Wednesday, 04 June 2025 18:44 WIB
Jakarta, fiskusnews.com:
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Wacana Pajak Kekayaan di Indonesia Wacana mengenai pengenaan pajak kekayaan (wealth tax) kembali mengemuka di Indonesia, dengan pemerintah dilaporkan tengah mengkaji potensi penerapan pajak ini bagi para individu dengan kekayaan fantastis [User Query]. Diskusi ini mencerminkan dorongan kebijakan yang signifikan dalam lanskap perpajakan nasional. Fenomena pertumbuhan pesat jumlah individu berpenghasilan tinggi (High-Net-Worth Individuals/HNWI) atau yang sering disebut ‘crazy rich’ di Indonesia menjadi salah satu pemicu utama. Data menunjukkan peningkatan substansial dari sekitar 191 ribu orang pada tahun 2021, dengan proyeksi mencapai 377 ribu orang pada tahun 2026, bahkan melampaui populasi HNWI di negara maju seperti Uni Emirat Arab. Pertumbuhan ini secara jelas menyoroti konsentrasi kekayaan yang semakin besar di segmen teratas masyarakat.
Pertumbuhan kekayaan yang terkonsentrasi ini terjadi di tengah kesenjangan ekonomi yang melebar di Indonesia. Selama pandemi COVID-19, tingkat kemiskinan justru meningkat dari 26,42 juta pada Maret 2020 menjadi 27,54 juta pada Maret 2021, dan rasio Gini, sebagai indikator ketimpangan, naik dari 0,380 menjadi 0,385. Pada saat yang sama, kekayaan HNWI justru melonjak secara eksponensial. Situasi ini menciptakan suatu “paradoks” dalam lanskap ekonomi Indonesia , di mana kemajuan ekonomi yang terjadi tidak merata dan tidak sepenuhnya tercermin dalam peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, tekanan fiskal yang dihadapi negara, yang diperparah oleh pandemi COVID-19, semakin menuntut pemerintah untuk mencari sumber penerimaan baru. Penurunan penerimaan negara dari IDR 2.233,1 triliun menjadi IDR 1.699,9 triliun, terutama disebabkan oleh berkurangnya penerimaan pajak akibat perlambatan ekonomi, beriringan dengan peningkatan belanja dari IDR 2.540,4 triliun menjadi IDR 2.739,2 triliun untuk mengatasi dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial pandemi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk secara serius mempertimbangkan sumber pendanaan alternatif yang substansial.
Kemunculan kembali diskusi mengenai pajak kekayaan bukan sekadar wacana akademis, melainkan sebuah respons langsung terhadap tekanan sosio-ekonomi dan kebutuhan fiskal yang nyata. Pertumbuhan pesat kekayaan HNWI di tengah meningkatnya ketimpangan menunjukkan ketidakseimbangan struktural dalam kemampuan sistem pajak yang ada saat ini untuk menangkap kapasitas ekonomi secara adil. Ini mengindikasikan bahwa sistem Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku, meskipun memiliki tarif progresif , belum sepenuhnya mampu mengaktualisasikan prinsip “setiap tambahan kemampuan ekonomis” yang menjadi dasar objek pajak. Oleh karena itu, pajak kekayaan dipandang sebagai alat potensial untuk mencapai tujuan ganda: peningkatan penerimaan negara dan keadilan sosial, sekaligus mengatasi kelemahan sistem PPh yang ada.
B. Tujuan dan Ruang Lingkup Analisis Laporan ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam urgensi penerapan pajak kekayaan di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Analisis akan mengeksplorasi manfaat potensial dari pajak kekayaan, termasuk peningkatan keadilan fiskal, optimalisasi penerimaan negara, dan perannya sebagai pelengkap sistem perpajakan yang ada. Selain itu, laporan ini akan mengidentifikasi dan menganalisis tantangan-tantangan krusial dalam implementasi pajak kekayaan, seperti valuasi aset, potensi resistensi dan pelarian modal (capital flight), serta kompleksitas administrasi. Untuk memperkaya perspektif, laporan ini juga menyajikan studi kasus dari pengalaman negara-negara lain, baik yang berhasil maupun yang gagal dalam menerapkan pajak kekayaan, untuk menarik pelajaran berharga bagi Indonesia. Akhirnya, laporan ini akan merumuskan usulan model pajak kekayaan yang relevan untuk konteks Indonesia, disertai proyeksi potensi penerimaan, dan memberikan rekomendasi kebijakan yang komprehensif untuk mitigasi tantangan.
II. Konsep dan Mekanisme Pajak Kekayaan (Wealth Tax)
A. Definisi dan Karakteristik Utama Pajak Kekayaan Pajak kekayaan (wealth tax) secara umum didefinisikan sebagai pajak tahunan yang dikenakan atas kekayaan bersih (net worth) individu atau rumah tangga. Kekayaan bersih ini dihitung dari total aset yang dimiliki dikurangi seluruh utang (liabilities) yang ada, dengan pengenaan hanya pada nilai yang melebihi ambang batas pengecualian tertentu.
Jenis aset yang umumnya menjadi objek pajak kekayaan sangat bervariasi dan meliputi:
Sebagian besar proposal pajak kekayaan mengusulkannya sebagai instrumen tambahan terhadap bentuk-bentuk pajak yang sudah ada, seperti pajak penghasilan dan pajak properti, bukan sebagai pengganti. Pendekatan ini menunjukkan niat untuk memperluas basis pajak dan melengkapi sistem yang ada, bukan merombak total struktur perpajakan nasional.
Karakteristik penting lainnya adalah sifat pajak kekayaan sebagai pajak tahunan. Ini menyiratkan efek penggandaan (compounding effect) terhadap kekayaan, di mana bahkan tarif yang relatif kecil dapat memiliki dampak kumulatif yang signifikan terhadap nilai kekayaan dalam jangka panjang. Hal ini berbeda dengan pajak penghasilan yang hanya dikenakan pada aliran pendapatan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak.
Beberapa proposal pajak kekayaan juga secara eksplisit mencakup ketentuan “pajak keluar” (exit tax) pada aset yang dipindahkan ke luar negeri. Klausul ini dirancang khusus untuk mengekang praktik penghindaran pajak dan pelarian modal. Penyertaan “exit tax” dalam proposal sejak awal menunjukkan kesadaran tinggi pembuat kebijakan terhadap tantangan mobilitas modal dan upaya proaktif untuk memitigasi potensi penghindaran pajak. Ini mengindikasikan bahwa desain kebijakan sedang berupaya belajar dari pengalaman negara lain yang menghadapi masalah serupa.
B. Perbandingan dengan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Lainnya Perbedaan mendasar antara Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak kekayaan terletak pada basis pengenaannya. PPh dikenakan atas penghasilan, yaitu aliran ekonomi yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode waktu, sedangkan pajak kekayaan dikenakan atas harta, yang merupakan akumulasi kekayaan atau aset yang dimiliki pada suatu titik waktu. Dalam konteks perpajakan, harta seringkali dianggap sebagai wujud dari penghasilan yang telah terakumulasi dan belum sepenuhnya dikenakan pajak.
Sistem PPh di Indonesia, khususnya untuk orang pribadi (PPh OP), menganut tarif progresif yang bertingkat, dengan lapisan tarif mulai dari 5% hingga 35% untuk penghasilan tertinggi. Namun, studi menunjukkan bahwa tarif PPh final, yang dikenakan pada jenis penghasilan tertentu (misalnya bunga deposito, penjualan saham di bursa efek), dapat menjadi celah bagi individu berpenghasilan tinggi untuk menghindari pengenaan tarif progresif maksimum. Hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosio-ekonomi karena pendapatan dari modal yang seringkali menjadi bagian besar dari kekayaan orang super kaya, dikenakan tarif yang lebih rendah atau bersifat final.
Pajak kekayaan dipandang sebagai instrumen yang dapat melengkapi PPh, khususnya dalam menjangkau potensi pajak yang mungkin terlewat dari sistem PPh yang ada [User Query]. Sebagai contoh, potensi penerimaan pajak kekayaan di Vietnam diperkirakan mencapai hampir sepertiga dari PPh orang pribadi dan seperlima dari PPh perusahaan , menunjukkan kapasitasnya sebagai sumber penerimaan yang substansial. Ini mengindikasikan bahwa pajak kekayaan dapat mengisi celah yang tidak dapat dijangkau secara optimal oleh PPh.
Sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, di mana wajib pajak bertanggung jawab untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajaknya sendiri. Sementara itu, PPh di Indonesia sebagian besar dikumpulkan melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan (Withholding Taxes/WHT), seperti PPh Pasal 23/26.
Perbedaan antara pajak atas aliran (penghasilan) dan pajak atas stok (kekayaan) sangat krusial. Sistem PPh yang ada, meskipun progresif secara nominal, memiliki keterbatasan dalam menangkap kapasitas ekonomi penuh dari individu super kaya karena adanya mekanisme seperti PPh final. Ini menciptakan “asimetri” dalam sistem perpajakan di mana pendapatan pasif dari kekayaan mungkin dikenakan pajak dengan tarif lebih rendah atau kurang efektif dibandingkan pendapatan aktif. Pajak kekayaan, oleh karena itu, bukan hanya tentang menambah penerimaan, tetapi tentang memastikan pemerataan kontribusi pajak berdasarkan kapasitas ekonomi yang sesungguhnya. Pajak kekayaan secara langsung mengatasi asimetri ini dengan memajaki stok kekayaan, memastikan bahwa kapasitas ekonomi, baik yang berasal dari pendapatan aktif maupun aset yang terakumulasi, berkontribusi lebih setara, sehingga meningkatkan progresivitas dan keadilan sistem perpajakan secara keseluruhan.
C. Jenis-jenis Aset yang Menjadi Objek Pajak Kekayaan Pajak kekayaan, sebagai pajak atas kekayaan bersih, mencakup berbagai jenis aset yang dimiliki oleh individu. Ini termasuk aset finansial seperti tabungan/giro, deposito bank, saham (baik yang diperdagangkan di pasar publik maupun saham perusahaan tertutup), dan obligasi. Aset-aset ini, terutama yang diperdagangkan di pasar terbuka, cenderung lebih mudah diidentifikasi dan dinilai karena adanya harga pasar yang transparan.
Selain itu, aset non-finansial juga menjadi objek pajak. Kategori ini meliputi properti (real estat), barang mewah (misalnya koleksi barang antik, karya seni, perhiasan, kapal pesiar, pesawat pribadi), dan warisan keluarga. Beberapa sumber juga menyebutkan logam mulia dan aset digital/virtual sebagai potensi objek pajak kekayaan.
Pajak kekayaan dapat dikenakan pada kepemilikan kekayaan (ownership), transfer kekayaan (misalnya pajak warisan atau hibah), atau apresiasi kekayaan (misalnya pajak atas keuntungan modal). Namun, fokus utama dalam wacana di Indonesia adalah pajak kekayaan bersih tahunan atas kepemilikan.
Penting untuk mencakup semua objek aset secara komprehensif dalam basis pajak untuk mencegah wajib pajak memindahkan kekayaan dari satu jenis aset yang dikenakan pajak kekayaan ke aset lain yang tidak dikenakan pajak kekayaan. Lingkup aset yang luas yang diusulkan untuk pajak kekayaan menunjukkan upaya untuk menciptakan basis pajak yang benar-benar komprehensif, belajar dari celah yang ada dalam pajak penghasilan. Namun, cakupan yang luas ini juga secara langsung menimbulkan tantangan signifikan: heterogenitas dan ketidaklikuidan banyak aset non-finansial (misalnya seni, barang mewah, saham tidak tercatat). Aset-aset ini seringkali unik dan tidak memiliki harga pasar yang transparan. Kesulitan inheren dalam melakukan valuasi yang akurat dan objektif terhadap aset-aset ini merupakan salah satu alasan utama kegagalan pajak kekayaan di negara lain. Ini menyoroti adanya pertukaran fundamental antara ideal teoritis dari basis pajak yang luas (untuk mencegah penghindaran) dan tantangan praktis dari kelayakan administrasi serta keadilan dalam valuasi.
III. Fondasi Hukum: Interpretasi Pasal 4 Ayat (1) Huruf p UU PPh
A. Analisis Bunyi dan Makna Pasal 4 Ayat (1) Huruf p UU PPh Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) secara eksplisit menyatakan bahwa “tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak” merupakan objek pajak. Ketentuan ini telah menjadi bagian dari UU PPh sejak setidaknya UU No. 17 Tahun 2000.
Definisi umum objek pajak dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah “penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Frasa ini menekankan bahwa setiap peningkatan kemampuan ekonomi, termasuk yang terakumulasi menjadi kekayaan, seharusnya dapat dikenai pajak.
Frasa “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak” dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPh (dan juga UU PPN) telah menjadi subjek permohonan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Pemohon menganggap frasa ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan memberikan peluang penyelundupan hukum berupa pemajakan atas kegiatan yang dilakukan di luar kerangka perpajakan yang jelas.
Keberadaan eksplisit “tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak” dalam UU PPh (Pasal 4(1)p) menunjukkan pengakuan intrinsik dalam yurisprudensi pajak Indonesia bahwa kekayaan yang terakumulasi, jika belum dikenakan pajak, harus tunduk pada kontribusi fiskal. Ini memberikan dasar hukum dan pembenaran yang kuat untuk pajak kekayaan, membingkainya bukan sebagai konsep radikal baru, melainkan sebagai aktualisasi atau penegasan prinsip yang sudah ada. Tantangan hukum yang ada lebih lanjut menggarisbawahi ambiguitas dan potensi kurangnya pemajakan yang dapat diklarifikasi oleh pajak kekayaan yang spesifik.
B. Implementasi Pasal 4 Ayat (1) Huruf p dalam Praktik PPh Saat Ini Meskipun Pasal 4 ayat (1) huruf p secara eksplisit menyebutkan “tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak” sebagai objek pajak, implementasinya dalam praktik pemungutan PPh selama ini lebih fokus pada penghasilan yang diterima atau diperoleh secara periodik [User Query]. Ini mencakup gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, bunga, dividen, dan keuntungan usaha.
Akumulasi kekayaan dalam bentuk aset-aset bernilai tinggi, seperti properti mewah, koleksi barang antik, atau investasi dalam jumlah besar, seringkali belum tersentuh secara optimal oleh rezim pajak penghasilan yang ada [User Query]. Pemajakan atas aset-aset ini umumnya hanya terjadi saat aset tersebut menghasilkan pendapatan (misalnya disewakan) atau dialihkan (misalnya dijual), bukan atas nilai kepemilikannya secara periodik.
Mekanisme spesifik yang digunakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengidentifikasi “penghasilan yang belum dikenakan pajak” yang kemudian terakumulasi menjadi kekayaan neto tidak dijelaskan secara rinci dalam dokumen yang tersedia. Namun, sistem PPh orang pribadi dan badan menghitung pajak terutang berdasarkan penghasilan neto setelah dikurangi biaya dan kredit pajak.
Fokus implementasi PPh saat ini pada penghasilan periodik [User Query] daripada kekayaan terakumulasi menunjukkan celah praktis yang signifikan. Meskipun Pasal 4(1)p secara teoritis mencakup “tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak,” ketiadaan mekanisme yang jelas dan sistematis untuk mengidentifikasi serta memajaki akumulasi ini di bawah kerangka PPh yang ada (seperti yang tersirat dari pertanyaan dan kurangnya panduan DJP spesifik dalam sumber data) berarti sebagian besar kapasitas ekonomi tetap tidak terpajaki. Ini menggarisbawahi urgensi fungsional, bukan hanya konseptual, dari pajak kekayaan.
Discrepancy antara prinsip luas “setiap tambahan kemampuan ekonomis” dan “tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak” (Pasal 4(1)p) dengan implementasi praktisnya [User Query] mengungkapkan adanya keterbatasan fungsional dari sistem PPh yang berlaku. PPh, yang dirancang terutama untuk aliran pendapatan, kesulitan untuk secara sistematis menangkap akumulasi kekayaan yang tidak secara langsung menghasilkan pendapatan yang dapat dikenai pajak atau yang telah dikenai pajak final. Ini menyiratkan bahwa semangat Pasal 4(1)p, yang bertujuan untuk memajaki semua bentuk kemampuan ekonomi, belum sepenuhnya terwujud. Pajak kekayaan akan menyediakan kerangka operasional yang diperlukan untuk mengatasi celah spesifik ini, memastikan bahwa kekayaan yang terakumulasi, sebagai bentuk kemampuan ekonomi yang signifikan dan terus bertumbuh, dapat dimasukkan ke dalam basis pajak secara lebih komprehensif dan adil.
C. Relevansi Pasal ini sebagai Dasar Urgensi Penerapan Pajak Kekayaan Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh menjadi fondasi hukum yang kuat bagi wacana pajak kekayaan. Ketentuan ini seolah menjadi landasan bahwa setiap penambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, termasuk yang terakumulasi menjadi kekayaan, seharusnya dapat dikenai pajak [User Query]. Ini menegaskan bahwa konsep pemajakan kekayaan bukan hal baru dalam filosofi perpajakan Indonesia, melainkan sudah ada dalam kerangka hukum yang berlaku.
Pajak kekayaan hadir sebagai instrumen pelengkap yang dapat mengaktualisasikan semangat Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh secara lebih efektif. Dengan mengenakan pajak secara langsung atas nilai kekayaan, pemerintah dapat menjangkau potensi pajak yang mungkin terlewat dalam sistem PPh yang ada [User Query]. Ini berarti pajak kekayaan dapat bertindak sebagai mekanisme untuk secara lebih konkret menerapkan prinsip yang sudah ada dalam undang-undang, yaitu pemajakan atas setiap “tambahan kemampuan ekonomis” yang terwujud dalam akumulasi kekayaan.
Secara strategis, dengan secara eksplisit mengaitkan proposal pajak kekayaan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh [User Query], pemerintah dapat membingkainya bukan sebagai pajak baru yang radikal, melainkan sebagai evolusi logis dan perlu untuk sepenuhnya merealisasikan prinsip hukum yang sudah ada tentang pemajakan “setiap tambahan kemampuan ekonomis.” Pendekatan ini memberikan landasan hukum dan filosofis yang kuat, yang berpotensi mengurangi resistensi politik dan publik. Hal ini dilakukan dengan menekankan kesinambungan dan penyempurnaan kerangka pajak yang ada, daripada sebagai perombakan yang mengganggu. Dengan demikian, pajak kekayaan dapat diposisikan sebagai langkah untuk mengatasi realitas ekonomi kontemporer dan kekhawatiran akan keadilan, dengan memanfaatkan preseden hukum yang telah mapan.
IV. Urgensi Penerapan Pajak Kekayaan di Indonesia
A. Peningkatan Keadilan Fiskal dan Redistribusi Kekayaan Pajak kekayaan memiliki potensi besar untuk secara signifikan meningkatkan keadilan fiskal. Pemilik kekayaan besar memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi dan selayaknya berkontribusi lebih kepada negara untuk pembiayaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [User Query]. Ini adalah prinsip dasar keadilan horizontal dan vertikal dalam perpajakan.
Pajak kekayaan dinilai sebagai salah satu instrumen yang potensial dalam redistribusi kekayaan dan mengatasi ketimpangan sosial ekonomi. Lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan banyak akademisi telah mengkampanyekan pajak kekayaan dan pendapatan progresif untuk tujuan ini, sebagai cara untuk mengurangi ketimpangan yang ada dan mengoptimalkan kapasitas fiskal.
Ketimpangan di Indonesia semakin nyata selama pandemi COVID-19, di mana angka kemiskinan meningkat sementara jumlah HNWI dan kekayaan mereka justru bertambah secara eksponensial. Situasi ini menciptakan “paradoks” yang mendesak secara moral untuk memastikan kontribusi yang lebih adil dari segmen masyarakat terkaya. Kontras yang tajam antara pertumbuhan kekayaan individu berpenghasilan tinggi dan peningkatan tingkat kemiskinan, khususnya yang diperparah selama pandemi, menciptakan keharusan moral dan sosial yang kuat untuk pajak kekayaan. Kondisi ini menantang keadilan sistem ekonomi yang berlaku dan kontrak sosial. Oleh karena itu, pajak kekayaan menjadi alat kebijakan langsung tidak hanya untuk redistribusi fiskal tetapi juga untuk keadilan sosial remediasi, yang bertujuan untuk menyeimbangkan kembali kontribusi masyarakat dan membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem pajak dengan menunjukkan bahwa beban pemulihan ekonomi dan pembangunan dibagi secara adil.
B. Optimalisasi Penerimaan Negara dan Peningkatan Ruang Fiskal Pajak kekayaan berpotensi mengoptimalkan penerimaan negara secara signifikan. Dengan memperluas basis pajak untuk mencakup kekayaan, pemerintah dapat meningkatkan pendapatan yang kemudian dapat dialokasikan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat [User Query].
Kondisi fiskal Indonesia yang tertekan akibat penurunan pendapatan dan kenaikan belanja selama pandemi mendorong pemerintah untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Pajak kekayaan menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan untuk mengisi celah fiskal ini.
Potensi penerimaan pajak kekayaan di Indonesia diperkirakan sangat signifikan, berkisar antara IDR 54 triliun hingga IDR 155,3 triliun untuk satu kali pengenaan. Angka ini menunjukkan potensi kontribusi sebesar 4,23% hingga 12,15% dari total penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2021.
Penerimaan ini dapat dialokasikan untuk membiayai program-program strategis nasional, seperti transisi energi yang membutuhkan estimasi IDR 4.000 triliun hingga tahun 2040. Bahkan, pajak dari 50 triliuner terkaya di Indonesia saja diperkirakan dapat menyumbang sekitar IDR 81,6 triliun per tahun, yang dapat berkontribusi hingga 30% dari dana transisi energi yang dibutuhkan. Potensi penerimaan yang besar ini bukan sekadar angka abstrak; ini mewakili peningkatan ruang fiskal yang substansial, yang sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta mendukung program-program kesejahteraan sosial. Peningkatan penerimaan ini dapat mengurangi ketergantungan pada utang dan memberikan fleksibilitas fiskal yang lebih besar bagi pemerintah untuk merespons tantangan ekonomi dan sosial di masa depan.
C. Pelengkap Sistem Perpajakan yang Ada Pajak kekayaan dapat menjadi mekanisme penting untuk lebih mengaktualisasikan semangat Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh, yaitu mengenakan pajak atas setiap “tambahan kemampuan ekonomis” yang dalam konteks ini terwujud dalam akumulasi kekayaan [User Query]. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, meskipun UU PPh secara teoritis mencakup “tambahan kekayaan neto dari penghasilan yang belum dikenakan pajak,” implementasi praktisnya lebih terfokus pada penghasilan periodik.
Pajak kekayaan hadir sebagai instrumen pelengkap untuk menjangkau potensi pajak yang mungkin terlewat dalam sistem PPh yang ada [User Query]. Ini berarti pajak kekayaan dapat mengisi celah dalam sistem yang ada, memastikan bahwa kekayaan yang terakumulasi dan tidak secara langsung menghasilkan pendapatan yang dikenai PPh secara optimal, tetap berkontribusi pada penerimaan negara. Pajak kekayaan akan melengkapi sistem yang ada dengan menangani dimensi stok kekayaan, yang seringkali tidak sepenuhnya tertangkap oleh pajak yang berfokus pada aliran pendapatan. Hal ini akan menciptakan sistem perpajakan yang lebih komprehensif dan adil, di mana semua bentuk kapasitas ekonomi dikenai pajak secara proporsional.
V. Tantangan Implementasi Pajak Kekayaan di Indonesia
A. Kompleksitas Valuasi Aset Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi pajak kekayaan adalah kompleksitas valuasi aset, terutama untuk aset-aset yang tidak likuid atau tidak memiliki harga pasar yang transparan.
B. Potensi Resistensi dan Capital Flight Implementasi pajak kekayaan berpotensi menghadapi resistensi signifikan dari pemilik kekayaan besar [User Query]. Kekhawatiran utama yang sering muncul adalah potensi terjadinya pelarian modal (capital flight) dan disinsentif terhadap investasi. Argumen yang menentang pajak kekayaan seringkali menyatakan bahwa pajak ini dapat meningkatkan risiko bisnis, mengurangi inovasi, dan pada akhirnya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Jika pengembalian atas tabungan dan investasi dikenai pajak berulang kali, hal ini dapat mengurangi insentif untuk menunda konsumsi dan mengalokasikan sumber daya untuk investasi produktif.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pajak kekayaan dapat memicu eksodus individu kaya dan modal mereka ke yurisdiksi dengan pajak yang lebih rendah. Misalnya, setelah peningkatan pajak kekayaan sebesar 1% di Norwegia, banyak individu berpenghasilan tinggi meninggalkan negara tersebut. Spanyol juga menghadapi pertimbangan serupa ketika memperkenalkan “pajak kekayaan solidaritas” baru, yang mendorong Portugal untuk memperluas rezim pajaknya bagi non-residen.
Ancaman pelarian modal ini dapat merusak basis pajak dan mengurangi potensi penerimaan yang diharapkan. Selain itu, praktik penghindaran pajak yang lebih canggih, seperti penggunaan struktur hukum yang kompleks (misalnya trusts dan organisasi nirlaba) atau pemindahan aset ke luar negeri, menjadi perhatian serius. Tanpa kerangka pertukaran informasi internasional yang kuat dan sistem pengawasan yang efektif, upaya penghindaran pajak ini akan semakin sulit diatasi.
C. Kompleksitas Administrasi dan Kepatuhan Penerapan pajak kekayaan memerlukan sistem administrasi pajak yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan PPh yang ada. Tantangan utama meliputi:
VI. Studi Kasus Internasional dan Pelajaran bagi Indonesia
A. Negara-negara yang Menerapkan dan Mencabut Pajak Kekayaan (Keberhasilan dan Kegagalan) Pajak kekayaan bukanlah konsep baru, dan banyak negara telah mencoba menerapkannya, dengan hasil yang bervariasi. Saat ini, hanya empat negara OECD yang masih memberlakukan pajak kekayaan bersih individu: Kolombia, Norwegia, Spanyol, dan Swiss. Swiss telah menerapkan pajak ini sejak 1840 dan mengenakannya di tingkat kanton, mencakup aset di seluruh dunia (kecuali real estat dan bentuk usaha tetap di luar negeri), dengan tarif dan tunjangan yang bervariasi antar kanton. Penerimaan pajak kekayaan di Swiss secara konsisten lebih tinggi dibandingkan negara lain, mencapai 1,19% dari PDB pada tahun 2022.
Namun, banyak negara maju lainnya telah mencabut pajak kekayaan bersih mereka dalam beberapa tahun terakhir. Contohnya termasuk Austria (1994), Denmark dan Jerman (1997), Belanda (2001), Finlandia, Islandia, dan Luksemburg (2006), serta Swedia (2007). Prancis adalah negara terakhir yang mencabut pajak kekayaannya pada tahun 2018, menggantinya dengan pajak kekayaan real estat.
Alasan utama pencabutan pajak kekayaan di negara-negara ini bervariasi, tetapi umumnya meliputi:
B. Pelajaran Kunci untuk Desain Kebijakan di Indonesia Pengalaman internasional memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia dalam merancang kebijakan pajak kekayaan:
VII. Usulan Model Pajak Kekayaan dan Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia
A. Model Pajak Kekayaan yang Relevan untuk Indonesia Berdasarkan analisis dan studi kasus internasional, model pajak kekayaan yang paling relevan dan berpeluang diterapkan di Indonesia adalah model progresif dengan tarif yang moderat dan ambang batas yang jelas. Simulasi menunjukkan bahwa model progresif 1% hingga 2% untuk HNWI dengan kekayaan bersih di atas IDR 144 miliar adalah yang paling mungkin diterapkan di Indonesia. Model ini juga diterapkan secara efektif di beberapa negara OECD seperti Swiss dan Norwegia.
Model ini mengusulkan pengenaan pajak kekayaan tahunan pada kekayaan bersih berdasarkan nilai perolehan seluruh aset pada tahun terakhir sebelum pemungutan pajak kekayaan. Kekayaan bersih harus mencakup total gabungan aset seperti tabungan/giro, deposito, saham (termasuk saham perusahaan tertutup), logam mulia, donasi, warisan, dan hibah. Pengenaan pajak pada semua objek ini sangat penting untuk mencegah wajib pajak memindahkan kekayaan dari satu jenis aset yang dikenakan pajak kekayaan ke aset lain yang tidak dikenakan pajak kekayaan.
B. Proyeksi Potensi Penerimaan Potensi penerimaan pajak kekayaan di Indonesia diperkirakan sangat signifikan. Berdasarkan simulasi dengan data Forbes dan Statista 2021, yang mengasumsikan sekitar 10.700 wajib pajak kekayaan di Indonesia (dengan sekitar 4.600 orang memiliki kekayaan di atas US$10 juta atau IDR 144 miliar sebagai ambang batas), potensi penerimaan adalah sebagai berikut :
Potensi penerimaan ini menunjukkan bahwa pajak kekayaan dapat menjadi sumber dana yang substansial untuk membiayai pembangunan nasional dan program-program kesejahteraan, seperti transisi energi yang membutuhkan investasi besar.
C. Rekomendasi Kebijakan Mitigasi Tantangan Untuk mengatasi tantangan implementasi pajak kekayaan, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dipertimbangkan:
VIII. Kesimpulan dan Rekomendasi Aksi
Wacana pengenaan pajak kekayaan di Indonesia memiliki urgensi yang kuat, didorong oleh meningkatnya ketimpangan kekayaan, pertumbuhan pesat jumlah individu berpenghasilan tinggi, dan kebutuhan mendesak untuk mengoptimalkan penerimaan negara di tengah tekanan fiskal. Pajak kekayaan dapat berfungsi sebagai instrumen vital untuk meningkatkan keadilan fiskal dan redistribusi kekayaan, memastikan bahwa individu dengan kemampuan ekonomi tertinggi memberikan kontribusi yang lebih proporsional kepada negara. Lebih lanjut, pajak ini merupakan pelengkap penting bagi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), khususnya dalam mengaktualisasikan semangat Pasal 4 ayat (1) huruf p yang menyatakan “tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak” sebagai objek pajak. Meskipun PPh saat ini fokus pada aliran penghasilan periodik, pajak kekayaan akan menjangkau akumulasi kekayaan yang belum optimal tersentuh.
Meskipun potensi penerimaan pajak kekayaan sangat signifikan, berkisar antara IDR 54 triliun hingga IDR 155,3 triliun, implementasinya tidak lepas dari tantangan besar. Kompleksitas valuasi aset, terutama untuk aset non-finansial dan saham perusahaan tertutup, potensi resistensi dari wajib pajak, risiko pelarian modal, serta kebutuhan akan sistem administrasi yang sangat canggih dan transparan, merupakan hambatan krusial yang perlu diatasi. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa desain yang buruk dan administrasi yang lemah dapat menyebabkan kegagalan pajak kekayaan.
Rekomendasi Aksi: Berdasarkan analisis ini, pemerintah Indonesia disarankan untuk mengambil langkah-langkah strategis berikut dalam mempertimbangkan dan merancang pajak kekayaan:
Dengan pendekatan yang hati-hati, desain yang tepat, dan implementasi yang robust, pajak kekayaan dapat menjadi langkah progresif bagi Indonesia dalam mewujudkan sistem perpajakan yang lebih adil dan optimal, sejalan dengan amanat UU PPh untuk mengenakan pajak atas setiap penambahan kemampuan ekonomi.
Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com