Sunday, 10 November 2024 09:22 WIB
Jakarta – fiskusnews.com:
Pemerintah dan DPR RI telah sepakat menargetkan penerimaan pajak pada tahun 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun atau mengalami pertumbuhan 9,4% dibandingkan target 2023 yang mencapai Rp1.818,2 triliun (berdasarkan Perpres 75 tahun 2023). Target tersebut telah diundangkan dengan Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024.
Sumber: Kemenkeu RI, 2023
Target tahun 2024 tersebut sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun global yang merupakan referensi dari berbagai lembaga internasional seperti bank dunia dan IMF, serta didukung oleh berbagai kebijakan pajak yang lebih optimal. Upaya mencapai target pajak pada tahun depan tidak mudah. Terdapat beberapa tantangan yang perlu menjadi perhatian, antara lain tensi geopolitik yang semakin memanas. Perang Rusia dan Ukraina yang belum selesai, disambung oleh perang Israel dan Hamas menjadi tantangan bagi upaya dalam mencapai target pajak pada tahun depan. Ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China juga patut dicermati karena akan memberikan pengaruh terhadap perdagangan global. Tantangan lain yang muncul adalah dampak perubahan iklim yang sudah terlihat sekarang dengan kekeringan di mana-mana dan memicu krisis pangan dalam jangka waktu lama. Kemudian yang tidak kalah pelik adalah perkembangan digitalisasi yang teramat cepat.
Kebijakan pajak lebih optimal yang akan dilakukan untuk merealisasikan target penerimaan pajak 2024 antara lain:
Salah satu upaya pengawasan terarah dan menjadi prioritas adalah pengawasan atas wajib pajak HWI beserta wajib pajak grup, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital. Tentunya objek utama yang menjadi perhatian adalah ketersediaan data dan informasi pajak. Selama ini, pemerintah dalam hal ini DJP terus memperbaiki sistem administrasi serta kepastian regulasinya untuk memperluas basis data dan informasi perpajakan. Pemerintah telah memiliki kewenangan untuk meminta data keuangan berupa laporan keuangan, bukti, maupun keterangan dari lembaga jasa keuangan, seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, atau jasa keuangan lainnya berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang, yang data tersebut secara rutin diterima oleh DJP setiap bulan April. Semua Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lainnya (ILAP) juga mengirim data terkait perpajakan secara berkala kepada DJP yang diterima setiap bulan, setiap semester atau setiap tahun tergantung dari jenis datanya. Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia juga aktif berpartisipasi dalam pertukaran data otomatis (AEOI) dengan banyak yurisdiksi di dunia, tercatat saat ini sudah lebih dari 100 yurisdiksi partisipan (inbound), dan yurisdiksi tujuan pelaporan (outbound) yang diterima setiap bulan September.
Kerahasiaan Data dan Informasi Pajak
Data dan informasi pajak yang disampaikan wajib pajak kepada DJP tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya kerahasiaan ini wajib pajak akan merasa aman tentang data dan informasi yang dimilikinya dikarenakan pihak DJP dilarang memberikan data dan informasi dalam bentuk apapun. Beberapa waktu terakhir data dan informasi wajib pajak menjadi polemik kembali terutama atas kerahasiaannya. Ada berbagai pihak yang berpendapat bahwa apabila wajib pajak pemilik data dan informasi pajak telah menyatakan diri dan bersedia untuk membuka kepada publik, maka kerahasiaan atas data dan informasi pajak terutama yang sudah dilaporkan ke kantor pajak tersebut sudah bukan merupakan kerahasiaan. Dalam praktiknya, apabila pembukaan data dan informasi pajak tersebut dilakukan dalam proses pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum pajak, serta melibatkan atau bersama-sama dengan fiskus, maka fiskus terikat pada peraturan perundang-undangan dan akan melanggar hukum serta dapat dipidanakan. Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dikatakan bahwa setiap fiskus dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya. Larangan tersebut berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam perkembangan selama ini, terdapat berbagai upaya dari pihak lain untuk menghilangkan kerahasian data dan informasi pajak, antara lain:
Ketentuan Kerahasiaan Data dan Informasi Pajak
Kerahasiaan mengenai data dan informasi wajib pajak yang harus dijaga oleh fiskus sudah diatur secara jelas dan lengkap dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan: Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlalu juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (2a) menyebutkan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: 1) Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan, atau 2) Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. Dari penjelasan pasal tersebut diketahui bahwa data dan informasi wajib pajak merupakan rahasia.
Dalam penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) dinyatakan bahwa keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas wajib pajak dan informasi bersifat umum tentang perpajakan.
Identitas wajib pajak meliputi:
Informasi bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
Pada penjelasan ayat sebelumnya, yaitu dalam penjelasan Pasal 34 Ayat (1) dijabarkan bahwa setiap pejabat, baik fiskus maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
Data dan informasi wajib pajak tersebut bisa menjadi sangat sensitif dan akan menimbulkan kerugian yang sangat besar apabila disampaikan atau diketahui oleh pihak lain yang tidak berhak dan berwenang, sehingga harus merupakan hal yang dirahasiakan, dalam hal ini wajib dirahasiakan oleh fiskus. Oleh karena itu, setiap pejabat baik mereka petugas pajak ataupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak kepada pihak yang tidak berhak yang menyangkut masalah perpajakan. Tidak hanya pejabat ataupun petugas pajak yang tidak diperbolehkan membuka rahasia wajib pajak dalam UU ini, tetapi para Ahli seperti Ahli Bahasa, Akuntan, dan Pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan UU Perpajakan juga memiliki kewajiban yang sama, yakni menjaga rahasia wajib pajak. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka ancaman pidana juga diatur secara tegas dalam UU KUP pada Pasal 41 ayat (1), yaitu Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Ayat (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Kewajiban menjaga rahasia memang tetap memiliki pengecualian, dalam arti untuk kepentingan tertentu maka rahasia itu bisa dibuka. Tetapi pengecualian ini harus diatur dengan jelas dan ditentukan secara tegas, misalnya untuk kepentingan pemeriksaan perkara perpajakan di depan persidangan di Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak atau kepentingan lain yang dibenarkan UU seperti penyampaian rahasia kepada lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara seperti BPK dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kerahasiaan data dan informasi pajak juga diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam Pasal 21, BAB X tentang Manajemen Data dan Informasi, dinyatakan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak kepada pihak lain. Pegawai maupun peserta tax amnesty dilarang menghidupkan perangkat seluler maupun kamera untuk mencegah bocornya data. Hal tersebut sebagai bentuk antisipasi, sekaligus memastikan kepada wajib pajak bahwa data-data yang ada di kantor pajak itu aman. Karena dengan handphone bisa mengambil foto dan bisa disebarkan. Data dan informasi yang disampaikan wajib pajak dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri. Data dan informasi yang disampaikan wajib pajak digunakan sebagai basis data perpajakan DJP. Menyampaikan data dan informasi pajak yang jelas, benar, dan lengkap akan lebih baik dalam kaitannya dengan kepatuhan formal dan materiel wajib pajak yang bersangkutan. DJP akan melakukan pengetatan/kerahasiaan yang sama atas data dan informasi wajib pajak yang diperoleh tidak melalui penyerahan dari wajib pajak itu sendiri seperti data temuan dari proses pemeriksaan atau data dari pihak ketiga, ILAP. Keterbukaan atau kejujuran dalam memenuhi kewajiban perpajakan pada akhirnya menjadi hal krusial yang menentukan tindakan yang dapat dikenakan terhadap wajib pajak pada masa mendatang. Kesengajaan yang mengakibatkan tidak disampaikannya data dan informasi pajak yang benar, jelas, dan lengkap dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara merupakan objek penegakan hukum yang memiliki sanksi yang lebih berat.
Praktik Kerahasiaan Data dan Informasi Pajak di Berbagai Negara
Di beberapa negara, aturan kerahasiaan data dan informasi pajak diatur dengan tegas. Data dan informasi wajib pajak hanya bisa dibuka apabila untuk kepentingan perpajakan tertentu. Bagi petugas pajak/fiskus yang melanggar, maka sanksi tegas akan diberlakukan terhadap petugas/fiskus pajak tersebut dalam rangka menjaga kepentingan wajib pajak. Dalam bahasan Committee of Fiscal Affairs on Tax Administration, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), menyatakan bahwa:
“Another basic taxpayers’ right is that the information available to the tax authorities on the affairs of a taxpayer is confidential and will only be used for the purposes specified in tax legislation. Tax legislation usually imposes very heavy penalties on tax officials who misuse confidential information and the confidentiality rules that apply to tax authorities are far stricter than those applying to other government departments.” (OECD Committee of Fiscal Affairs on Tax Administration).
Yang berarti, hak dasar wajib pajak adalah bahwa informasi yang tersedia bagi fiskus mengenai data wajib pajak bersifat rahasia dan hanya akan digunakan untuk tujuan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Perundang-undangan perpajakan biasanya memberikan hukuman yang sangat berat kepada fiskus yang menyalahgunakan informasi rahasia dan aturan kerahasiaan yang diterapkan pada otoritas pajak jauh lebih ketat dibandingkan dengan peraturan yang diterapkan pada Kementerian/departemen pemerintah lainnya.
Dari hasil identifikasi dan inventarisasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa beberapa negara menerapkan atau membuat Taxpayers Charter yang memuat tentang status hukum, beberapa hak-hak dasar, dan kewajiban antara otoritas pajak dan pembayar pajak. Negara yang telah menerapkannya di antaranya Australia, Kanada, Prancis, India, Irlandia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Pakistan, Filipina, Rusia, dan Amerika Serikat. Dengan adanya charter ini dapat memiliki manfaat karena hubungan antara otoritas pajak, pembayar pajak, dan konsultan menjadi saling mengetahui hak, kewajiban, dan meningkatkan kepercayaan yang tinggi. Berikut beberapa hal yang ada pada charter yang dimiliki oleh beberapa negara:
Sumber: The Charter Institute of Taxation, United Kingdom
Data dan informasi perpajakan adalah bersifat rahasia dan patut dijaga kerahasiaannya oleh setiap fiskus di lingkungan DJP secara khusus dan di lingkungan Kementerian Keuangan secara umum. Ini penting untuk dilakukan, sebab sesuai dengan guidance yang diberikan OECD, data dan informasi perpajakan bersifat sensitif dan dapat mempengaruhi kepercayaan wajib pajak kepada otoritas pajak. Oleh karena itu, sebelum mengharapkan wajib pajak mau melaksanakan kewajiban perpajakannya, adalah penting bagi DJP untuk menjamin kerahasiaan data wajib pajak aman. Hal tersebut akan membangun saling kepercayaan (mutual trust) di ekosistem perpajakan.
Herry Setyawan
Bekerja di Direktorat Jenderal Pajak RI
tulisan ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili institusi di mana penulis bekerja
Sumber: https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/jaminan-kerahasiaan-atas-data-dan-informasi-wajib-pajak-
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com