Proyek Baru (11)

Memahami Aktivitas Ekonomi Bawah Tanah, Paralel, dan Bayangan di Indonesia: Potensi dan Upaya Penanggulangannya

- Ekonomi

Sunday, 30 March 2025 06:18 WIB

WhatsApp Image 2025-01-23 at 10.31.36

Jakarta, fiskusnews.com:

I. Definisi dan Perbedaan Aktivitas Ekonomi Bawah Tanah, Paralel, dan Bayangan di Indonesia

  • A. Aktivitas Ekonomi Bawah Tanah (Underground Economy Activity):
    • Aktivitas ekonomi bawah tanah di Indonesia mencakup produksi pasar barang dan jasa, baik legal maupun ilegal, yang dijual atau dibeli secara ilegal. Ini termasuk kegiatan yang sengaja disembunyikan dari pihak berwenang karena berbagai alasan, seperti penghindaran pajak atau untuk menghindari regulasi. Aktivitas ini sering kali terlewatkan dari perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).  
    • Ruang lingkup aktivitas ini sangat luas, meliputi kegiatan ilegal seperti perjudian, prostitusi, perdagangan narkoba, dan penjualan barang curian, serta kegiatan legal yang disembunyikan untuk menghindari pajak, kontribusi jaminan sosial, dan regulasi terkait upah minimum, jam kerja maksimum, dan standar keselamatan.  
    • Motivasi utama di balik aktivitas ekonomi bawah tanah didorong oleh faktor-faktor seperti tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, keinginan untuk menghindari regulasi yang rumit dan biaya formalisasi usaha yang mahal, kurangnya kepercayaan terhadap institusi dan sistem formal, serta tingginya tingkat korupsi.  
    • Aktivitas ekonomi bawah tanah di Indonesia tidak hanya terbatas pada kegiatan ilegal. Sebagian besar melibatkan bisnis legal yang beroperasi di luar sistem formal untuk menghindari berbagai kewajiban. Sifat ganda ini mempersulit pengukuran dan respons kebijakan yang efektif. Penghindaran regulasi dan biaya formalisasi menjadi pendorong signifikan bagi bisnis legal untuk tetap beroperasi di bawah radar pemerintah.  
  • B. Aktivitas Ekonomi Paralel (Parallel Economy Activity):
    • Aktivitas ekonomi paralel didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menggunakan perantara atau “front man” yang tampak di permukaan, padahal pemilik sebenarnya tidak terlihat dan mengendalikan perantara tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, istilah “parallel economy” sering digunakan secara bergantian dengan “black economy” atau “shadow economy,” merujuk pada sektor ekonomi yang tidak tercatat dan tidak disetujui yang beroperasi di luar tujuan hukum sektor formal. Perlu dicatat bahwa artikel yang dikutip membahas ekonomi paralel di India dan tidak secara spesifik mendefinisikannya dalam konteks Indonesia.  
    • Tujuan penggunaan perantara ini sering kali untuk menyembunyikan pemilik sebenarnya dari aktivitas ekonomi, yang mungkin dilakukan untuk tujuan terlarang atau untuk menghindari pengawasan. Definisi yang lebih luas juga menunjukkan tujuan seperti menghindari pajak dan regulasi.  
    • Definisi yang diberikan pengguna memiliki tumpang tindih dengan aspek ekonomi bayangan, terutama dalam hal penyembunyian kepemilikan. Sementara itu, definisi yang lebih luas memperlakukan istilah ini sebagai sinonim untuk ekonomi bawah tanah dan bayangan.
    • Konsep “front man” yang dijelaskan pengguna menyoroti mekanisme penyembunyian kepemilikan yang spesifik. Namun, riset menunjukkan bahwa istilah “parallel economy” sering digunakan lebih luas sebagai deskriptor lain untuk aktivitas ekonomi tersembunyi, serupa dengan “underground” atau “shadow” economy. Ini menunjukkan bahwa definisi pengguna mungkin mewakili subset atau manifestasi spesifik dari ekonomi paralel/bayangan yang lebih luas. Motivasi utama di balik operasi ini adalah untuk menghindari regulasi dan perpajakan.  
  • C. Aktivitas Ekonomi Bayangan (Shadow Economy Activity):
    • Aktivitas ekonomi bayangan adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perantara, dengan pemilik sebenarnya beroperasi di balik layar, seperti bayangan yang selalu mengikuti gerakan perantara. Istilah ini sering disamakan dengan ekonomi bawah tanah, informal, atau tunai . Beberapa sumber juga mendefinisikannya sebagai aktivitas ekonomi tersembunyi yang tidak dicatat oleh statistik resmi, termasuk pendapatan dari produksi legal yang tidak terdaftar.  
    • Ruang lingkupnya meliputi kegiatan legal (pendapatan tidak dilaporkan dari produksi legal) dan ilegal. Tujuannya adalah untuk menghindari hukum pajak yang berlaku, kontribusi jaminan sosial, dan regulasi.  
    • Motivasi utama di balik ekonomi bayangan adalah penghindaran pajak . Beban pajak dan jaminan sosial yang tinggi juga menjadi pendorong utama.  
    • Mirip dengan ekonomi paralel, definisi ekonomi bayangan dari pengguna menekankan adanya aktor tersembunyi di balik aktor yang terlihat. Riset memperkuat pemahaman luas tentang ekonomi bayangan sebagai mencakup semua aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan, dengan penghindaran pajak sebagai motif utama. Penggunaan istilah “shadow,” “underground,” dan “informal” secara bergantian dalam literatur menunjukkan bahwa ini adalah konsep yang sebagian besar tumpang tindih. Motivasi utama untuk beroperasi di luar sistem formal adalah untuk menghindari pajak dan beban regulasi.  
  • D. Fitur Pembeda dan Konsep yang Tumpang Tindih dalam Konteks Indonesia:
    • Secara keseluruhan, ketiga istilah ini merujuk pada aktivitas ekonomi yang terjadi di luar pengawasan dan pelaporan resmi. Sementara pengguna memberikan definisi yang lebih bernuansa untuk ekonomi paralel dan bayangan yang berfokus pada kepemilikan tersembunyi, literatur akademik dan kebijakan yang lebih luas sering menggunakan “underground,” “shadow,” dan “informal” secara bergantian untuk menggambarkan kegiatan ekonomi di luar pelaporan dan regulasi resmi.  
    • Dalam konteks Indonesia, ketiga istilah ini umumnya mengacu pada bagian dari kegiatan ekonomi yang tidak tercatat secara resmi, seringkali dengan maksud untuk menghindari pajak atau regulasi. Definisi spesifik pengguna menambahkan lapisan pemahaman mengenai potensi mekanisme penyembunyian (perantara dan pemilik tersembunyi).
    • Tabel berikut merangkum karakteristik utama dari setiap jenis aktivitas ekonomi tersembunyi di Indonesia, menggabungkan definisi pengguna dan pemahaman yang lebih luas dari riset.
Nama AktivitasDefinisi PenggunaDefinisi Lebih Luas (dari riset)Karakteristik UtamaMotivasi Utama
Ekonomi Bawah TanahKegiatan ekonomi yang tidak diperkenankan oleh norma hukum sosialProduksi pasar barang dan jasa, legal dan ilegal, yang dijual atau dibeli secara ilegal; aktivitas yang terlewatkan dari perhitungan PDBLegal dan ilegal; disembunyikan dari otoritas; tidak tercatat dalam sistem nasionalMenghindari norma hukum sosial (untuk aktivitas ilegal); menghindari pajak, kontribusi sosial, regulasi (untuk aktivitas legal yang disembunyikan)
Ekonomi ParalelKegiatan ekonomi menggunakan perantara yang tampak di permukaan padahal pemilik sebenarnya tidak terlihatSektor ekonomi tidak tercatat atau tidak disetujui yang beroperasi di luar tujuan hukum sektor formal; sering disamakan dengan ekonomi hitam atau bayanganMenggunakan perantara untuk menyembunyikan pemilik; tidak tercatat; tidak disanksiMenyembunyikan kepemilikan; menghindari pajak dan regulasi
Ekonomi BayanganKegiatan ekonomi dilakukan oleh perantara, sedangkan pemilik sebenarnya berada di balik layarAktivitas ekonomi tersembunyi yang tidak dilaporkan kepada pemerintah; termasuk pendapatan dari produksi legal yang tidak terdaftarMenggunakan perantara dengan pemilik tersembunyi; tidak dilaporkan; legal dan ilegalMenghindari pajak, kontribusi sosial, regulasi

II. Besaran dan Dampak Ekonomi Bawah Tanah di Indonesia

  • A. Memperkirakan Ukuran:
    • Pendekatan moneter memperkirakan ukuran rata-rata ekonomi bawah tanah di Indonesia selama periode 2001-2013 sebesar 8,33 persen dari PDB. Akibatnya, rata-rata potensi kerugian pajak diperkirakan mencapai Rp 11.172,86 miliar atau sekitar satu persen dari PDB.  
    • Studi lain yang menggunakan pendekatan moneter untuk periode 2016-2019 memperkirakan rata-rata sebesar 17,65% dari PDB nominal, dengan kisaran antara Rp 475.634 miliar hingga Rp 750.839 miliar per kuartal . Potensi kerugian pajak pada tahun 2016 diperkirakan antara Rp 1.229.514 miliar hingga Rp 1.395.872 miliar, dan terus meningkat hingga tahun 2019.  
    • World Economics memperkirakan ukuran ekonomi informal (sering digunakan secara bergantian) sebesar 23% dari PDB.  
    • Sebuah studi LPEM memperkirakan ekonomi bayangan rata-rata sebesar 40% dari PDB yang dilaporkan antara tahun 1969-2004.  
    • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan aktivitas ekonomi bayangan menyumbang 30-40% dari PDB Indonesia berdasarkan angka tahun 2020.  
    • Terdapat variasi yang signifikan dalam perkiraan ukuran ekonomi tersembunyi Indonesia, kemungkinan disebabkan oleh perbedaan metodologi, jangka waktu, dan definisi yang digunakan. Perkiraan yang lebih tinggi (30-40%) menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas ekonomi tidak tercatat, yang mengindikasikan potensi dampak yang sangat besar pada pendapatan pajak dan statistik ekonomi. Tren peningkatan potensi kerugian pajak antara tahun 2016-2019 juga merupakan tren yang mengkhawatirkan.  

Tabel berikut merangkum berbagai perkiraan ukuran ekonomi bawah tanah/bayangan/informal di Indonesia dari berbagai sumber:

SumberTahun yang DicakupPerkiraan Ukuran (% dari PDB)Metodologi yang Disebutkan (jika ada)
Bulletin BMEB-BI  2001-20138.33%Pendekatan Moneter
Atlantis Press  2016-2019Rata-rata 17.65%Pendekatan Moneter
World Economics  Data Terbaru23%Tidak Disebutkan
LPEM UI  1969-2004Rata-rata 40%Pendekatan Permintaan Mata Uang, Pendekatan Listrik Rumah Tangga
Indonesia Business Post, MUC Consulting  202030-40%Perkiraan PPATK
  • B. Dampak Ekonomi:
    • Aktivitas bawah tanah memiliki potensi untuk menghasilkan pendapatan negara yang signifikan yang belum dimanfaatkan.  
    • Kerugian potensi pajak rata-rata selama tahun 2001-2013 diperkirakan mencapai Rp 11.172,86 miliar atau sekitar 1% dari PDB.  
    • Potensi kerugian pajak akibat aktivitas bawah tanah pada tahun 2016 diperkirakan antara Rp 1.229.514 miliar dan Rp 1.395.872 miliar, dengan tren yang terus meningkat hingga tahun 2019.  
    • Ekonomi bawah tanah dapat menyebabkan kerugian pendapatan bagi pemerintah, kesulitan dalam pengendalian dan regulasi ekonomi, serta peningkatan risiko aktivitas kriminal.  
    • Hal ini dapat menyebabkan inefisiensi pengambilan keputusan oleh para pemangku kepentingan karena pengukuran beberapa indikator ekonomi seperti pengangguran, angkatan kerja, pendapatan, dan konsumsi menjadi tidak akurat.  
    • Ekonomi bawah tanah mendistorsi perhitungan PDB dan dapat meningkatkan defisit anggaran, yang berpotensi menyebabkan tarif pajak yang lebih tinggi untuk sektor formal . Ekonomi bayangan diperkirakan mencapai 30-40% dari PDB Indonesia pada tahun 2020, dengan nilai antara Rp 4.603,5 triliun dan Rp 6.173,6 triliun.  
    • Impor ilegal, yang merupakan bagian dari ekonomi bawah tanah, merugikan negara dalam hal kehilangan pendapatan dan berdampak pada pengusaha kecil dan menengah. Pajak dan bea cukai yang tidak dibayar atas impor tekstil tidak terdaftar saja mencapai $399 juta.  
    • Dampak ekonomi dari ekonomi bawah tanah di Indonesia sangat besar. Potensi pendapatan pajak yang belum dimanfaatkan dapat secara signifikan meningkatkan keuangan pemerintah. Kerugian pajak saat ini, yang mencapai triliunan Rupiah, merupakan beban besar bagi kemampuan negara untuk mendanai pembangunan dan layanan publik. Selain pendapatan, data ekonomi yang tidak akurat menghambat perumusan kebijakan yang efektif, dan persaingan tidak sehat dari ekonomi bawah tanah dapat menghambat pertumbuhan bisnis yang sah, terutama UMKM. Skala impor ilegal juga menunjukkan kebocoran yang signifikan dalam pendapatan perdagangan.
  • C. Dampak Sosial:
    • Ekonomi bawah tanah dapat menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi mereka yang tidak memiliki akses ke ekonomi formal, membantu mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.  
    • Namun, hal ini juga meningkatkan risiko aktivitas kriminal.  
    • Sektor informal mungkin melibatkan eksploitasi pekerja tanpa jaminan kerja atau tunjangan.  
    • Ekonomi bawah tanah dapat terkait dengan korupsi, yang merusak pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan melemahkan tata kelola demokrasi.  
    • Dampak sosial menghadirkan dualitas yang kompleks. Meskipun ekonomi bawah tanah berfungsi sebagai sumber penghidupan yang penting bagi banyak orang Indonesia, terutama mereka yang terpinggirkan dari sektor formal, namun secara bersamaan juga menjadi lahan subur bagi kegiatan kriminal dan seringkali melibatkan kondisi kerja yang tidak pasti dan eksploitasi. Keterkaitan dengan korupsi semakin mengikis kepercayaan terhadap institusi dan menghambat pembangunan masyarakat secara keseluruhan.

III. Mengukur yang Tak Terlihat: Metodologi untuk Menilai Aktivitas Ekonomi Bawah Tanah

  • A. Pendekatan Langsung:
    • Pendekatan langsung menggunakan data mikroekonomi yang dikumpulkan melalui investigasi sosiologis, audit fiskal, dan metode investigasi langsung lainnya.  
    • Survei (Investigasi Anggaran Keluarga, Survei Rumah Tangga Terpadu) digunakan, terutama di negara-negara Eropa Utara, tetapi mungkin mengalami kekurangan pelaporan karena keengganan untuk mengakui perilaku curang.  
    • Audit fiskal dapat digunakan, tetapi hasilnya mungkin kurang baik karena subjek mungkin mengetahui tentang audit tersebut sebelumnya dan audit mungkin tidak representatif.  
    • Audit pajak di Indonesia, meskipun tidak selalu berdasarkan pengambilan sampel acak, dapat mengungkapkan celah pajak yang terkait dengan ekonomi bawah tanah. Perkiraan ekonomi bawah tanah dihasilkan dari hasil surat ketetapan pajak selama periode 1998-2005, berkisar antara 0,7% dan 3,4% dari PDB, yang menunjukkan adanya perkiraan yang terlalu rendah karena data pengambilan sampel yang tidak acak.  
    • Metode langsung, meskipun tampak sederhana, sangat terhambat oleh kerahasiaan inheren dari ekonomi bawah tanah. Individu dan bisnis yang terlibat tidak mungkin bersedia mengungkapkan partisipasi mereka dalam kegiatan yang tidak dilaporkan atau ilegal. Hal ini menyebabkan potensi bias dan perkiraan yang terlalu rendah dari skala sebenarnya. Pengalaman di Indonesia dengan audit pajak menunjukkan bahwa meskipun dapat memberikan beberapa wawasan, sifatnya yang tidak acak membatasi kemampuannya untuk mengukur secara akurat keseluruhan ekonomi bawah tanah.
  • B. Pendekatan Tidak Langsung:
    • Pendekatan tidak langsung menggunakan indikator makroekonomi untuk menyoroti evolusi dan tingkat ekonomi informal.  
    • Pendekatan Moneter (Permintaan Mata Uang): Mengasumsikan bahwa pelaku ekonomi bawah tanah lebih memilih uang tunai untuk menghindari kontrol pemerintah, terutama pajak. Memperkirakan ekonomi bawah tanah dengan melihat elastisitas permintaan mata uang terhadap beban pajak. Metode ini digunakan dalam beberapa penelitian yang memperkirakan ekonomi bawah tanah Indonesia.  
    • Diskrepansi antara Statistik Pengeluaran dan Pendapatan Nasional: Berdasarkan kesamaan teoritis PDB yang dihitung melalui pendekatan pengeluaran dan pendapatan. Perbedaan dapat mengindikasikan aktivitas bawah tanah. Namun, ahli statistik berusaha untuk meminimalkan diskrepansi ini, dan dapat dipengaruhi oleh kesalahan pengambilan sampel.  
    • Diskrepansi antara Angkatan Kerja Resmi dan Aktual: Mengasumsikan partisipasi angkatan kerja total yang konstan; penurunan partisipasi sektor legal mungkin mengindikasikan aktivitas bawah tanah. Namun, perubahan partisipasi angkatan kerja dapat disebabkan oleh faktor lain.  
    • Pendekatan Transaksi: Berdasarkan teori kuantitas uang (MV=PT), dengan asumsi hubungan yang konstan antara total transaksi dan PNB resmi. Memperkirakan ekonomi informal sebagai selisih antara PNB nominal dan PNB resmi. Menghadapi masalah dengan asumsi tahun dasar dan data transaksi yang akurat.  
    • Pendekatan Listrik Rumah Tangga: Menggunakan konsumsi listrik sebagai proksi untuk keseluruhan aktivitas ekonomi (resmi dan bayangan) dan mengurangkan PDB resmi untuk memperkirakan ekonomi bayangan.  
    • Metode MIMIC (Multiple Indicators, Multiple Causes): Menguji hubungan antara variabel laten ekonomi bayangan (penyebab dan indikator). Lebih kompleks tetapi dapat menyebabkan koefisien yang tidak stabil tergantung pada ukuran sampel.  
    • Metode tidak langsung menawarkan wawasan yang berharga dengan memanfaatkan data makroekonomi, tetapi dibangun di atas asumsi yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Pendekatan moneter, meskipun banyak digunakan untuk Indonesia, mengasumsikan hubungan langsung antara permintaan uang tunai dan beban pajak, yang mungkin dipengaruhi oleh faktor lain. Metode diskrepansi sensitif terhadap akurasi statistik resmi. Secara keseluruhan, metode ini memberikan perkiraan tetapi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
  • C. Tantangan dan Keterbatasan dalam Konteks Indonesia:
    • Kesulitan dalam mencapai konsensus mengenai definisi ekonomi bawah tanah.  
    • Pelaku ekonomi bawah tanah sengaja menyembunyikan identitas mereka.  
    • Kurangnya data primer yang komprehensif dan andal mengenai aktivitas ini.  
    • Sifat dinamis perekonomian Indonesia dan perubahan teknologi yang pesat dapat menyulitkan metode pengukuran untuk mengikutinya (Kesimpulan Tersirat).
    • Mengukur ekonomi bawah tanah di Indonesia adalah upaya yang kompleks dan penuh tantangan. Kurangnya definisi yang seragam menghambat analisis komparatif antar studi. Penyembunyian yang disengaja oleh para pelaku membuat pengumpulan data menjadi sangat sulit. Ketergantungan pada statistik resmi yang berpotensi usang atau tidak lengkap untuk metode tidak langsung menambah lapisan ketidakpastian lainnya. Selain itu, lanskap ekonomi yang terus berkembang memerlukan adaptasi dan penyempurnaan berkelanjutan dari teknik pengukuran.

IV. Memanfaatkan Celah: Pasal 4 ayat (1) UUPPh dan Kerentanan Penghindaran Pajak

  • A. Teks Pasal 4 ayat (1) UUPPh:
    • “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis) Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (worldwide income concept), yang dapat dipakai untuk konsumsi (expenses) atau untuk menambah kekayaan (assets) Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun (substance overform doctrin)”.
    • Kutipan memberikan konteks dan contoh lebih lanjut mengenai apa yang termasuk dalam “penghasilan” berdasarkan pasal ini, termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, hadiah, laba usaha, keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta, bunga, dividen, royalti, sewa, dan penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Kutipan menyoroti bahwa pasal ini mendefinisikan penghasilan bruto, yang kemudian dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak.  
  • B. Potensi Celah Hukum (Loophole) untuk Penghindaran Pajak:
    • Kueri pengguna menyoroti potensi celah hukum dalam representasi formula Pasal 4 ayat (1) sebagai: Pendapatan = Beban + Aset. Formula ini tidak secara eksplisit memperhitungkan kewajiban (liabilities).
    • Kelalaian ini mungkin memungkinkan wajib pajak untuk berargumen bahwa peningkatan kewajiban tidak selalu mewakili peningkatan kemampuan ekonomi mereka yang harus dikenakan pajak berdasarkan definisi saat ini. Misalnya, sebuah perusahaan dapat mengambil pinjaman besar untuk membeli aset, dengan alasan bahwa meskipun aset mereka telah meningkat, manfaat ekonomi bersih mereka (mengingat kewajiban yang mengimbanginya) belum meningkat sedemikian rupa sehingga memicu kewajiban pajak langsung berdasarkan rumusan saat ini.
    • Fokus Pasal 4 ayat (1) pada peningkatan kemampuan ekonomi melalui konsumsi atau akumulasi aset, tanpa secara eksplisit mempertimbangkan peran kewajiban, dapat menciptakan celah hukum untuk penghindaran pajak oleh mereka yang secara strategis dapat meningkatkan kewajiban mereka untuk mengimbangi keuntungan dalam aset atau pendapatan. Hal ini sangat relevan dalam skema keuangan yang canggih seperti pinjaman kembali (back-to-back loans) atau restrukturisasi perusahaan yang kompleks. Dengan hanya berfokus pada peningkatan aset atau potensi konsumsi, rumusan Pasal 4(1) saat ini mungkin secara tidak sengaja mengabaikan situasi di mana peningkatan kemampuan ekonomi yang tampak sebagian besar atau seluruhnya dibiayai oleh utang. Hal ini dapat memungkinkan wajib pajak untuk berargumen bahwa manfaat ekonomi bersih mereka (setelah memperhitungkan kewajiban yang baru timbul atau meningkat) belum meningkat cukup untuk menjamin pengenaan pajak segera. Mereka mungkin menunda atau bahkan menghindari kewajiban pajak dengan mengelola kewajiban mereka secara strategis.
  • C. Perlunya Definisi yang Lebih Komprehensif:
    • Kueri pengguna menunjukkan bahwa definisi saat ini mungkin tidak cukup untuk mencakup semua bentuk manfaat ekonomi, terutama ketika kewajiban terlibat. Tidak adanya pertimbangan eksplisit mengenai perubahan kewajiban dapat menyebabkan strategi perencanaan pajak yang memanfaatkan celah ini. Misalnya, suatu transaksi dapat disusun untuk meningkatkan baik aset maupun kewajiban tanpa peningkatan pendapatan kena pajak langsung yang sesuai berdasarkan definisi saat ini, meskipun substansi ekonomi yang mendasarinya menunjukkan manfaat bagi wajib pajak.

V. Persamaan Akuntansi Pajak oleh Dr. Dr(c) Joko Ismuhadi S., S.E.Ak., M.M.: Pendekatan Baru untuk Potensi Pendapatan Pajak

  • A. Memahami Persamaan:
    • Persamaan Akuntansi Pajak disajikan sebagai: Pendapatan = Beban + Aset – Kewajiban.
    • Persamaan ini secara eksplisit memasukkan kewajiban sebagai faktor yang mempengaruhi kemampuan ekonomi bersih wajib pajak [User Query]. Dengan memasukkan kewajiban, persamaan ini bertujuan untuk memberikan refleksi yang lebih akurat tentang posisi keuangan wajib pajak untuk tujuan perpajakan.
    • Kutipan menjelaskan persamaan akuntansi dasar (Aset = Kewajiban + Ekuitas) dan persamaan akuntansi yang diperluas (seringkali mencakup pendapatan, beban, dan modal pemilik). Persamaan Dr. Ismuhadi mengadaptasi prinsip akuntansi fundamental ini untuk konteks pajak yang spesifik, berfokus pada komponen yang secara langsung berkaitan dengan pendapatan kena pajak.  
    • Persamaan Akuntansi Pajak yang diusulkan oleh Dr. Ismuhadi menawarkan pandangan yang lebih bernuansa tentang posisi keuangan wajib pajak untuk tujuan perpajakan dengan secara eksplisit memperhitungkan kewajiban. Ini merupakan perbedaan signifikan dari representasi Pasal 4 ayat (1) saat ini, yang secara implisit berfokus pada peningkatan kemampuan ekonomi bruto (pendapatan yang mengarah pada peningkatan aset atau konsumsi) tanpa adanya offset langsung untuk kewajiban. Dengan memasukkan kewajiban, persamaan ini bertujuan untuk menangkap peningkatan bersih dalam manfaat ekonomi secara lebih akurat.
  • B. Mengatasi Keterbatasan Pasal 4 ayat (1) UUPPh:
    • Pengguna berpendapat bahwa dengan memasukkan “– Kewajiban,” Persamaan Akuntansi Pajak menutup potensi celah hukum dalam Pasal 4 ayat (1) UUPPh dengan memastikan bahwa penurunan kemampuan ekonomi bersih akibat peningkatan kewajiban diperhitungkan [User Query]. Lebih penting lagi, persamaan ini memastikan bahwa peningkatan kemampuan ekonomi yang tercermin dalam pengurangan kewajiban juga dianggap sebagai pendapatan kena pajak.
    • Rumusan revisi Pasal 4 ayat (1) berdasarkan persamaan ini adalah: “yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis) Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (worldwide income concept), yang dapat dipakai untuk konsumsi (expenses) atau untuk menambah kekayaan (assets) atau untuk mengurangi utang (liabilities) Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun (substance overform doctrin)”.
    • Definisi revisi ini memperluas basis pajak dengan secara eksplisit memasukkan pengurangan kewajiban sebagai bentuk manfaat ekonomi yang harus dikenakan pajak. Ini mengatasi potensi celah hukum di mana wajib pajak mungkin berpendapat bahwa peningkatan aset yang dibiayai oleh utang tidak serta merta merupakan peristiwa kena pajak. Definisi revisi memastikan bahwa peningkatan bersih dalam kekayaan bersih, termasuk melalui pengurangan utang, dipertimbangkan.
  • C. Fokus Audit pada Kewajiban dan Uji Tujuan Bisnis (Purpose Business Test):
    • Pengguna menyarankan bahwa persamaan baru ini memungkinkan “Fokus Audit” pada kewajiban, terutama melalui penerapan “Uji Tujuan Bisnis” [User Query]. Dengan memeriksa sisi kewajiban dari persamaan, otoritas pajak dapat mengidentifikasi transaksi yang mungkin menyembunyikan pendapatan atau secara artifisial mengurangi laba kena pajak.
    • Dengan meneliti tujuan di balik kewajiban, otoritas pajak berpotensi mengidentifikasi transaksi, seperti “pinjaman kembali” (back-to-back loans), yang mungkin disusun terutama untuk penghindaran pajak daripada kebutuhan bisnis yang sebenarnya. Jika Uji Tujuan Bisnis mengungkapkan kurangnya rasionalitas komersial yang sah, kewajiban ini dapat diklasifikasikan ulang, yang berpotensi menyebabkan penyesuaian pendapatan kena pajak.
  • D. Alat Forensik untuk Analisis Pajak Indonesia:
    • Kutipan menyebut Persamaan Akuntansi Pajak Dr. Ismuhadi sebagai “Alat Forensik untuk Analisis Pajak Indonesia,” yang menunjukkan potensinya dalam mengungkap aktivitas ekonomi tersembunyi. Kutipan secara eksplisit menyatakan bahwa persamaan tersebut bertujuan untuk menutup celah pajak dengan mengubah Pasal 4 Ayat (1) UU PPh.  
    • Meskipun mekanisme spesifik bagaimana persamaan ini berfungsi sebagai alat forensik tidak dijelaskan secara rinci dalam kutipan yang diberikan, penekanan berulang pada istilah ini menunjukkan bahwa persamaan ini menyediakan pendekatan terstruktur dan sistematis bagi otoritas pajak untuk menganalisis data keuangan, terutama berfokus pada interaksi antara pendapatan, beban, aset, dan kewajiban, untuk mengidentifikasi potensi indikator penghindaran pajak atau perencanaan pajak agresif. Tujuannya adalah untuk melampaui analisis laporan keuangan tradisional untuk mengungkap realitas ekonomi tersembunyi.

VI. Mengungkap Kewajiban Tersembunyi: Peran Uji Tujuan Bisnis dan Doktrin Substansi Mengungguli Bentuk (Substance Over Form Doctrine)

  • A. Uji Tujuan Bisnis (Purpose Business Test):
    • Uji untuk menentukan tujuan bisnis yang sebenarnya di balik suatu transaksi, terutama pinjaman. Pertanyaan inti adalah apakah transaksi tersebut dilakukan untuk alasan komersial yang sah atau terutama untuk manfaat pajak.
    • Jika “Skema Transaksi Pinjaman” (Transaction Scheme Loan) (pinjaman kembali) tidak lulus Uji Tujuan Bisnis, pinjaman tersebut dapat disesuaikan menjadi pendapatan. Penyesuaian ini kemungkinan akan melibatkan perlakuan pinjaman sebagai bentuk distribusi laba terselubung atau kontribusi modal jika tidak ada tujuan bisnis yang sebenarnya ditetapkan. Kutipan membahas pinjaman kembali dan bagaimana otoritas pajak sering kali melihatnya dengan kecurigaan jika tampaknya digunakan untuk penghindaran pajak.  
    • Kutipan membahas “uji tujuan utama” atau “uji tujuan pokok” dalam hukum pajak internasional, di mana otoritas pajak dapat menantang manfaat pajak jika tujuan utama transaksi adalah untuk mendapatkan manfaat tersebut, meskipun secara hukum sesuai. Uji ini sering kali melibatkan pemeriksaan proses pengambilan keputusan wajib pajak dan konteks bisnis yang lebih luas.  
    • Kutipan membahas titik pemicu pajak berdasarkan kehadiran individu yang memberikan layanan di Indonesia, yang secara tidak langsung dapat berkaitan dengan tujuan kegiatan bisnis dan legitimasi beban atau kewajiban terkait.  
    • Uji Tujuan Bisnis, sejalan dengan tren internasional dalam memerangi penghindaran pajak, menyediakan mekanisme penting bagi otoritas pajak untuk meneliti rasionalitas komersial yang mendasari transaksi keuangan, terutama pinjaman. Fokus beralih dari sekadar bentuk hukum transaksi ke substansi ekonomi dan niat sebenarnya di baliknya. Jika tujuan utama dianggap sebagai penghindaran pajak daripada kebutuhan bisnis yang sebenarnya, manfaat pajak dapat ditantang, dan transaksi dapat dikarakterisasi ulang. Pembahasan tentang pinjaman kembali dalam kutipan menyoroti area spesifik di mana uji ini sangat relevan.  
  • B. Doktrin Substansi Mengungguli Bentuk (Substance Over Form Doctrine):
    • Prinsip bahwa realitas ekonomi harus lebih diutamakan daripada bentuk hukum suatu transaksi dalam menentukan kewajiban pajak.  
    • Dikodifikasikan dalam hukum pajak Indonesia melalui UU HPP (UU No. 7 Tahun 2021) Pasal 18 dan diperjelas lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 Pasal 32 ayat (4).  
    • Memberdayakan otoritas pajak (DJP) untuk mendefinisikan kembali jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya, terutama ketika mekanisme anti-penghindaran lainnya gagal.  
    • Diterapkan dalam transaksi pihak terkait, berfokus pada prinsip harga wajar, motif, aliran barang, dan peran pihak-pihak terkait . Kutipan memberikan contoh seperti perjanjian tertulis untuk layanan TI yang pada dasarnya merupakan pembayaran royalti.  
    • Digunakan untuk mengidentifikasi skema penghindaran pajak yang melibatkan special purpose vehicles (SPV).  
    • DJP memiliki wewenang untuk menerapkan doktrin ini tetapi harus mematuhi persyaratan seperti batasan wewenang, bukti penghindaran pajak, dan hak-hak wajib pajak.  
    • Membutuhkan dokumentasi dan bukti yang memadai untuk mendukung substansi ekonomi transaksi.  
    • Doktrin Substansi Mengungguli Bentuk adalah prinsip fundamental dalam memerangi penghindaran pajak, memungkinkan otoritas pajak untuk melihat melampaui pengaturan hukum yang dangkal ke realitas ekonomi sebenarnya dari transaksi. Kodifikasi formalnya di Indonesia memperkuat kemampuan DJP untuk menantang skema penghindaran pajak. Contoh yang diberikan menyoroti bagaimana doktrin ini dapat diterapkan untuk mengkarakterisasi ulang transaksi berdasarkan substansi aktualnya, terutama dalam transaksi pihak terkait di mana manipulasi lebih mungkin terjadi.
  • C. Penerapan dalam Menganalisis Kewajiban (Liabilities):
    • Dengan menerapkan Uji Tujuan Bisnis dan Doktrin Substansi Mengungguli Bentuk pada analisis kewajiban perusahaan, otoritas pajak dapat mengidentifikasi potensi pendapatan terselubung atau transaksi artifisial. Ini melibatkan penelitian mendalam terhadap tujuan dan substansi ekonomi kewajiban, terutama yang melibatkan pihak terkait atau instrumen keuangan yang kompleks.
    • Misalnya, pinjaman dari pihak terkait tanpa tujuan bisnis yang sebenarnya dapat diklasifikasikan ulang sebagai kontribusi modal atau bentuk pendapatan, yang dikenakan pajak. Pembayaran bunga atas pinjaman yang diklasifikasikan ulang tersebut kemudian dapat ditolak sebagai beban yang dapat dikurangkan. Kutipan membahas sengketa pajak terkait dengan karakterisasi transaksi keuangan, termasuk apakah itu pinjaman yang sebenarnya atau suntikan modal.  
    • “Pinjaman kembali” (back-to-back loans) dengan implikasi perjanjian pajak yang tidak menguntungkan dapat ditantang berdasarkan kurangnya kepemilikan manfaat (beneficial ownership) atau rasionalitas komersial yang sebenarnya. Jika substansi pengaturan mengungkapkan bahwa entitas perantara tidak memiliki kepentingan ekonomi atau kendali nyata atas dana tersebut, manfaat perjanjian pajak dapat ditolak.  
    • Penerapan gabungan Uji Tujuan Bisnis dan Doktrin Substansi Mengungguli Bentuk menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk menganalisis kewajiban. Dengan mempertanyakan legitimasi dan realitas ekonomi utang, terutama dalam skenario pihak terkait dan lintas batas, otoritas pajak dapat mengungkap kasus di mana kewajiban digunakan untuk menyembunyikan pendapatan, mengalihkan laba, atau menghindari pajak. Reklasifikasi utang sebagai ekuitas atau penolakan beban bunga adalah potensi hasil dari penelitian tersebut. Pembahasan tentang pinjaman kembali dan karakterisasi transaksi keuangan dalam kutipan menggarisbawahi relevansi praktis pendekatan ini.

VII. Anatomi Ekonomi Bawah Tanah Indonesia: Sektor dan Kegiatan Utama

  • A. Kegiatan Ilegal:
    • Perjudian, termasuk perjudian daring. Transaksi perjudian daring diperkirakan mencapai ratusan triliun Rupiah, dengan PPATK membekukan sejumlah besar dana di rekening bank terkait.  
    • Prostitusi.  
    • Korupsi.  
    • Penyelundupan barang , termasuk kayu, bahan bakar minyak (BBM), hewan langka yang dilindungi, dan barang ilegal (misalnya, tekstil, elektronik) dari Tiongkok tanpa izin bea cukai . Impor ilegal merugikan industri dalam negeri dan menyebabkan kerugian pendapatan yang signifikan (misalnya, $399 juta dalam pajak yang tidak dibayar atas tekstil).  
    • Peredaran narkoba.  
    • Perdagangan manusia.
    • Pencurian.
    • Ekonomi bawah tanah Indonesia secara signifikan didorong oleh berbagai kegiatan ilegal. Skala perjudian daring, dengan transaksi keuangannya yang besar, sangat mencolok. Penyelundupan, terutama tekstil dan elektronik, merupakan kebocoran pendapatan negara yang substansial dan merugikan bisnis lokal. Korupsi kemungkinan merasuki banyak kegiatan ilegal ini, semakin mempersulit upaya untuk memeranginya.
  • B. Kegiatan Legal yang Tidak Dideklarasikan:
    • Pekerjaan informal dan usaha kecil yang tidak melaporkan pendapatan untuk menghindari pajak . Sektor informal menyumbang sekitar 20-30% dari PDB Indonesia dan mempekerjakan sekitar 60% angkatan kerja.  
    • Pelaporan luas tanah yang kurang tepat dan transfer pricing dalam industri seperti kelapa sawit.  
    • Pedagang kaki lima yang tidak terdaftar dan usaha kecil di pasar.  
    • Kegiatan di sektor-sektor seperti pertanian dan perikanan (rasio pajak 0,89%), transportasi dan pergudangan (5,5%), serta informasi dan komunikasi (7,3%) diidentifikasi sebagai sangat rentan terhadap praktik ekonomi bayangan dengan rasio pajak yang rendah.  
    • Kontribusi signifikan sektor informal terhadap PDB dan lapangan kerja Indonesia menyoroti skala aktivitas ekonomi legal namun tidak dideklarasikan. Penghindaran pajak melalui pelaporan yang kurang tepat dan transfer pricing di sektor-sektor kunci seperti kelapa sawit merupakan kerugian pendapatan potensial yang substansial. Rasio pajak yang rendah di sektor-sektor tertentu menunjukkan masalah sistemik dengan kepatuhan atau penegakan pajak di area tersebut.
  • C. Tren Terkini dan Area yang Berkembang:
    • Meningkatnya perjudian daring sebagai komponen utama ekonomi bawah tanah ilegal, dengan perkiraan transaksi mencapai ratusan triliun Rupiah.  
    • Peningkatan fokus pemerintah pada pemetaan dan pengenaan pajak terhadap ekonomi digital dan aktivitas permainan daring.  
    • Potensi penghindaran pajak melalui transaksi digital dan platform daring (Kesimpulan Tersirat).
    • Revolusi digital mengubah lanskap ekonomi bawah tanah, dengan perjudian daring muncul sebagai area perhatian utama. Meningkatnya perhatian pemerintah terhadap ekonomi digital menunjukkan pengakuan akan potensi pertumbuhan pendapatan dan penghindaran pajak di ruang ini. Mekanisme regulasi dan pengumpulan pajak yang efektif untuk transaksi digital akan sangat penting di masa depan.

VIII. Upaya Pemerintah untuk Memerangi dan Memitigasi Aktivitas Ekonomi Bawah Tanah di Indonesia

  • A. Kerangka Hukum dan Regulasi:
    • Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang digunakan untuk memberantas ekonomi bayangan.  
    • Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) bertujuan untuk memperkuat kepatuhan pajak dan mencegah penghindaran pajak, termasuk memformalkan prinsip “substansi mengungguli bentuk”.  
    • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 memberikan pedoman untuk implementasi UU HPP, termasuk mengenai penyesuaian pengaturan Pajak Penghasilan dan penerapan prinsip substansi mengungguli bentuk.  
    • Indonesia terlibat dalam perjanjian bilateral dan multilateral (misalnya, ekstradisi, kerja sama timbal balik dalam masalah pidana) dan berpartisipasi dalam organisasi internasional seperti INTERPOL untuk memerangi kejahatan transnasional yang terkait dengan ekonomi bayangan.  
    • Indonesia telah membangun kerangka hukum berlapis untuk memerangi ekonomi bawah tanah, menangani baik hasil kegiatan ilegal (undang-undang pencucian uang) maupun penghindaran pajak yang mendasarinya (UU HPP dan peraturan pelaksanaannya). Keterlibatan dalam kerja sama internasional menyoroti pengakuan bahwa ini seringkali merupakan masalah transnasional.
  • B. Lembaga Penegak Hukum dan Inisiatif:
    • Pemerintah sedang melakukan studi untuk memetakan ekonomi bawah tanah untuk potensi pendapatan negara.  
    • Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengumumkan rencana untuk mengejar pajak dari ‘ekonomi bayangan’, menargetkan penghindaran pajak (misalnya, transfer pricing, pelaporan yang kurang tepat) dan kegiatan ilegal (misalnya, perjudian daring).  
    • Kerja sama antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan untuk mengatasi kegiatan ilegal seperti perjudian daring.  
    • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan rekening bank yang terkait dengan kegiatan ilegal seperti perjudian daring.  
    • Satuan Tugas Anti-Impor Ilegal menyelidiki skema impor ilegal, mengumpulkan data, dan menyita barang ilegal.  
    • Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu ditugaskan untuk memetakan dan mengatasi penghindaran pajak dalam ekonomi bawah tanah.  
    • Pemerintah bertujuan untuk memanfaatkan potensi pajak dari permainan daring.  
    • Upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak melalui modernisasi administrasi pajak dan peningkatan kesadaran wajib pajak.  
    • Memanfaatkan kebijakan subsidi tanpa tunai sebagai alat potensial untuk mengurangi aktivitas ekonomi bawah tanah ilegal.  
    • Pemerintah Indonesia menunjukkan niat yang jelas untuk secara aktif memerangi ekonomi bawah tanah melalui berbagai inisiatif. Fokus pada pemetaan, mengejar penghindaran pajak di sektor-sektor spesifik seperti kelapa sawit, dan menindak kegiatan ilegal seperti perjudian daring menunjukkan pendekatan yang terarah. Keterlibatan berbagai lembaga dan penggunaan alat seperti pembekuan aset menunjukkan upaya yang terkoordinasi. Selain itu, penekanan pada peningkatan administrasi pajak dan eksplorasi solusi inovatif seperti subsidi tanpa tunai menunjukkan pendekatan yang berorientasi ke depan.
  • C. Tantangan dan Langkah ke Depan:
    • Kesulitan dalam melacak dan mengenakan pajak pendapatan dari kegiatan ekonomi bayangan karena tidak adanya pelaporan oleh para pelaku.  
    • Perlunya pendekatan inovatif dalam mendeteksi sumber pendapatan tambahan dari ekonomi bawah tanah.  
    • Menyeimbangkan kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan pajak dengan potensi dampak negatif dari melegalkan kegiatan yang saat ini ilegal (misalnya, perjudian daring).  
    • Ukuran dan sifat kompleks sektor informal memerlukan strategi komprehensif untuk formalisasi, termasuk mengatasi beban regulasi dan memberikan insentif. Kutipan menyarankan kebijakan industri untuk sektor informal pedesaan guna mendorong manufaktur skala kecil dan memfasilitasi transisi ke sektor formal.  
    • Upaya berkelanjutan untuk memperkuat peraturan perpajakan, meningkatkan penegakan hukum ), dan meningkatkan kesadaran wajib pajak sangat penting untuk mengurangi ukuran ekonomi bawah tanah.  

IX. Kesimpulan

Aktivitas ekonomi bawah tanah, paralel, dan bayangan merupakan fenomena kompleks dengan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Meskipun istilah-istilah ini sering digunakan secara bergantian, mereka mencerminkan berbagai cara di mana kegiatan ekonomi dapat disembunyikan dari pengawasan resmi. Ukuran ekonomi tersembunyi di Indonesia diperkirakan cukup besar, dengan potensi kerugian pendapatan pajak yang mencapai triliunan Rupiah. Hal ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga mendistorsi data ekonomi dan menciptakan persaingan yang tidak sehat bagi bisnis formal.

Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk memerangi aktivitas ini, termasuk memperkuat kerangka hukum, meningkatkan penegakan hukum, dan mengeksplorasi pendekatan inovatif untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Persamaan Akuntansi Pajak yang diusulkan oleh Dr. Joko Ismuhadi menawarkan perspektif baru dalam menganalisis potensi pendapatan pajak dengan mempertimbangkan peran kewajiban secara eksplisit. Penerapan Uji Tujuan Bisnis dan Doktrin Substansi Mengungguli Bentuk merupakan alat penting dalam mengidentifikasi transaksi yang mungkin digunakan untuk penghindaran pajak.

Namun, tantangan tetap ada. Sifat tersembunyi dari aktivitas ini mempersulit pengukuran dan penegakan hukum. Pemerintah perlu terus mengembangkan strategi inovatif, meningkatkan kerja sama antar lembaga, dan mengatasi akar penyebab yang mendorong individu dan bisnis untuk beroperasi di luar sistem formal. Upaya berkelanjutan untuk menyederhanakan regulasi, mengurangi biaya formalisasi, dan meningkatkan kepercayaan terhadap institusi dapat membantu mendorong transisi dari ekonomi bawah tanah ke sektor formal, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif di Indonesia.

Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda

Share

Berita Lainnya

Rekomendasi untuk Anda

15555188718693592081

Tag Terpopuler

# Jokowi
# Prabowo
# Presiden RI

Berita Terpopuler

Video

Berita Lainnya

Foto

Rekomendasi Untuk Anda