Pendahuluan
General Anti-Avoidance Rule (GAAR) adalah ketentuan perpajakan yang bersifat umum untuk mencegah praktik tax avoidance (penghindaran pajak) yang tidak dibatasi pada subjek atau objek tertentu. Indonesia telah mulai mengadopsi konsep GAAR dalam kerangka perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak Badan (perusahaan), sebagai upaya menutup celah-celah penghindaran pajak yang tidak wajar. GAAR berfokus pada motif atau substansi ekonomi di balik transaksi – artinya otoritas pajak dapat mengenali dan mengoreksi transaksi yang semata-mata dilakukan untuk keuntungan pajak tanpa substansi bisnis yang nyata. Dengan GAAR, fiskus (otoritas pajak) memiliki kewenangan untuk mengesampingkan bentuk formal suatu transaksi dan lebih mengutamakan substansi ekonomi sebenarnya (prinsip substance over form) dalam menentukan perlakuan pajak.
Dalam penjelasan berikut, saya akan menguraikan dasar hukum GAAR dalam sistem perpajakan Indonesia, termasuk pasal-pasal spesifik di Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), serta pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022) beserta peraturan turunannya. Uraian ini juga menjelaskan bagaimana fiskus menerapkan GAAR terhadap transaksi yang dianggap penghindaran pajak tidak wajar (misalnya rekarakterisasi utang menjadi modal), disertai analisis praktik DJP (Direktorat Jenderal Pajak) di lapangan dan potensi sengketa pajak dari penerapan GAAR tersebut.
Dasar Hukum GAAR dalam Perpajakan Indonesia
- Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)
Ketentuan anti-penghindaran pajak di Indonesia selama ini diatur terutama dalam UU Pajak Penghasilan, khususnya Pasal 18 UU PPh beserta penjelasannya. Sebelum adanya GAAR, Pasal 18 UU PPh telah memuat Specific Anti-Avoidance Rules (SAAR), yaitu aturan antipenghindaran yang spesifik terhadap skema tertentu. Pasal 18 memberi pemerintah (dalam praktiknya melalui Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak) kewenangan untuk mencegah upaya Wajib Pajak mengurangi atau menunda pajak dengan cara yang menyimpang dari maksud ketentuan pajak. Penjelasan Pasal 18 UU PPh (setelah perubahan oleh UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan/UHPP tahun 2021) menegaskan bahwa pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan Wajib Pajak guna mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang. Ini secara implisit merupakan landasan konsep GAAR dalam UU PPh.
Secara lebih rinci, Pasal 18 UU PPh mengatur beberapa instrumen antipenghindaran pajak tertentu (SAAR) yang menjadi dasar hukum fiskus melakukan koreksi atas transaksi Wajib Pajak Badan, antara lain:
- Controlled Foreign Corporation (CFC): Pasal 18 ayat (2) UU PPh memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar perhitungannya atas penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri pada badan usaha di luar negeri yang tidak diperdagangkan di bursa. Aturan ini mencegah penundaan pengenaan pajak atas laba di luar negeri dengan cara tidak membagikan
- Thin Capitalization (Pembatasan Beban Bunga): Pasal 18 ayat (3) UU PPh memberi kewenangan Dirjen Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangannya serta menetapkan utang sebagai modal bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa, berdasarkan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan Ketentuan ini adalah dasar aturan thin capitalization, yaitu membatasi pengurangan biaya bunga jika struktur modal perusahaan terlalu banyak utang dibanding modal. Misalnya, PMK No.16G/PMK.010/2015 (peraturan pelaksana Pasal 18(3)) menetapkan rasio utang terhadap modal maksimal 4:1 untuk keperluan pajak. Jika utang melebihi rasio wajar, fiskus berwenang menganggap kelebihan utang tersebut sebagai modal. Dengan demikian, biaya bunga atas “utang” yang direkarakterisasi menjadi modal akan dianggap sebagai dividen sehingga tidak dapat diakui sebagai biaya (non-deductible). Langkah ini mencegah Wajib Pajak menyamarkan penyertaan modal sebagai pinjaman guna mendapatkan pengurangan pajak yang tidak semestinya.
- Transfer Pricing dan Prinsip Kewajaran: Pasal 18 ayat (3) UU PPh juga menjadi dasar bagi Dirjen Pajak melakukan koreksi atas transaksi afiliasi yang tidak wajar (mispricing). Dirjen Pajak berwenang menguji harga transaksi antara pihak berelasi menggunakan prinsip arm’s length (kewajaran dan kelaziman usaha) dengan metode-metode perbandingan harga, resale price, cost-plus, atau metode Ini bertujuan mencegah transfer mispricing yang menggerus basis pajak di Indonesia. Selain itu, Pasal 18 ayat (3a) mengatur Dirjen Pajak dapat melakukan Advance Pricing Agreement (APA) atau Mutual Agreement Procedure (MAP) bersama Wajib Pajak dan otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga wajar atas transaksi afiliasi ke depan.
- Penggunaan Special Purpose Company (SPC) di Tax Haven: Pasal 18 ayat (3b) dan (3c) UU PPh mengantisipasi penyalahgunaan perusahaan cangkang. Wajib Pajak yang membeli saham atau aset perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk khusus untuk itu (SPC), dapat ditetapkan sebagai pembeli sebenarnya sepanjang ada hubungan istimewa dan harga yang tidak wajar. Demikian pula, penjualan atau pengalihan saham melalui perusahaan antara di tax haven (conduit company) yang berhubungan istimewa dengan entitas di Indonesia dapat dianggap sebagai penjualan saham langsung atas entitas di Indonesia tersebut. Aturan ini mencegah skema penghindaran pajak melalui indirect transfer atau penggunaan entitas perantara di yurisdiksi berpajak rendah.
- Pengalihan Penghasilan Orang Pribadi ke Luar Negeri: Pasal 18 ayat (3d) UU PPh (tambahan hasil perubahan UU HPP) mengatur bahwa penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dari suatu pemberi kerja dapat ditentukan kembali apabila pemberi kerja tersebut mengalihkan sebagian penghasilan karyawan tersebut ke bentuk biaya atau pembayaran kepada perusahaan di luar negeri yang Tujuannya mencegah perusahaan mengurangi beban pajak karyawan (PPh 21) dengan mendanai komponen penghasilan melalui entitas luar negeri.
Selain yang di atas, Pasal 18 ayat (4) UU PPh mendefinisikan hubungan istimewa (kepemilikan saham ≥25%, kontrol, atau hubungan keluarga) sebagai dasar menentukan kapan aturan-aturan di atas diterapkan. Seluruh ketentuan Pasal 18 ini merepresentasikan SAAR Indonesia, yaitu aturan spesifik untuk skema-skema penghindaran pajak tertentu (CFC, thin cap, transfer pricing, SPC, dll).
Adapun General Anti-Avoidance Rule (GAAR) secara eksplisit mulai diadopsi melalui perubahan UU PPh oleh UU HPP tahun 2021, meskipun dirumuskan secara tersirat. Inti GAAR dalam UU PPh adalah pemberian kewenangan umum kepada fiskus untuk “membuat penetapan atas transaksi yang bertujuan mengurangi, menghindari, dan/atau menunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan perpajakan”. Prinsip yang digunakan adalah doktrin substansi mengatasi bentuk (substance over form), di mana realitas ekonomi suatu transaksi diutamakan daripada bentuk hukumnya. Dengan doktrin ini, Dirjen Pajak dapat membatalkan atau mengoreksi konsekuensi pajak suatu transaksi jika terbukti transaksi tersebut tidak memiliki substansi ekonomi atau semata-mata dilakukan untuk tujuan penghindaran pajak. Ketentuan GAAR dalam UU PPh tersebut tercantum dalam Penjelasan Pasal 18 dan menjadi landasan untuk diatur lebih lanjut pada level peraturan pelaksana.
2. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
UU KUP merupakan kerangka umum tata cara administrasi pajak (misalnya penerbitan ketetapan pajak, sanksi, upaya hukum, dll). Secara tekstual, UU KUP saat ini belum memuat pasal spesifik yang menyebut GAAR. Fokus UU KUP lebih pada prosedur (misal Pasal 13 UU KUP tentang kewenangan menerbitkan SKP jika pajak kurang bayar, Pasal 38-39 tentang sanksi pidana penggelapan pajak, dsb) daripada aturan substansi anti-penghindaran. Namun, pemerintah sempat merancang penguatan landasan GAAR melalui revisi UU KUP. Dirjen Pajak Suryo Utomo pada 2021 menyatakan bahwa RUU KUP akan memuat instrumen GAAR untuk mencegah dan menangani praktik penghindaran pajak yang semakin canggih. Pasal 18 UU PPh dinilai belum cukup menjangkau beragam skema base erosion modern, sehingga RUU KUP direncanakan memperkuat fleksibilitas aturan anti-penghindaran. Komitmen ini sejalan dengan aksi internasional (misalnya BEPS Action C tentang pencegahan penyalahgunaan tax treaty).
Pada akhirnya, substansi GAAR tersebut diakomodasi dalam perubahan UU PPh via UU HPP dan diimplementasikan melalui PP 55/2022, alih-alih di UU KUP. Meskipun UU KUP tidak eksplisit mengatur GAAR, prinsip substance over form dan penindakan penghindaran pajak tersirat dalam kewenangan umum DJP untuk mengoreksi kewajiban pajak. Misalnya, Pasal 12 ayat (3) UU KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan ketetapan pajak berdasarkan hasil pemeriksaan apabila pajak yang terutang menurut SPT kurang dibayar – ini memberikan dasar bagi fiskus melakukan penyesuaian atas SPT yang memanfaatkan celah secara tidak sah. Selain itu, ketentuan pidana UU KUP (Pasal 38, 39) menjerat perbuatan sengaja menghindari pajak secara melawan hukum. Namun, perlu dibedakan bahwa GAAR menyasar penghindaran pajak yang masih dalam ranah hukum (legal avoidance) tapi dianggap menyimpangi tujuan UU, sedangkan ketentuan pidana UU KUP menyasar pengelakan pajak ilegal (tax evasion). Jadi, landasan formal GAAR Indonesia lebih banyak di UU PPh dan aturan turunannya, sementara UU KUP melengkapi dari sisi prosedural (misalnya hak DJP menerbitkan koreksi dan hak Wajib Pajak mengajukan keberatan/banding).
3. Peraturan Pemerintah 55/2022 dan Peraturan Pelaksana terkait
PP No. 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan merupakan peraturan pelaksana penting yang memuat aturan GAAR secara lebih operasional. PP 55/2022, yang diundangkan 20 Desember 2022, mengatur berbagai penyesuaian UU PPh pasca-UU HPP, termasuk Bab VII (Pasal 32 – Pasal 47) tentang instrumen pencegahan penghindaran pajak. Beberapa poin krusial dalam PP 55/2022 terkait GAAR dan SAAR adalah:
- Kewenangan Umum Pencegahan Penghindaran Pajak: Pasal 32 ayat (1) PP 55/2022 menegaskan bahwa Menteri Keuangan berwenang mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang dengan cara yang bertentangan dengan maksud dan tujuan peraturan perpajakan. Ketentuan ini sejalan dengan semangat GAAR, menekankan bahwa segala upaya penyimpangan tujuan UU pajak dapat ditindak.
- Instrumen Specific Anti-Avoidance (SAAR): Pasal 32 ayat (2) PP 55/2022 merinci berbagai mekanisme konkret (SAAR) yang dapat digunakan DJP sebagai instrumen mencegah penghindaran pajak. Instrumen-instrumen tersebut sebetulnya mengadopsi hal-hal yang diatur di Pasal 18 UU PPh, diantaranya:
- Penetapan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungan oleh WP dalam negeri atas penyertaan modal pada badan luar negeri (aturan CFC, sejalan dengan Pasal 18(2) UU PPh).
- Penentuan kembali besarnya penghasilan dan pengurangannya serta penentuan utang sebagai modal untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, dengan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (ini adalah aturan thin capitalization G transfer pricing sesuai Pasal 18(3) UU PPh).
- Penetapan pihak yang melakukan pembelian saham atau aktiva melalui pihak lain/badan khusus sebagai pembeli sebenarnya apabila terdapat hubungan istimewa dan harga tidak wajar (anti penyalahgunaan special purpose company, sesuai Pasal 18(3b) UU PPh).
- Penetapan pihak yang melakukan penjualan atau pengalihan saham melalui conduit company di negara suaka pajak sebagai penjual sebenarnya atas saham entitas Indonesia (anti indirect transfer/conduit, sesuai Pasal 18(3c) UU PPh).
- Penentuan kembali penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang mengalihkan sebagian penghasilan tersebut ke biaya yang dibayarkan kepada perusahaan di luar negeri (skema pengalihan penghasilan karyawan ke luar negeri, sesuai Pasal 18(3d) UU PPh).
- Penghitungan kembali pajak yang seharusnya terutang berdasarkan perbandingan kinerja keuangan dengan WP sejenis (benchmarking untuk mendeteksi WP yang melaporkan laba sangat rendah/tidur).
- Selain itu, PP 55/2022 juga mencakup penanganan hybrid mismatch arrangements, misalnya pembayaran dari WP dalam negeri ke pihak afiliasi luar negeri yang tidak dikenai pajak di kedua yurisdiksi, maka pembayaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
Instrumen-instrumen di atas merupakan penjabaran lebih lanjut dari SAAR yang sudah ada di UU PPh. Pemerintah memperkuat dasar hukumnya di level PP untuk memberikan kepastian implementasi. Bahkan, PP 55/2022 mencabut/menyempurnakan aturan lama (seperti PP G4/2010) terkait penghitungan PPh, agar konsisten dengan instrumen baru ini. Dengan SAAR yang rinci, DJP memiliki beberapa “senjata” spesifik untuk menghadapi skema penghindaran pajak tertentu.
- Ketentuan GAAR (Substance Over Form): Pasal 32 ayat (4) PP 55/2022 inilah yang memuat GAAR secara Pasal 32(4) menyatakan: “Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2), Dirjen Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.”. Artinya, jika seluruh instrumen khusus (SAAR) di atas tidak mampu menangkal suatu skema penghindaran pajak yang kompleks, DJP berwenang mengambil tindakan berdasarkan prinsip substansi-over-form untuk menetapkan ulang pajak terutang sesuai substansi ekonomi transaksi tersebut. Inilah General Anti-Avoidance Rule Indonesia: aturan “payung” yang bersifat last resort (upaya terakhir) ketika aturan spesifik belum mengakomodir skema penghindaran baru. Dengan GAAR ini, DJP tidak terikat pada bentuk atau istilah legal yang digunakan Wajib Pajak dalam transaksi apabila tujuan utamanya terbukti menghindari pajak.
- Pedoman Pelaksanaan GAAR: Pasal 44 PP 55/2022 mengatur bahwa pelaksanaan pencegahan penghindaran pajak berdasarkan Pasal 32(4) (GAAR) harus dilakukan dengan tata cara tertentu untuk menjamin akuntabilitas. Pasal 44 ayat (1) menyebut bahwa penerapan prinsip substance over form harus memperhatikan: (a) batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan, (b) kriteria kegiatan Wajib Pajak yang masuk cakupan penghindaran pajak, (c) tahapan pengujian formil dan materiil, (d) mekanisme penjaminan kualitas, dan (e) perlindungan hak Wajib Pajak. Kemudian Pasal 44 ayat (2) menegaskan bahwa pelaksanaan pencegahan penghindaran pajak tersebut harus mengedepankan tata kelola pemerintahan yang baik dan Wajib Pajak tetap dapat menggunakan upaya hukum penyelesaian sengketa. Selanjutnya Pasal 44 ayat (3) memerintahkan bahwa kelima aspek di atas akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Sebagai tindak lanjut Pasal 44, DJP saat ini sedang menyiapkan PMK khusus mengenai GAAR. Dirjen Pajak Suryo Utomo menyatakan PMK GAAR disusun sebagai panduan penerapan Pasal 32 ayat (4) PP 55/2022, sehingga DJP memiliki dasar operasional yang jelas untuk menentukan kembali pajak terutang berdasarkan substansi over form. Hingga pertengahan 2023, draf PMK ini masih disusun dan akan disosialisasikan sebelum diterbitkan. Dengan adanya PMK ini, diharapkan implementasi GAAR di lapangan memiliki prosedur baku, misalnya pembentukan panel/komite evaluasi sebelum DJP menerapkan GAAR, kriteria “transaksi tanpa substansi”, dokumentasi justifikasi, dsb, sehingga penggunaan GAAR dapat terkontrol dan tidak sewenang- wenang.
Selain PMK GAAR yang akan terbit, peraturan turunan lain terkait instrumen anti-penghindaran juga telah ada atau akan disusun. Contohnya:
- Aturan Thin Capitalization: sudah ada PMK 169/2015 (jo. perubahannya) yang mengatur rincian perhitungan rasio utang-modal dan pengecualian bagi sektor tertentu.
- Aturan CFC: diatur lebih lanjut dalam PMK (misalnya PMK 93/PMK.03/2019) terkait penentuan dividen dari perusahaan terkendali di luar negeri.
- Aturan Transfer Pricing: diatur melalui Peraturan Dirjen Pajak tentang Transfer Pricing Documentation dan prinsip ALP (misal PER-32/PJ/2011, SE-50/PJ/2013, dsb), serta MAP/APA melalui Peraturan Menteri.
- Aturan Hybrid Mismatch G Benchmarking: akan dituangkan dalam PMK sesuai amanat PP 55/2022 (karena Pasal 32(2) huruf g, h, dan Pasal 36-43 PP 55/2022 memberikan delegasi ke PMK untuk metode pengujian kewajaran, ketentuan anti-hybrid, dsb).
Dengan demikian, kerangka hukum GAAR Indonesia saat ini terdiri dari level UU (Pasal 18 UU PPh dan penjelasannya) yang memberikan landasan kewenangan umum, dilengkapi level PP (PP 55/2022) yang merinci instrumen SAAR dan GAAR, serta akan didukung level PMK/Perdirjen yang mengatur tata cara implementasi teknis.
PENERAPAN GAAR OLEH FISKUS DAN PERLAKUAN ATAS TRANSAKSI “TIDAK WAJAR”
Dengan adanya dasar hukum di atas, fiskus (petugas pajak/DJP) dalam menjalankan pemeriksaan atau penilaian kepatuhan akan menerapkan kombinasi SAAR dan GAAR untuk menindak skema penghindaran pajak. Pendekatan utamanya adalah prinsip substance over form, di mana fiskus akan menilai substansi ekonomi suatu transaksi dibanding sekadar melihat bentuk hukumnya. Jika ditemukan transaksi atau arrangement yang secara legal formal tampak sah tetapi secara substansi tidak memiliki tujuan komersial selain penghematan pajak, fiskus dapat menggunakan kewenangan GAAR untuk melakukan koreksi. Berikut beberapa bentuk perlakuan fiskus dalam menerapkan GAAR terhadap transaksi tidak wajar:
- Rekarakterisasi Utang Menjadi Modal: Ini contoh klasik yang disebut dalam pertanyaan. Apabila suatu Wajib Pajak Badan memiliki struktur pendanaan dengan proporsi utang yang tidak wajar (sangat tinggi) kepada pemegang saham atau afiliasinya, sehingga beban bunga besar dan laba kena pajak sangat kecil, fiskus dapat menganggap sebagian utang tersebut sebenarnya merupakan penyertaan modal terselubung. Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh dan Pasal 32 ayat (2) huruf b PP 55/2022, DJP berwenang menetapkan utang sebagai modal untuk menghitung penghasilan kena Dalam praktik, DJP akan membandingkan rasio utang-modal terhadap standar kewajaran (misal aturan 4:1) serta menerapkan prinsip arm’s length. Jika terindikasi penghindaran pajak, biaya bunga pinjaman atas utang yang dikategorikan modal akan diperlakukan sebagai dividen, sehingga tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Perlakuan ini membuat skema pendanaan berlebihan dengan utang (thin cap) kehilangan manfaat pajaknya. Misalnya, PT A dibiayai hampir seluruhnya oleh pinjaman dari induk perusahaan di tax haven dengan bunga tinggi; fiskus dapat menilai bahwa modal PT A sebenarnya diperbesar (utang dikonversi menjadi modal hingga batas wajar), dan menambah kembali bunga yang tadinya diakui sebagai biaya menjadi penghasilan kena pajak PT A. Sebagai konsekuensi lain, recharacterized interest yang dianggap dividen bisa terutang PPh Dividen (withholding tax) jika penerimanya subjek luar negeri. Kebijakan rekarakterisasi ini mencegah Wajib Pajak mengeksploitasi perbedaan perlakuan bunga vs dividen.
- Penentuan Pihak/Penerima Beneficial (Through SPV): Fiskus juga akan menembus skema yang menggunakan badan perantara semata-mata untuk tujuan Misalnya, Wajib Pajak domestik membentuk perusahaan cangkang di negara bebas pajak yang kemudian digunakan untuk melakukan transaksi jual beli saham atau aset perusahaan Indonesia. Secara formal, transaksi terjadi antara pihak Indonesia dan SPC asing tersebut (sehingga di Indonesia tampak seolah bukan object pajak, misal penjualan indirect offshore). Namun, aturan anti-conduit (Pasal 18(3b),(3c) UU PPh jo. Pasal 32(2) PP 55/2022) memungkinkan fiskus menetapkan bahwa pihak yang sebenarnya melakukan pembelian atau penjualan adalah entitas Indonesia yang berhubungan istimewa. Dengan kata lain, SPV yang tidak punya substansi usaha akan diabaikan. Perlakuan fiskus ini menjamin bahwa transaksi substantif (jual beli perusahaan Indonesia) tetap terkena pajak di Indonesia, meskipun Wajib Pajak mencoba mengalihkan melalui yuridiksi suaka pajak. Contoh: PT B (Indonesia) menjual anak usahanya PT C dengan skema: saham PT C dialihkan ke Company X di negara X (tax haven), lalu investor membeli Company X. Fiskus dapat menyimpulkan bahwa hakikatnya PT B menjual PT C langsung ke investor, sehingga penghasilan tersebut terutang pajak capital gain di Indonesia (SPC diabaikan karena semata wadah).
- Koreksi Transfer Pricing dan Profit Shifting: Dalam konteks transaksi afiliasi, sebelum beranjak ke GAAR umum, fiskus akan terlebih dahulu menerapkan aturan transfer pricing spesifik. Petugas pajak akan menganalisis apakah harga transfer, royalty, jasa manajemen, dsb, sudah Jika ditemukan mispricing (misal mark-up biaya berlebih ke perusahaan afiliasi luar negeri sehingga laba di Indonesia minimal), DJP melakukan koreksi berdasarkan metode kewajaran (Cup, Resale, Cost Plus, dll) sesuai Pasal 18(3) UU PPh. Selain itu, untuk WP yang melaporkan rugi berturut-turut atau laba sangat rendah dibanding industri, fiskus dapat menggunakan pendekatan benchmarking (Pasal 32(2) huruf f PP 55/2022) dengan membandingkan kinerja keuangan WP tersebut dengan pembanding sejenis. Hasil benchmarking dapat menjadi dasar koreksi apabila profit yang dilaporkan jauh di bawah standar wajar tanpa alasan jelas. Pendekatan ini mencegah strategi base erosion seperti menggeser laba ke luar negeri melalui harga transfer.
- Menolak Skema Hybrid Mismatch: Petugas pajak juga akan menyoroti pembayaran lintas yurisdiksi yang didesain agar tidak kena pajak di mana pun (contoh: instrumen keuangan yang di Indonesia dianggap utang (bunga deductible), tapi di negara penerima dianggap modal (dividen tidak kena pajak) – atau sebaliknya). PP 55/2022 Pasal 36-37 (implementasi BEPS Action 2) melarang pengurangan biaya untuk pembayaran ke luar negeri yang tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak rendah di negara penerima. Dalam hal seperti ini, fiskus akan menyesuaikan kembali penghasilan kena pajak dengan menambah biaya yang sebelumnya dikurangkan, karena secara substansi pembayaran tersebut tidak seharusnya mendapatkan manfaat ganda (deductible di satu sisi tapi tidak kena pajak di sisi lain). Ini contoh lain penerapan substansi mengatasi bentuk: walau secara legal biaya tersebut dicatat, secara substansi sistem pajak menganggapnya non-deductible bila terjadi mismatch.
- Evaluasi Motif Transaksi Korporasi: Secara umum, dalam era GAAR ini fiskus akan mengevaluasi motif di balik transaksi Apabila sebuah transaksi atau skema bisnis tidak akan dilakukan oleh pelaku usaha independen normalnya (no business purpose) selain karena alasan pajak, maka hal itu tanda skema penghindaran yang bisa dikoreksi . Contoh, sebuah perusahaan mengalihkan aset antar sesama grup berulang kali tanpa alasan bisnis (hanya untuk mendapatkan penilaian kembali atau kerugian fiktif), atau restrukturisasi yang rumit padahal fungsi usahanya sederhana – hal-hal demikian dapat ditantang oleh DJP. Otoritas pajak dapat membatalkan manfaat pajak dari transaksi tersebut atau mereklasifikasi transaksi sesuai substansinya. Tentu, DJP harus menunjukkan bahwa memang tak ada tujuan komersial selain pajak. Di sinilah dokumen-dokumen dan fakta ekonomi dikumpulkan oleh fiskus selama pemeriksaan untuk membuktikan niat (intent).
Penting untuk dicatat bahwa fiskus akan menerapkan GAAR sebagai last resort. Sesuai Pasal 32 ayat (4) PP 55/2022, pendekatan substansi over form baru ditempuh jika mekanisme SAAR yang tersedia tidak dapat mencegah skema penghindaran tersebut. Urutannya, petugas pajak akan menguji dulu aturan-aturan spesifik yang relevan (CFC, thin cap, transfer pricing, dll).
Bila skema yang dijalankan WP ternyata novel atau luput dari jangkauan aturan spesifik, barulah GAAR diterapkan sebagai dasar hukum penyesuaian. Hal ini juga untuk menunjukkan itikad kehati-hatian DJP: GAAR bukan untuk menggantikan aturan khusus, melainkan melengkapinya guna menangani kasus-kasus luar biasa.
PRAKTIK DJP DI LAPANGAN DAN POTENSI SENGKETA PAJAK
Implementasi GAAR di Indonesia masih berada dalam tahap awal. Meskipun landasan hukumnya sudah ada di UU PPh dan PP 55/2022, hingga saat ini (2023) pemerintah belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan GAAR tersebut. Alasannya antara lain menunggu terbitnya PMK pelaksanaan (sesuai mandat Pasal 44 PP 55/2022) serta mempersiapkan kapasitas fiskus untuk menjalankan GAAR. Dengan kata lain, belum ada kasus nyata di lapangan yang secara resmi menggunakan Pasal 32(4) PP 55/2022 sebagai dasar koreksi, karena prosedur internalnya masih disusun. DJP menyadari bahwa GAAR adalah instrumen yang powerful tetapi sensitif, sehingga perlu tata kelola yang baik sebelum diterapkan.
Adapun praktik DJP saat ini dalam menghadapi penghindaran pajak korporasi masih bertumpu pada instrumen SAAR dan penegakan kepatuhan umum. Misalnya:
- DJP rutin menerapkan aturan thin cap: dalam pemeriksaan, jika ditemukan rasio utang WP melebihi ketentuan, biaya bunga disallowed sesuai PMK 169/2015.
- DJP juga intensif melakukan koreksi transfer pricing; bahkan sebelum GAAR formal ada, banyak sengketa pajak di Pengadilan Pajak yang berkaitan dengan penyesuaian harga transfer atau alokasi laba antar afiliasi.
- Aturan CFC mulai dijalankan (misal, DJP menetapkan penghasilan kena pajak tambahan dari laba tersimpan di anak perusahaan luar negeri milik WP Dalam Negeri).
- Penentuan beneficial owner dalam konteks P3B (tax treaty) untuk menolak pemberian tarif rendah apabila penerima manfaat sesungguhnya tidak jelas (meski ini lebih ke Treaty Anti Avoidance, tapi sejalan dengan prinsip GAAR).
Dengan diperkuatnya landasan GAAR, DJP ke depan dapat lebih fleksibel dan adaptif menghadapi skema baru yang belum diatur. Sebagai contoh, jika muncul skema digital economy kompleks atau transaksi derivatif keuangan rumit yang dimanfaatkan untuk menghindari pajak, DJP tidak perlu menunggu UU atau PP baru; cukup gunakan GAAR dengan menunjukkan motif penghindaran pajak, lalu mengoreksi sesuai substansi ekonomi. Hal ini di satu sisi menguntungkan otoritas karena menutup celah aturan tertinggal oleh inovasi skema pajak. Bahkan data DDTC menunjukkan mayoritas negara maju telah menerapkan GAAR sebagai payung antipenghindaran (67,2% negara di dunia memiliki GAAR), sehingga langkah Indonesia menerapkannya adalah wajar secara global.
Namun demikian, penerapan GAAR berpotensi meningkatkan sengketa pajak antara fiskus dan Wajib Pajak. Beberapa potensi permasalahan dan sengketa yang perlu diantisipasi:
- Pembuktian Motif dan Substansi: GAAR bertumpu pada niat/motif di balik transaksi. Dalam sengketa, Wajib Pajak kemungkinan akan berargumen bahwa transaksi yang dilakukan punya tujuan bisnis yang sah, bukan semata-mata Pembuktian bahwa suatu skema “tanpa substansi bisnis” atau “dominantly tax-driven” sangat menantang. Otoritas harus mengumpulkan bukti kuat (dokumen internal, komunikasi bisnis, analisis ekonomi) untuk meyakinkan hakim bahwa misalnya pinjaman yang diberikan tidak memiliki commercial rationale, atau perusahaan SPV benar-benar shell saja. Denny Vissaro (DDTC) mengungkapkan bahwa membuktikan motif penghindaran pajak itu sangat menantang dan inilah yang bisa memicu peningkatan sengketa. Sengketa akan berpusat pada interpretasi: DJP menilai “tidak wajar”, WP bersikeras “wajar secara bisnis”. Akhirnya, keputusan mungkin bergantung pada Pengadilan Pajak dan MA, sehingga menambah beban proses penegakan hukum.
- Subyektivitas dan Kepastian Hukum: Berbeda dengan SAAR yang jelas parameternya (misal rasio 4:1, batas 50% kepemilikan, dsb), GAAR cenderung subyektif jika tanpa panduan. Tanpa aturan detail, ada risiko ketidakkonsistenan antar pemeriksa – misal, kasus A dianggap penghindaran oleh tim X, tapi kasus serupa dinilai berbeda oleh tim Inkonsistensi ini bisa jadi sumber sengketa karena WP merasa diperlakukan tidak adil atau ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, PP 55/2022 mensyaratkan adanya mekanisme penjaminan kualitas (quality assurance) internal DJP sebelum GAAR dijalankan. Kemungkinan akan dibentuk semacam panel pakar di DJP yang menilai layak tidaknya GAAR dipakai dalam suatu kasus, agar penerapannya konsisten. Selain itu, aspek perlindungan hak Wajib Pajak harus dijaga – misalnya hak untuk didengar (WP dapat memberikan justifikasi ekonomi sebelum koreksi dijatuhkan), hak memperoleh risalah pemeriksaan yang menjelaskan penerapan GAAR, dan tentu hak formal mengajukan keberatan dan banding tetap terbuka (Pasal 44 ayat (2) PP 55/2022 menjamin WP dapat menempuh upaya sengketa sesuai prosedur muc.co.id). Ini penting agar WP tidak merasa GAAR digunakan sewenang-wenang tanpa peluang pembelaan.
- Menjangkau Wajib Pajak Patuh: Ada kekhawatiran bahwa GAAR bisa menyasar wajib pajak yang sebetulnya patuh ddtc.co.id, misalnya transaksi normal yang diinterpretasikan berbeda oleh fiskus. Oleh karenanya, aturan menggarisbawahi bahwa GAAR hanya untuk transaksi yang abnormal. DJP dalam sosialisasi perlu memperjelas kriteria “penghindaran pajak yang bertentangan dengan maksud UU”. Jika tidak jelas, WP yang taat pun cemas melakukan perencanaan pajak yang sebenarnya legal (tax planning) karena takut dikategorikan penghindaran. Hal ini diakui para praktisi, sehingga penerapan GAAR harus berhati-hati agar tidak mengganggu iklim usaha. Kepastian mengenai apa yang diperbolehkan (acceptable tax planning) dan apa yang tidak (abuse) harus disosialisasikan. Sengketa dapat timbul jika WP merasa tindakan mereka masih dalam koridor undang-undang, tetapi DJP menggunakan GAAR untuk mengoreksi dengan dalih “bertentangan tujuan UU”. Batas tipis ini akan menjadi ranah interpretasi hukum di pengadilan apabila terjadi.
- Contoh Potensi Sengketa Rekarakterisasi: Mengambil contoh rekarakterisasi utang menjadi modal, sengketa mungkin muncul terkait berapa porsi utang yang dianggap modal atau apakah pinjaman tersebut benar-benar tidak wajar. WP mungkin berargumen bahwa tingkat utang tinggi masih berdasar pertimbangan bisnis (misal industri padat modal lazim berutang besar) dan bunga telah sesuai pasar, sehingga tak seharusnya direklasifikasi. DJP sebaliknya mendalilkan WP sengaja memanfaatkan bunga untuk erosion. Sengketa seperti ini akan melibatkan pembuktian kondisi pasar, standar industri, bahkan mungkin saksi ahli. Di Pengadilan Pajak, WP bisa mengutip bahwa mereka telah memenuhi aturan thin cap formal (misal DER 3:1 yang masih di bawah 4:1), sehingga koreksi tambahan berdasarkan “substansi” tak dibenarkan jika tanpa bukti DJP harus menunjukkan indikator lain (misal pinjaman jangka sangat panjang menyerupai modal, atau ada side agreement dengan pemberi pinjaman) agar keputusan reklasifikasi disetujui hakim.
Untuk memitigasi sengketa berlarut, pemerintah menekankan tata kelola GAAR yang baik. Lima aspek di Pasal 44(1) PP 55/2022 adalah upaya agar penerapan GAAR terstruktur dan transparan muc.co.id. Dengan prosedur formil-materiil yang jelas, WP diharapkan paham alasan koreksi GAAR sehingga kalaupun sengketa, ruang lingkupnya spesifik. Selain itu, DJP kemungkinan akan memilih kasus-kasus yang signifikan dan jelas untuk pilot project GAAR, agar presedennya kuat. Tidak tertutup kemungkinan DJP akan menerbitkan rule atau SE (Surat Edaran) internal tentang bagaimana mengidentifikasi skema penghindaran pajak tertentu, berdasarkan studi kasus yang pernah terjadi (misal skema swap saham berputar, skema debt push-down, dsb). Ini membantu penyamaan persepsi antara fiskus, WP, dan penegak hukum.
Secara keseluruhan, hadirnya GAAR di Indonesia merupakan langkah maju untuk menjaga basis pajak dari praktik penghindaran agresif. DJP sebagai fiskus kini dipersenjatai kewenangan untuk “tidak peduli bagaimana caramu menghindar; jika motif utamanya mengurangi pajak, kami bisa koreksi” news.ddtc.co.id. Namun, implementasi aturan ini harus proporsional. Di satu sisi, GAAR efektif menutup celah aturan karena menyasar motif, bukan skema spesifik. Di sisi lain, tantangan pembuktian motif dan menjaga kepastian hukum tidak boleh diabaikan. Potensi sengketa pasti ada, terutama dalam tahun-tahun awal penerapannya, sebagaimana dialami banyak negara lain saat mulai menerapkan GAAR. Wajib Pajak mungkin lebih berhati-hati dalam perencanaan pajak dan akan menguji batas kewajaran di Pengadilan Pajak jika merasa koreksi GAAR DJP berlebihan.
Kesimpulan
Dalam ketentuan perpajakan Indonesia saat ini telah diatur GAAR untuk Wajib Pajak Badan, meskipun implementasinya masih menunggu penyempurnaan regulasi teknis. Dasar hukum GAAR tercermin pada Pasal 18 UU PPh (beserta penjelasannya) yang memberikan kewenangan umum mencegah penghindaran pajak, dan dioperasionalkan melalui PP 55/2022 yang memuat prinsip substance over form sebagai landasan GAAR (Pasal 32(4)). Selain itu, Indonesia tetap memiliki berbagai SAAR (CFC, thin cap, transfer pricing, dll) dalam UU PPh dan aturan turunannya sebagai instrumen lini pertama. Fiskus dalam menerapkan GAAR akan menilai substansi ekonomi transaksi dan dapat mereklasifikasi atau mengabaikan bentuk hukum transaksi yang dinilai semata-mata bertujuan pajak – contohnya menganggap pinjaman sebagai modal jika jelas digunakan untuk menghindari pajak secara tidak wajar.
Praktik DJP ke depan kemungkinan besar akan lebih proaktif menantang skema penghindaran pajak, namun tetap mengikuti prosedur yang hati-hati. Potensi sengketa akibat GAAR memang ada, terutama karena perbedaan pandangan tentang motif dan kewajaran transaksi. Oleh sebab itu, check and balance internal (mekanisme review) dan penghormatan hak Wajib Pajak akan menjadi kunci. Dengan penerapan yang terukur, GAAR diharapkan mencegah erosinya basis pajak oleh skema abusive sekaligus tetap menjaga iklim kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang menjalankan perencanaan pajak secara wajar. Pemerintah melalui DJP perlu terus menyosialisasikan batas antara tax planning yang diperbolehkan vs tax avoidance yang akan ditindak GAAR, agar wajib pajak paham koridor aturan.
Sebagai penutup, keberadaan GAAR menegaskan bahwa tidak ada lagi “zona abu-abu” yang aman bagi skema penghindaran pajak agresif. Jika suatu cara penghindaran belum diatur larangannya secara spesifik, GAAR dapat “menjaring”-nya sepanjang terbukti menyimpangi tujuan UU. Dengan demikian, Wajib Pajak Badan di Indonesia perlu memastikan setiap transaksi atau struktur bisnisnya memiliki substance dan justifikasi komersial yang kuat, sebab fiskus kini memiliki landasan hukum untuk menggali lebih dalam motif di baliknya. Kebijakan GAAR ini diharapkan mampu meningkatkan keadilan dan efektifitas sistem perpajakan, meski tantangan implementasinya akan memerlukan komitmen dan kehati-hatian dari semua pihak.
Referensi:
- Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta penjelasannya (setelah perubahan UU HPP 2021).
- Undang-Undang
- PP 55 Tahun 2022 (Pasal 32 dan Pasal 44).
- PMK 169/PMK.010/2015 (Thin Capitalization) dan peraturan pelaksana terkait.
- Artikel dan berita DDTC, DJP, serta jurnal mengenai GAAR dan praktik antipenghindaran pajak
- Mohon masukan atas uraian di atas dan mohon updatenya apabila ada ketentuan yang terbaru.
Jakarta, 25 Maret 2025
Abdul Gani*)
*) penulis merupakan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga di Jakarta