Thursday, 05 June 2025 09:35 WIB
Jakarta, fiskusnews.com:
I. Pendahuluan: Konteks Reformasi Fiskal Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam mengoptimalkan penerimaan negara, sebuah prasyarat fundamental untuk membiayai program-program pembangunan berkelanjutan dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Kondisi fiskal negara saat ini ditandai dengan rasio pajak yang secara konsisten berada di bawah rata-rata global dan regional. Sebagai contoh, pada tahun 2023, rasio pajak Indonesia tercatat hanya 10,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sebuah angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti Inggris (27,3%), Meksiko (14,3%), Brazil (14,2%), dan Kanada (14,0%). Rendahnya rasio pajak ini secara langsung membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai agenda pembangunannya yang ambisius, yang memerlukan investasi substansial berkisar antara Rp35.212,4 triliun hingga Rp35.455,6 triliun. Dengan kontribusi pemerintah yang diperkirakan hanya sekitar 8,4% hingga 10,1% dari total ini, kesenjangan pendanaan yang signifikan menjadi jelas.
Sebagai respons terhadap urgensi fiskal ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah mengamanatkan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Rencana ini secara resmi tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029, yang telah ditetapkan dan berlaku sejak 10 Februari 2025. Pembentukan BPN ini melampaui sekadar restrukturisasi administratif; ini merupakan reformasi kelembagaan krusial yang dirancang untuk mengatasi keterbatasan fiskal sistemik, sehingga memungkinkan terlaksananya pembangunan ekonomi nasional dan program kesejahteraan yang lebih luas.
RPJMN 2025-2029 menetapkan target yang sangat ambisius untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB hingga 23% pada tahun 2029. Target ini merupakan lompatan signifikan, mengingat rasio pajak Indonesia pada tahun 2024 diproyeksikan menurun hingga 10,07% dari PDB. Pencapaian target 23% akan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang umumnya memiliki rasio pajak di atas 15%. Upaya untuk mencapai hampir dua kali lipat rasio pajak dari sekitar 10% menjadi 23% dalam kurun waktu lima tahun merupakan tujuan yang luar biasa ambisius. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan inkremental konvensional dalam pengumpulan pajak tidak akan memadai. Sebaliknya, tujuan ini menuntut pergeseran paradigma radikal dalam kebijakan dan administrasi pajak, termasuk eksplorasi dan monetisasi sumber pendapatan yang sebelumnya belum dimanfaatkan, seperti ekonomi bawah tanah. Target yang ambisius ini juga mengisyaratkan potensi penyesuaian sosio-ekonomi yang signifikan karena jangkauan kegiatan ekonomi dan aktor yang lebih luas akan dibawa ke dalam sistem pajak formal, yang dapat menimbulkan peningkatan biaya kepatuhan dan potensi resistensi dari berbagai sektor.
II. Desain Kelembagaan Badan Penerimaan Negara
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) memiliki landasan hukum yang kuat melalui Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029, yang secara eksplisit mengamanatkan pendiriannya sebagai salah satu intervensi kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara. Mengingat prioritas tinggi yang diberikan oleh Presiden Prabowo, pembentukan BPN kemungkinan besar akan dilakukan pada periode awal masa pemerintahannya. Namun, perlu dicatat bahwa pendirian lembaga baru yang melibatkan revisi undang-undang yang kompleks, termasuk perpajakan, kepabeanan, cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan tata kelola keuangan negara, diproyeksikan akan membutuhkan waktu dan proses legislasi yang cukup panjang. Untuk mempercepat proses ini, pemerintah mempertimbangkan pendekatan Omnibus Law, yang memungkinkan perubahan beberapa undang-undang sekaligus dalam satu regulasi. Pertimbangan penggunaan Omnibus Law untuk pembentukan BPN menunjukkan tekad pemerintah untuk segera mengimplementasikan reformasi fiskal yang komprehensif. Meskipun pendekatan ini menawarkan efisiensi signifikan dalam mengkonsolidasikan dan menyederhanakan perubahan legislatif, ada risiko yang melekat yaitu terbatasnya ruang untuk musyawarah publik dan pemangku kepentingan yang ekstensif. Institusi baru yang begitu kuat, dengan implikasi luas bagi perekonomian dan masyarakat, idealnya akan mendapatkan manfaat dari proses legislasi yang lebih menyeluruh dan inklusif untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan penerimaan publik yang luas.
Sejumlah nama telah beredar di publik sebagai kandidat potensial untuk memimpin Badan Penerimaan Negara. Salah satu kandidat kuat adalah Anggito Abimanyu, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) dan sebelumnya adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Namanya sering disebut-sebut karena keterlibatannya dalam pembahasan peningkatan penerimaan negara. Secara khusus, Anggito Abimanyu telah menerima mandat langsung dari Presiden Prabowo untuk secara agresif meningkatkan penerimaan negara, termasuk dengan menargetkan ekonomi bawah tanah, dengan proyeksi tambahan Rp300-600 triliun per tahun. Kandidat lain yang disebutkan adalah Edi Slamet Irianto, seorang Guru Besar Politik Hukum Pajak Unissula dan Mantan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, serta Mukhamad Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR RI. Mengingat pentingnya posisi ini, Kepala BPN diharapkan diisi oleh sosok yang memiliki pengalaman luas di bidang fiskal, perpajakan, dan manajemen keuangan negara, serta memiliki kapasitas kepemimpinan yang kuat. Mandat eksplisit yang diberikan kepada individu-individu kunci seperti Anggito Abimanyu untuk meningkatkan penerimaan negara, khususnya dengan menargetkan ekonomi bawah tanah, merupakan indikator kuat dari prioritas strategis pemerintahan yang akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPN tidak hanya akan mengawasi mekanisme pengumpulan pajak yang ada, tetapi juga diharapkan untuk menjadi sangat proaktif, inovatif, dan bahkan agresif dalam mengidentifikasi dan memonetisasi aliran pendapatan non-tradisional. Penekanan pada individu-individu tertentu dengan mandat yang jelas ini menandakan pendekatan yang berorientasi pada hasil dalam reformasi fiskal.
Mayoritas pandangan dari para pengamat dan politisi cenderung mendukung adanya beberapa Wakil Kepala untuk Badan Penerimaan Negara. Argumentasi di balik dukungan ini mencakup beratnya tugas yang diemban, di mana target peningkatan rasio penerimaan negara yang sangat ambisius (mencapai 23% dari PDB pada 2029) memerlukan tim kepemimpinan yang solid dengan pembagian tugas yang jelas. Selain itu, kompleksitas isu penerimaan negara yang mencakup berbagai aspek seperti pajak, bea cukai, dan PNBP, menuntut adanya wakil kepala yang fokus pada bidang-bidang spesifik untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional. Adanya beberapa wakil kepala juga dapat memperkuat pengawasan internal dan mitigasi risiko, mengingat potensi kegagalan dalam penghimpunan penerimaan negara dapat berdampak sistemik pada pembiayaan program-program pemerintah.
Konsep “kolektif kolegial” sangat relevan untuk menghindari Badan Penerimaan Negara menjadi “Super Body” yang terlalu dominan dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Pola kepemimpinan kolektif kolegial berarti keputusan diambil secara bersama-sama oleh dewan pimpinan, bukan didominasi oleh satu individu. Beberapa poin yang mendukung penerapan pola kepemimpinan kolektif kolegial adalah pembagian kekuasaan yang mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu tangan, peningkatan akuntabilitas seluruh pimpinan, diversitas pandangan yang menghasilkan kebijakan yang lebih komprehensif dan seimbang, serta penciptaan mekanisme check and balance internal yang lebih kuat. Namun, penerapan pola kolektif kolegial juga membutuhkan mekanisme yang jelas untuk pengambilan keputusan, pembagian tugas, dan penyelesaian perbedaan pandangan agar tidak menghambat kinerja lembaga. Advokasi kuat untuk model kepemimpinan “kolektif kolegial” merupakan langkah proaktif untuk mengatasi risiko inheren yang terkait dengan sentralisasi otoritas fiskal yang sangat besar dalam satu “Super Body.” Pilihan desain ini mencerminkan upaya yang disengaja untuk menanamkan mekanisme check and balance internal sejak awal, dengan tujuan mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan konsensus yang lebih luas dalam keputusan kebijakan dan operasional yang krusial. Namun, tantangan signifikan yang akan muncul adalah memastikan bahwa kolegialitas ini tidak mengarah pada inersia birokrasi, pengambilan keputusan yang lambat, atau konflik internal yang dapat menghambat kelincahan dan kecepatan yang diperlukan untuk mencapai target penerimaan yang ambisius. Ketegangan antara mekanisme akuntabilitas yang kuat dan efisiensi operasional akan menjadi dinamika utama yang perlu dipantau.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai implikasi dari pilihan struktur kepemimpinan, berikut adalah perbandingan antara model “Super Body” dan model “Kolektif Kolegial” untuk BPN:
Tabel 1: Perbandingan Struktur Kepemimpinan BPN (Opsi Kolektif Kolegial vs. Super Body)
Kriteria Pembanding | Opsi 1: Model “Super Body” (Kepala Tunggal) | Opsi 2: Model “Kolektif Kolegial” (Beberapa Wakil Kepala) |
---|---|---|
Struktur Pengambilan Keputusan | Terpusat pada satu individu; keputusan cepat. | Bersama oleh dewan pimpinan; keputusan melalui konsensus/voting. |
Konsentrasi Kekuasaan | Sangat tinggi pada satu individu. | Terbagi di antara beberapa pimpinan. |
Tingkat Akuntabilitas | Akuntabilitas personal yang tinggi pada Kepala. | Akuntabilitas kolektif seluruh pimpinan. |
Diversitas Pandangan | Terbatas pada perspektif satu individu. | Berbagai perspektif dari beberapa anggota pimpinan. |
Mekanisme Check and Balance | Internal lemah, bergantung pada pengawasan eksternal. | Internal kuat, saling mengawasi antar pimpinan. |
Potensi Penyalahgunaan Wewenang | Lebih tinggi karena konsentrasi kekuasaan. | Lebih rendah karena pembagian kekuasaan dan pengawasan internal. |
Potensi Efisiensi Operasional | Berpotensi sangat tinggi jika Kepala efisien dan visioner. | Berpotensi tinggi jika mekanisme pengambilan keputusan jelas, namun bisa lambat jika ada perbedaan pandangan. |
Potensi Hambatan Kinerja | Rendah jika Kepala efektif, namun tinggi jika ada kesalahan tunggal. | Berpotensi tinggi jika mekanisme pengambilan keputusan dan pembagian tugas tidak jelas. |
III. Ekonomi Bawah Tanah: Potensi dan Klasifikasi sebagai Sumber Penerimaan Baru
Ekonomi bawah tanah (Underground Economy/UE), yang juga dikenal sebagai ekonomi bayangan, pasar gelap, atau ekonomi informal, merujuk pada kegiatan ekonomi, baik yang bersifat legal maupun ilegal, yang luput dari pencatatan statistik resmi dan tidak dilaporkan kepada pemerintah. Sektor ini juga sering disebut sebagai ekonomi tidak resmi atau ekonomi gelap. Motivasi utama bagi para pelaku UE adalah untuk menghindari beban pajak, regulasi pemerintah, dan prosedur administratif yang berlaku.
Klasifikasi yang digunakan oleh Edgar L. Feige membagi UE menjadi empat kategori utama :
Kategorisasi ekonomi bawah tanah secara rinci ini sangat penting karena menunjukkan bahwa “ekonomi bawah tanah” bukanlah fenomena tunggal yang tidak terdiferensiasi. Setiap kategori, baik yang ilegal maupun informal/tidak dilaporkan, menuntut intervensi kebijakan yang berbeda dan disesuaikan. Misalnya, upaya untuk memajaki aktivitas ilegal secara langsung (tindakan kriminal) menimbulkan tantangan hukum, etika, dan praktis yang secara fundamental berbeda dibandingkan dengan upaya formalisasi sektor informal atau memerangi penghindaran pajak dari aktivitas yang sebenarnya legal. Pemahaman yang nuansa ini sangat penting bagi BPN untuk mengembangkan strategi perolehan pendapatan yang efektif, sah secara hukum, dan dapat diterima secara sosial.
Ukuran ekonomi bawah tanah di Indonesia bervariasi secara signifikan antar studi dan periode estimasi, namun secara konsisten menunjukkan skala yang besar. Penelitian tahun 2021 menunjukkan nilai nominal UE di Indonesia selama periode 2016-2019 berada dalam kisaran Rp475,634 miliar hingga Rp750,839 miliar. Studi Bank Indonesia (BMEB) tahun 2016 menyimpulkan bahwa ukuran rata-rata UE di Indonesia selama 2001-2013 adalah sekitar 8,33% dari PDB. Kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan tahun 2011 mengestimasi ukuran UE rata-rata Rp164,4 triliun per tahun, setara dengan 6% dari PDB, untuk periode 2000-2009. Estimasi global menunjukkan bahwa di negara berkembang, ekonomi informal rata-rata mencapai 33% dari PDB. Penilaian terbaru oleh pemerintah Indonesia mengindikasikan bahwa ekonomi bayangan dapat mencapai antara 30% dan 40% dari PDB negara tersebut.
Potensi kehilangan penerimaan pajak akibat aktivitas UE juga sangat besar. Pada tahun 2016, potensi kehilangan pajak diperkirakan sekitar Rp1.229,514 triliun hingga Rp1.395,872 triliun, dan nilai ini terus meningkat hingga akhir 2019. Studi Bank Indonesia (BMEB) mengestimasi potensi kehilangan pajak rata-rata Rp11,172.86 miliar atau sekitar 1% dari PDB per kuartal selama 2001-2013. Kajian BKF Kemenkeu mengestimasi potensi kehilangan pajak rata-rata Rp20,6 triliun per tahun, atau sekitar 0,69% dari PDB, selama 2000-2009. Jika potensi sektor ini digali dengan rasio pajak sebesar 10,4% (dari estimasi 15%-20% PDB atau Rp3.600 triliun), penerimaan pajak dari sektor ini bisa mencapai Rp375 triliun. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu memproyeksikan potensi tambahan 2-3% dari PDB (setara Rp440-660 triliun) dari UE pada akhir 2024, dan 3-4% pada tahun 2025. Secara lebih luas, potensi penerimaan negara yang hilang akibat ketidakpatuhan wajib pajak pada tahun 2020 mencapai Rp463 triliun, dan jika ditambahkan dengan kesenjangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, total potensi kehilangan penerimaan bisa mencapai Rp944 triliun atau 6,4% dari PDB.
Disparitas yang luas dalam estimasi ukuran ekonomi bawah tanah (dari 6% hingga 40% dari PDB) dan potensi kehilangan pajak yang sesuai (dari 0,69% hingga 6,4% dari PDB, atau ratusan triliun Rupiah) menyoroti potensi fiskal yang sangat besar namun sulit diukur, serta tantangan metodologis inheren dalam mengukur sektor yang tersembunyi ini. Penargetan eksplisit pemerintah terhadap sektor ini menandakan pengakuan strategis bahwa basis pajak tradisional saja tidak akan cukup untuk mencapai target rasio pajak 23% yang ambisius. Pergeseran ini menyiratkan ketergantungan yang lebih besar pada analitik data canggih, penegakan hukum berbasis intelijen, dan pergerakan melampaui langkah-langkah kepatuhan konvensional untuk menangkap pendapatan yang sulit dijangkau ini.
Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif, berikut adalah tabel estimasi potensi penerimaan pajak dari ekonomi bawah tanah di Indonesia berdasarkan berbagai sumber:
Tabel 2: Estimasi Potensi Penerimaan Pajak dari Ekonomi Bawah Tanah di Indonesia (berdasarkan berbagai sumber)
Sumber/Studi | Periode Estimasi | Ukuran Ekonomi Bawah Tanah | Potensi Kehilangan/Tambahan Pajak | Catatan/Metodologi |
---|---|---|---|---|
ResearchGate (2021) | 2016-2019 | Rp475,634 miliar – Rp750,839 miliar (nominal) | Rp1.229,514 triliun – Rp1.395,872 triliun (nominal) | Terus meningkat hingga 2019, mengurangi potensi penerimaan negara. |
BMEB Bank Indonesia (2016) | 2001-2013 | 8,33% dari PDB (rata-rata) | Rp11,172.86 miliar / 1% dari PDB (rata-rata per kuartal) | Menggunakan pendekatan moneter. |
Kemenkeu BKF (2011) | 2000-2009 | Rp164,4 triliun / 6% dari PDB (rata-rata per tahun) | Rp20,6 triliun / 0,69% dari PDB (rata-rata per tahun) | Menggunakan pendekatan moneter. |
Pemerintah Indonesia (Terbaru) | – | 30%-40% dari PDB | – | Penilaian terbaru pemerintah. |
Anggito Abimanyu (Wamenkeu) | Akhir 2024 – 2025 | – | 2-3% dari PDB (Rp440-660 triliun) pada 2024; 3-4% pada 2025 | Proyeksi tambahan penerimaan dari UE. |
GNV.id (2025) | 2020 | – | Rp944 triliun / 6,4% dari PDB (akibat ketidakpatuhan WP) | Termasuk kesenjangan PPh Badan. |
Fima.co.id (2024) | – | 15%-20% dari PDB (Rp3.600 triliun) | Rp375 triliun (jika dipajaki 10,4%) | Fokus pada aktivitas ilegal dan informal. |
IV. Strategi Pemerintah dalam Mengatasi Ekonomi Bawah Tanah untuk Peningkatan Pajak
Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah secara eksplisit membedakan dua kategori utama dalam ekonomi bawah tanah yang memerlukan pendekatan kebijakan yang berbeda. Kategori pertama adalah aktivitas bersifat avoid (penghindaran pajak), yang mencakup kegiatan ekonomi yang sah namun dilakukan dengan tujuan menghindari kewajiban pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Contoh konkret yang disebutkan adalah kasus di sektor kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), di mana penghindaran pajak dapat terjadi melalui pelaporan luas lahan yang tidak sesuai (under-reporting), pelaporan pendapatan yang lebih rendah dari seharusnya, atau praktik transfer pricing. Pemetaan dan penanganan untuk jenis penghindaran pajak ini sedang dilakukan oleh Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu bersama tim dari Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kategori kedua adalah aktivitas bersifat ilegal (aktivitas kriminal), yang secara tegas merujuk pada tindakan kriminal yang melanggar hukum, seperti judi online. Untuk jenis aktivitas ini, Kementerian Keuangan secara aktif bekerja sama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan. Kategorisasi yang jelas ini menunjukkan pendekatan kebijakan yang canggih dan terarah, mengakui bahwa strategi “satu ukuran untuk semua” tidak akan efektif. Diferensiasi ini menyiratkan bahwa strategi BPN di masa depan akan melibatkan mekanisme penegakan hukum yang berbeda: analitik data yang ditingkatkan, audit, dan langkah-langkah kepatuhan untuk penghindaran pajak, versus pendekatan penegakan hukum multi-lembaga yang lebih kompleks, yang berpotensi melibatkan reformasi hukum jika pajak dipertimbangkan, untuk aktivitas kriminal. Perbedaan ini merupakan dasar untuk mengembangkan implementasi kebijakan yang sah secara hukum dan efektif.
Pemerintah telah menyatakan fokusnya untuk menggali potensi pajak dari aktivitas ilegal seperti judi online dan tambang ilegal. Namun, pemungutan pajak dari aktivitas ilegal seperti judi online menghadapi tantangan fundamental: sulit untuk dipajaki secara berkelanjutan kecuali aktivitas tersebut dilegalkan. Wacana pemungutan pajak judi online telah memicu kontroversi dan perdebatan sengit di masyarakat. Beberapa pihak berpendapat bahwa legalisasi dan pemungutan pajak dari judi online bukanlah solusi yang tepat dan justru dapat membawa lebih banyak kerugian sosial, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pakar hukum pidana juga telah menyuarakan bahwa wacana pemungutan pajak judi online sulit diimplementasikan di Indonesia karena sifat dasar aktivitas tersebut yang merupakan tindakan kriminal. Meskipun demikian, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mencatat bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki data mengenai besarnya jumlah transaksi judi online, termasuk yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar negeri, yang menunjukkan potensi finansial yang signifikan. Perdebatan yang sedang berlangsung dan kesulitan inheren dalam memajaki aktivitas ilegal, khususnya judi online, mengungkap dilema etika dan hukum yang mendalam bagi BPN. Memajaki aktivitas yang dilarang secara hukum dapat dianggap sebagai legitimasi implisit, yang berpotensi merusak moral publik, upaya penegakan hukum, dan supremasi hukum. Konflik inti terletak antara potensi yang tidak dapat disangkal untuk menghasilkan pendapatan signifikan dan keharusan untuk menjaga ketertiban hukum dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa strategi BPN untuk aktivitas yang benar-benar ilegal mungkin akan lebih fokus pada penegakan hukum yang agresif, penyitaan aset, dan kerja sama internasional untuk mengekang aliran keuangan ilegal, daripada pemungutan pajak langsung, kecuali jika ada perubahan kebijakan besar menuju legalisasi (dengan regulasi dan pajak yang ketat) yang secara eksplisit dikejar dan diatur, yang akan memerlukan konsensus publik dan legislatif yang luas.
Sektor informal di Indonesia menghadapi kendala signifikan berupa tingginya biaya administrasi yang diperlukan untuk mengintegrasikan mereka ke dalam sistem pajak formal. Sebagai upaya untuk mengatasi tantangan ini dan meningkatkan kepatuhan pajak serta memperluas basis pajak, pemerintah telah menerapkan sistem pajak presumtif. Ini diwujudkan melalui Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebesar 0,5% dari omzet, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022. Tujuan utama dari pajak presumtif adalah untuk menyederhanakan proses perpajakan, mengatasi kesulitan pengawasan pendapatan UMKM yang sulit diukur secara langsung, dan mengurangi biaya administrasi bagi wajib pajak maupun otoritas pajak. Selain kebijakan fiskal, program-program lain seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh bank penyalur juga berperan dalam mendorong formalisasi usaha informal, dengan menjelaskan keuntungan seperti fasilitas BPJS kepada para pelaku usaha. Namun, terdapat pandangan dari beberapa pakar bahwa upaya formalisasi sektor usaha informal, jika tidak hati-hati, justru dapat mematikan atau menghambat perkembangannya karena beban kepatuhan yang baru. Strategi pemerintah untuk memformalkan sektor informal melalui pajak presumtif dan insentif finansial merupakan pendekatan pragmatis untuk memperluas basis pajak. Namun, kekhawatiran bahwa formalisasi dapat “mematikan” bisnis informal menyoroti tantangan kebijakan yang krusial. Keberhasilan BPN di bidang ini akan bergantung pada kemampuannya untuk mengimplementasikan kebijakan ini dengan sensitivitas, memastikan bahwa pengejaran pendapatan tidak secara tidak sengaja menghambat dinamisme, ketahanan, dan peluang mata pencaharian yang disediakan oleh sektor informal. Ini menyiratkan kebutuhan akan pendekatan yang mendukung, bertahap, dan memberikan insentif, daripada pendekatan yang semata-mata ekstraktif, dengan memprioritaskan inklusi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Keberhasilan BPN dalam menggali potensi ekonomi bawah tanah sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat, menegakkan hukum secara konsisten, dan terus memperbaiki sistem administrasi pajak. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran pajak ditekankan sebagai salah satu strategi kunci untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara. Kolaborasi lintas instansi menjadi sangat krusial. Kementerian Keuangan diharapkan bekerja sama erat dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, kementerian terkait lainnya, serta berbagai lembaga untuk secara komprehensif memetakan aktivitas ilegal dan informal. Kolaborasi ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, pengumpulan data, dan optimalisasi penerimaan pajak. Pemanfaatan data dari pihak ketiga dan optimalisasi peran Badan Intelijen Keuangan serta penggunaan big data dan Kecerdasan Buatan (AI) untuk memantau dan mengidentifikasi potensi wajib pajak yang belum terdaftar atau yang berupaya menghindari kewajiban pajaknya akan menjadi elemen kunci dalam strategi ini. Implementasi sistem informasi inti perpajakan (coretax) dan interoperabilitasnya dengan sistem informasi pemangku kepentingan terkait untuk mewujudkan pendekatan data-driven dalam administrasi perpajakan adalah prioritas utama. Penekanan yang berulang pada digitalisasi, implementasi coretax, dan pemanfaatan strategis data pihak ketiga, Badan Intelijen Keuangan, big data, dan AI menandakan pergeseran fundamental dalam strategi penegakan pajak. Ini menunjukkan pergerakan dari pendekatan audit tradisional yang seringkali manual, menuju paradigma yang lebih canggih, berbasis intelijen, dan digerakkan oleh data. Lompatan teknologi ini dirancang untuk mengatasi sifat ekonomi bawah tanah yang inheren buram, memungkinkan identifikasi yang lebih tepat terhadap entitas dan aktivitas yang tidak patuh, sehingga secara signifikan meningkatkan kapasitas BPN untuk ekstensifikasi (menjangkau wajib pajak baru) dan intensifikasi (meningkatkan pengumpulan dari yang sudah ada) penerimaan.
V. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Pembentukan BPN merupakan reformasi kelembagaan yang dianggap mendesak dan krusial untuk mencapai status negara maju melalui dukungan fiskal yang kuat. Keberhasilan lembaga ini akan secara langsung menentukan capaian target penerimaan negara dan kapasitas pemerintah dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Namun, Machfud Sidik, mantan Direktur Jenderal Pajak, telah memberikan peringatan penting: solusi kelembagaan semata bukanlah jaminan keberhasilan reformasi fiskal tanpa adanya kemauan politik (political will) yang memadai. Ia juga menyoroti perlunya audit menyeluruh terhadap kebijakan pengeluaran perpajakan (tax expenditure), yang menurutnya sudah membengkak hingga mencapai 20% dari total penerimaan negara, dan berpotensi melayani kepentingan segelintir elit. Peringatan Machfud Sidik bahwa reformasi kelembagaan saja tidak cukup, dan bahwa “kemauan politik” adalah yang terpenting, memberikan pemahaman mendalam tentang ekonomi politik reformasi pajak. Hal ini menyoroti bahwa keberhasilan BPN melampaui desain organisasi dan kemampuan teknisnya. Kurangnya komitmen politik yang tulus dan berkelanjutan, atau adanya kepentingan yang saling bertentangan (misalnya, tax expenditures yang tidak terkontrol yang menguntungkan kelompok tertentu), dapat secara serius merusak bahkan institusi yang paling dirancang dengan cermat. Ini menyiratkan bahwa dukungan politik yang kuat dan tak tergoyahkan dari tingkat pemerintahan tertinggi, ditambah dengan komitmen terhadap kebijakan pajak yang transparan dan adil, sama pentingnya, jika tidak lebih penting, daripada struktur formal atau strategi operasional BPN.
Untuk mengoptimalkan penerimaan dari ekonomi bawah tanah, beberapa rekomendasi strategis dapat dipertimbangkan:
Untuk Aktivitas Ilegal: Pemerintah perlu mengambil sikap yang jelas dan konsisten terhadap aktivitas ilegal seperti judi online. Ini berarti memilih antara mempertahankan larangan total dengan penegakan hukum pidana yang ketat, atau mempertimbangkan legalisasi dan regulasi yang sangat ketat untuk tujuan pajak. Pilihan kedua memerlukan debat publik yang mendalam dan legislasi yang komprehensif, dengan mempertimbangkan secara serius dampak sosial dan etika. Jika tetap dilarang, fokus BPN harus pada penegakan hukum yang kuat, pelacakan aliran dana ilegal, dan penyitaan aset, dengan koordinasi erat bersama aparat penegak hukum yang relevan.
Untuk Sektor Informal dan Penghindaran Pajak: Melanjutkan dan memperluas skema pajak presumtif yang sederhana, mudah diakses, dan berbiaya rendah untuk UMKM, sambil memastikan bahwa beban kepatuhan tidak menghambat pertumbuhan pelaku usaha kecil. Meningkatkan program edukasi dan pendampingan yang komprehensif untuk mendorong formalisasi dan kepatuhan sukarela, mungkin melalui penyediaan insentif non-fiskal seperti akses yang lebih mudah ke layanan keuangan, pelatihan bisnis, atau jaminan sosial. Memperkuat sistem coretax dan interoperabilitas data dengan berbagai pihak ketiga (bank, platform digital, lembaga pemerintah lainnya) untuk meningkatkan akurasi pemetaan, identifikasi potensi pajak yang tidak dilaporkan atau tidak tercatat, dan meminimalkan celah penghindaran pajak. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di BPN dalam bidang analisis data, audit digital, dan penegakan hukum yang adil, transparan, serta profesional. Rekomendasi ini menyoroti keharusan ganda bagi BPN: mencapai koherensi kebijakan dan membangun kapasitas kelembagaan yang kuat. Untuk aktivitas ilegal, sikap kebijakan yang jelas dan konsisten (larangan versus legalisasi yang diatur) sangat penting untuk menghindari sinyal yang kontradiktif dan memastikan penegakan hukum yang efektif. Untuk sektor informal dan penghindaran pajak, keberhasilan bergantung pada kemudahan kepatuhan, manfaat, dan dukungan dari analitik data canggih serta personel yang terampil. Ini menyiratkan bahwa efektivitas BPN tidak hanya akan bergantung pada kekuatan hukumnya, tetapi juga pada kemampuannya untuk menumbuhkan kepercayaan dan memfasilitasi kepatuhan melalui sistem yang mudah digunakan, perlakuan yang adil, dan penerapan hukum yang setara.
Pentingnya Kemauan Politik dan Reformasi Sistemik: Kemauan politik yang kuat dan konsisten dari Presiden serta seluruh jajaran pemerintah adalah esensial untuk mengatasi resistensi dari berbagai pihak dan memastikan implementasi reformasi yang konsisten dan berkelanjutan. Reformasi yang dilakukan harus bersifat sistemik, bukan hanya perubahan kosmetik kelembagaan. Ini berarti menyentuh persoalan struktural mendasar dalam sistem penerimaan negara yang selama ini menghambat optimalisasi. Aspek penting dari reformasi sistemik ini termasuk audit menyeluruh terhadap kebijakan tax expenditure untuk memastikan efisiensi dan keadilan, serta mencegah kebijakan pajak melayani kepentingan segelintir elit. Penekanan berulang pada “kemauan politik” dan “reformasi sistemik” secara langsung menunjuk pada tantangan ekonomi politik yang mendalam yang melekat dalam melakukan reformasi pajak yang signifikan. Kepentingan-kepentingan yang kuat, yang seringkali diuntungkan dari sistem yang ada atau dari tax expenditures, kemungkinan besar akan menolak upaya untuk memperluas basis pajak atau mengurangi keuntungan fiskal mereka. Oleh karena itu, BPN tidak hanya membutuhkan kecakapan teknis dan administratif, tetapi juga dukungan politik yang tak tergoyahkan untuk menavigasi lanskap politik yang kompleks ini. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan akhir misi BPN bukan hanya tantangan administratif atau ekonomi, tetapi secara fundamental adalah tantangan politik, yang membutuhkan komitmen berkelanjutan dari tingkat pemerintahan tertinggi untuk mengatasi potensi oposisi dan memastikan distribusi beban pajak yang lebih adil.
VI. Kesimpulan
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) merupakan langkah reformasi fiskal yang krusial dan strategis bagi Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2025-2029, dengan target ambisius peningkatan rasio penerimaan negara hingga 23% dari PDB pada tahun 2029. Strategi BPN untuk mencapai target ini akan sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengoptimalkan penerimaan dari “ekonomi bawah tanah,” yang mencakup dua segmen utama: aktivitas penghindaran pajak dari kegiatan legal dan aktivitas ilegal (kriminal).
Pendekatan terhadap masing-masing segmen memerlukan strategi yang berbeda: formalisasi dan penyederhanaan pajak (seperti pajak presumtif) untuk sektor informal dan upaya penegakan hukum yang canggih (didukung data dan AI) untuk penghindaran pajak, sementara aktivitas ilegal menimbulkan dilema etika dan hukum yang mendalam terkait potensi pemungutan pajaknya.
Keberhasilan BPN tidak hanya ditentukan oleh desain kelembagaannya yang kolektif kolegial untuk menjaga akuntabilitas, atau oleh adopsi teknologi canggih. Yang terpenting adalah adanya kemauan politik yang kuat dan berkelanjutan dari pemerintah untuk melakukan reformasi sistemik, mengatasi resistensi, dan memastikan bahwa kebijakan penerimaan negara benar-benar melayani kepentingan nasional secara adil dan transparan. Dengan pengelolaan yang efektif terhadap tantangan-tantangan ini, BPN memiliki potensi untuk secara fundamental mengubah lanskap fiskal Indonesia, memperkuat kapasitas negara dalam membiayai pembangunan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com