Saturday, 03 May 2025 10:36 WIB
Jakarta, fiskusnews.com:
Pendahuluan
Tanah memiliki signifikansi yang mendasar di Indonesia, baik dari sudut pandang ekonomi maupun sosial, terutama sebagai negara agraris. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memegang peranan sentral dalam membentuk kerangka hukum tata kelola pertanahan di Indonesia. Pandangan yang disampaikan pengguna mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas seputar interpretasi pasal ini, khususnya terkait dengan komodifikasi tanah dan hubungannya dengan inflasi. Laporan ini bertujuan untuk memberikan analisis komprehensif terhadap ketentuan konstitusional ini, implikasinya terhadap pasar tanah, dan perdebatan yang sedang berlangsung mengenai komodifikasi tanah, dengan memanfaatkan materi penelitian yang tersedia.
Laporan ini akan mengupas tuntas isu-isu utama seperti konsep “Penguasaan Negara” atas tanah, perdebatan mengenai komodifikasi tanah, dampak terhadap pasar tanah dan inflasi, peran kebijakan reformasi agraria, perspektif internasional, serta rekomendasi kebijakan.
Konsep “Penguasaan Negara” (State Control) atas Tanah
Definisi “Dikuasai oleh Negara”
Frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sering kali menjadi subjek interpretasi yang mendalam dalam ranah hukum dan ekonomi. Secara harfiah, frasa ini mengandung makna bahwa negara memegang kendali atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun, dalam konteks hukum agraria Indonesia, “dikuasai” memiliki pengertian yang lebih tinggi dan luas dibandingkan dengan sekadar kepemilikan dalam hukum perdata. Konsep ini mengimplikasikan otoritas negara untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi tanah demi kemaslahatan bersama.
Penjelasan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa negara bertindak sebagai badan penguasa (badan penguasa) atas agraria atas nama seluruh rakyat, bukan sebagai pemilik tanah itu sendiri. Konsep ini berakar pada prinsip kedaulatan rakyat (people’s sovereignty) dalam dimensi politik maupun ekonomi. Bahkan, Pasal 33 ayat 3 dapat disederhanakan menjadi “agraria dikuasai negara”. Selain itu, definisi agraria dalam pasal ini juga mencakup “ruang angkasa”. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjelaskan bahwa “dikuasai oleh negara” adalah konsep hukum publik yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat, dan tujuannya adalah untuk mencapai “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini secara fundamental menetapkan kepemilikan negara atas sumber daya alam seperti tanah dan air, yang pengelolaannya harus ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam demi tujuan kemakmuran bangsa.
Evolusi Interpretasi
Interpretasi terhadap konsep “Penguasaan Negara” telah mengalami evolusi seiring dengan perkembangan sejarah hukum di Indonesia. Pada awalnya, pembentukan undang-undang telah meninggalkan konsepsi feodal dalam hubungan hukum antara negara dan tanah, yang mana semua tanah dalam wilayah negara dianggap milik raja. UUPA sendiri lahir sebagai respons terhadap ketidakadilan yang dialami rakyat Indonesia di bawah kebijakan kolonial. Namun, perdebatan mengenai batasan dan bentuk penguasaan negara terus berlanjut di kalangan ahli hukum dan ekonomi, terutama terkait dengan peran pihak non-negara dalam mengelola faktor-faktor produksi yang disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pandangan Soepomo cenderung mendukung peran negara yang dominan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sementara Muhammad Hatta lebih menekankan pada regulasi negara untuk mencegah eksploitasi.
Komodifikasi Tanah: Perspektif dan Kekhawatiran
Argumen Mendukung Tanah sebagai Komoditas
Terdapat argumen ekonomi yang mendukung perlakuan tanah sebagai komoditas, terutama dalam kaitannya dengan memfasilitasi investasi, pertumbuhan ekonomi, dan alokasi sumber daya yang efisien. Komodifikasi dapat mendorong perkembangan pasar tanah, yang berpotensi meningkatkan nilai tanah dan menghasilkan pendapatan. Pasar tanah, sebagai prasyarat bagi produksi kapitalis, memungkinkan tanah diperdagangkan dan harganya ditentukan oleh mekanisme pasar. Dalam konteks pariwisata, nilai-nilai sakral pun dapat dikomodifikasi untuk tujuan ekonomi. Dalam investasi skala besar, tanah sering kali berubah menjadi komoditas ekonomi semata.
Kekhawatiran dan Argumen Menentang Komodifikasi Tanah
Namun, terdapat kekhawatiran dan argumen sosio-legal yang menentang perlakuan tanah sebagai komoditas semata, menekankan fungsi sosial, signifikansi budaya, dan potensi eksploitasi yang terkandung di dalamnya. Kekhawatiran ini meliputi potensi peningkatan ketidaksetaraan, konsentrasi kepemilikan tanah, penggusuran masyarakat, dan erosi hak-hak tradisional. Tanah dianggap tidak seharusnya menjadi instrumen eksploitasi, dan kepemilikannya perlu dibatasi untuk mencegah konsentrasi kekuasaan. Mohammad Hatta sendiri menentang tanah sebagai objek perdagangan semata dan menekankan fungsi sosialnya, menganjurkan pembatasan kepemilikan individu dan bisnis. Sistem kapitalis-neoliberal dikritik karena mengubah ruang hidup komunal menjadi ruang produksi kapital, yang menyebabkan ketidaksetaraan dan kerusakan lingkungan. Bahkan, pada tahun 2013, 1% penduduk Indonesia menguasai 68% lahan. Komodifikasi tanah melalui lembaga seperti Bank Tanah juga dikhawatirkan akan memperburuk konflik agraria dan kurang melindungi ekosistem. Komodifikasi tanah adat untuk pembangunan juga dapat menyebabkan ketidaksetaraan sosial dan penggusuran masyarakat adat.
Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dan Pasar Tanah di Indonesia
Penilaian Tanah dan Dinamika Pasar
Mekanisme penilaian tanah di Indonesia melibatkan berbagai metode, termasuk peran Zona Nilai Tanah (ZNT) dan perbandingan pasar. ZNT sendiri merupakan kumpulan area yang terdiri dari beberapa bidang tanah dengan nilai tanah yang relatif sama, yang ditentukan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan kantor pertanahan. Nilai tanah dipengaruhi oleh faktor fisik, ekonomi, sosial, dan pemerintah. Interpretasi Pasal 33 ayat 3 dapat memengaruhi metode penilaian ini dan keseluruhan fungsi pasar tanah.
Spekulasi Properti dan Penimbunan Tanah
Fenomena spekulasi properti dan penimbunan tanah (land banking) juga menjadi perhatian di Indonesia, yang dapat didorong oleh komodifikasi tanah. Praktik ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap harga tanah dan aksesibilitas, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan pembekuan tanah (land freezing) di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) diterapkan untuk mencegah spekulasi tanah dan mengendalikan kenaikan harga, mengingat dampak negatif spekulasi terhadap pembangunan strategis dan keadilan sosial. Perlakuan tanah sebagai komoditas memungkinkan pihak yang memiliki kekuatan ekonomi untuk menguasainya, yang dapat memicu spekulasi. Kenaikan harga tanah yang terus meningkat di wilayah Jabodetabek juga mendorong pengembang swasta untuk melakukan penimbunan tanah, yang pada akhirnya dapat menghambat pembangunan perumahan dengan harga terjangkau.
Komodifikasi Tanah dan Inflasi
Terdapat potensi keterkaitan antara komodifikasi tanah dan inflasi di sektor properti Indonesia. Peningkatan permintaan akibat komodifikasi, ditambah dengan pasokan tanah yang terbatas, dapat mendorong kenaikan harga properti dan berkontribusi pada inflasi. Tanah sebagai aset fisik cenderung mempertahankan atau meningkatkan nilainya selama inflasi, berfungsi sebagai lindung nilai. Namun, permintaan yang tinggi dan penawaran tanah yang terbatas, bersama dengan kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi seperti inflasi, secara keseluruhan berkontribusi pada kenaikan harga tanah. Nilai ekonomi tanah sangat bergantung pada penawaran dan permintaan, dan kelangkaannya di daerah perkotaan menyebabkan harga yang tinggi dan spekulasi.
Reformasi Agraria: Implementasi Mandat Konstitusi
Konteks Historis dan Tujuan Reformasi Agraria
Sejarah reformasi agraria di Indonesia telah mengalami berbagai dinamika, mulai dari upaya Landreform pada masa Orde Lama hingga “Reforma Agraria” pasca-Orde Baru. Tujuan utama reformasi agraria adalah untuk mengurangi ketidaksetaraan dalam kepemilikan tanah, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas pertanian, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat 3. UUPA tahun 1960 menjadi landasan penting untuk menciptakan keadilan dalam penguasaan sumber daya agraria.
Kemajuan, Tantangan, dan Implementasi
Implementasi reformasi agraria sejak era pasca-Orde Baru telah menunjukkan kemajuan, termasuk program redistribusi tanah dan sertifikasi. Namun, berbagai tantangan dan hambatan masih menghalangi efektivitasnya, seperti kendala birokrasi, kompleksitas hukum, dan resistensi dari kepentingan tertentu. Meskipun upaya reformasi agraria terus dilakukan, ketidaksetaraan kepemilikan tanah dan konflik agraria masih menjadi masalah yang signifikan.
Menyeimbangkan Kepentingan Ekonomi dengan Keadilan Sosial
Reformasi agraria berupaya menyeimbangkan kebutuhan pembangunan ekonomi, termasuk investasi di sektor berbasis lahan, dengan mandat konstitusional untuk keadilan sosial dalam distribusi dan akses tanah. Namun, seringkali terdapat potensi konflik dan sinergi antara kedua tujuan ini dalam konteks kebijakan reformasi agraria. Kebijakan yang mendukung investasi skala besar di bidang agribisnis dapat bertentangan dengan tujuan keadilan sosial dan pemberdayaan petani kecil.
Perspektif Komparatif dari Kebijakan Pertanahan Internasional
Model Kepemilikan Tanah di Negara Lain
Berbagai negara mengadopsi model kepemilikan tanah yang berbeda, termasuk kepemilikan pribadi, kepemilikan negara, kepemilikan komunal, dan sistem hibrida. Beberapa negara memiliki peraturan yang ketat terkait kepemilikan tanah oleh warga negara asing. Sebagai contoh, Indonesia membatasi kepemilikan tanah oleh warga negara asing hanya pada hak pakai, hak sewa, atau kepemilikan unit rumah susun dan rumah tinggal.
Contoh Sukses Reformasi Agraria dan Pembangunan Ekonomi
Beberapa negara telah berhasil melaksanakan reformasi agraria yang berdampak positif terhadap pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Korea Selatan dan Portugal, misalnya, menunjukkan bagaimana reformasi agraria yang komprehensif dapat berkontribusi pada demokratisasi dan pembangunan ekonomi. Negara-negara dengan distribusi tanah yang lebih merata cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan inklusif.
Kebijakan Pengelolaan Tanah yang Menyeimbangkan Ekonomi dan Keadilan Sosial
Negara-negara lain juga menerapkan kebijakan pengelolaan tanah yang berupaya menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Konsep pengelolaan lahan berkelanjutan menekankan keseimbangan antara pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Menavigasi Keseimbangan: Kebijakan Pemerintah dan Rekomendasi
Analisis Kebijakan Pemerintah yang Ada
Kebijakan pemerintah Indonesia terkait pengelolaan tanah mencakup berbagai aspek, termasuk peraturan tata ruang , undang-undang pengadaan tanah , dan program reformasi agraria. Namun, efektivitas kebijakan-kebijakan ini dalam menyeimbangkan kepentingan negara, individu, dan masyarakat, serta pembangunan ekonomi dan keadilan sosial, masih menghadapi berbagai tantangan.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis dalam laporan ini dan perbandingan dengan kebijakan di negara lain, beberapa rekomendasi kebijakan dapat diajukan:
Kesimpulan
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 memegang peranan krusial sebagai prinsip panduan kebijakan pertanahan di Indonesia. Laporan ini menyoroti kompleksitas interpretasi pasal ini, terutama dalam konteks komodifikasi tanah dan dampaknya terhadap pasar tanah. Meskipun “Penguasaan Negara” memberikan mandat bagi negara untuk mengelola tanah demi kemakmuran rakyat, implementasinya sering kali menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keadilan sosial. Reformasi agraria merupakan upaya untuk mewujudkan mandat konstitusi ini, namun kemajuannya masih lambat. Perbandingan dengan kebijakan di negara lain memberikan wawasan berharga mengenai berbagai model kepemilikan dan pengelolaan tanah yang dapat dipertimbangkan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kebijakan yang lebih tegas dan terarah untuk memastikan bahwa pengelolaan tanah di Indonesia benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat, sejalan dengan amanat konstitusi. Keseimbangan yang cermat antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan merupakan kunci untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bangsa di masa depan.
Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com