinya bakal dikelola BPN berasal dari empat sektor, PNBP sumber daya alam (SDA), dari pendapatan kekayaan negara yang dipisahkan, misalnya dari deviden perusahaan BUMN, pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), dan pendapatan lainnya yang berasal dari pengurusan SIM, paspor dan penjualan barang sitaan korupsi.
Dengan rencana ini, artinya bakal ada reorganisasi besar-besaran di Kemenkeu, paling tidak akan ada dua Direktorat besar, yang menurut catatan Kemenkeu memiliki jumlah pegawai mencapai hampir 55 ribu orang.
Secara teknis, perubahan nomenklatur ini akan lumayan merepotkan dan membutuhkan waktu panjang untuk konsolidasi mulai dari urusan infrastruktur, personalia, hingga sistemnya, sementara pekerjaan mengumpulkan pendapatan negara harus tetap dilakukan.
Namun, berkaca dari pengalaman negara lain yang memisahkan tax and revenue collection dari Kemenkeu, seperti yang dilakukan di Singapura, Malaysia, China, Pakistan, atau Amerika Serikat, langkah ini memiliki sejumlah potensi positif.
Dengan memiliki Badan atau Kementerian Penerimaan Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, koordinasi antar lembaga bakal lebih fleksibel dan bargaining position nya akan semakin kuat dibandingkan saat setingkat direktorat di bawah Kemenkeu.
Selain itu, dalam perspektif saya pemisahan ini berpotensi mengurangi panjangnya birokrasi dan biaya administrasi yang berkaitan dengan integrasi fungsi penerimaan ke dalam struktur yang lebih besar.
Persoalan pengawasan pun menjadi lebih mudah, karena berdiri sendiri. Publik dan lembaga independen bisa mengawasi lebih tajam, lantaran tak ada lapisan-lapisan di atasnya yang harus dilewati.
Sebagai lembaga mandiri, nantinya BPN memiliki kebebasan untuk menyusun kebijakan dan prosedur tanpa tekanan selain dari Presiden.
Dalam hal sumber daya manusianya, dengan lembaga yang terpisah, bakal lebih fokus untuk merekrut dan melatih para pegawainya agar memiliki keahlian khusus di bidang perpajakan dan penerimaan negara. Sehingga agilitasnya menjadi lebih tinggi dan kreatif.
Namun demikian, yang harus diingat adalah saat proses transisinya itu, sudah kebayang saja prosesnya bakal lumayan alot, membuat lembaga baru itu selalu tidak mudah, meskipun persoalannya ada di integrasi sebenarnya, tak dibangun from the stratch.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya saat baru didirikan 12 tahun yang lalu, agar sampai pada titik bisa beroperasi saja butuh waktu 3 sampai dengan 4 tahun.
Reorganisasi pasti akan menyakitkan di awal dari setiap sisi, biaya yang besar, tertatih-tatih di awal, namun jika dilakukan dengan benar, pembentukan BPN sebagai lembaga mandiri akan menjadi bitter sweet, pahit di awal tapi manis di akhir.
Pembentukan BPN merupakan langkah strategis yang diambil pemerintah baru untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meskipun proses transisi mungkin akan menimbulkan tantangan, potensi manfaat yang dihasilkan dalam jangka panjang diharapkan akan jauh lebih besar.
Kunci keberhasilan reorganisasi ini terletak pada perencanaan yang matang, eksekusi yang cermat, dan komitmen untuk menciptakan sistem penerimaan negara yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel.
Dengan demikian, Badan Penerimaan Negara atau nantinya Kementerian Penerimaan Negara dapat menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Sumber: kompasiana (Efwe)
Reporter: Amanda Valerina
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com