Thursday, 23 January 2025 02:31 WIB
JAKARTA, fiskusnews.com: Dit P2 Kantor Pusat Ditjen Pajak selenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang diberi tajuk “Sinergi Menggali Potensi Underground Economy” pada hari Rabu tanggal 22 Januari 2025 bertempat di Theater 2 Lantai 3 Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang diikuti oleh peserta seluruh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, Kabid P2IP serta Kepala Seksi Pemeriksaan & Penagihan Pajak seluruh Indonesia. Bagi Pejabat dari KPP & Kanwil di wilayah Jakarta mengikuti acara secara luring, sedangkan diluar Jakarta mengikuti secara daring via zoom meeting. Acara diawali dengan sambutan pembukaan oleh Kasubdit Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan Bapak Andri Puspo Harianto.
FGD kali ini mengundang narasumber Dr. Joko Ismuhadi S., S.E., M.M., yang merupakan seorang akademisi anggota utama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perserikatan Ahli Hukum Indonesia (Perkahi), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan Universitas Padjadjaran Bandung dan doktor bidang hukum perpajakan Universitas Borobudur Jakarta.
Dalam paparannya, Joko demikian akrab disapa menyampaikan bahwa sesuai dengan yang telah disampaikan Ibu Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani Indrawati, bahwa Underground Economy Activity (UEA) atau ada yang menyebut Shadow Economy atau Paralel Economy itu terbagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu yang pertama adalah UEA yang merupakan kegiatan legal bisnis biasa, namun akibat menghindari kewajiban membayar pajak, sehingga kegiatan bisnis ini menjadi ilegal. Joko menyampaikan contoh misalnya kasus ditemukannya uang tunai triliunan rupiah milik Duta Palma Group, ini merupakan hasil penghindaran pajak dengan skema tertentu sehingga uang itu luput dari pemajakan.
Yang kedua adalah dari awal merupakan suatu aktivitas yang belum bisa diterima oleh norma-norma hukum masyarakat di Indonesia, misalnya kegiatan judi online alias judol karena kegiatan ini masih dilarang di Indonesia, namun perpajakan tidak melihat sumber itu legal atau ilegal sepanjang memberikan tambahan kemampuan ekonomis merupakan objek pajak.
Joko juga menyampaikan bahwa rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh terdapat loophole yang dapat dimanfaatkan Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak yaitu yang menyatakan bahwa penghasilan itu sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima (cash base) atau diperoleh (accrue base) wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (world wide income concept), yang dapat dipakai untuk konsumsi (expenses) atau untuk menambah kekayaan (assets), yang semestinya ditambah dengan frasa “atau untuk mengurangi hutang (liabilities)” dengan nama dan dalam bentuk apapun (substance over form doctrin). Liabilities tidak dimasukkan dalam rumusan ini sehingga akun hutang ini di eksploitasi Wajib Pajak untuk menghindari pembayaran pajak.
Dengan memanfaatkan Clearing Account, Wajib Pajak mereklas (membalik jurnal) yang awalnya uang yang diterima sebagai hasil penjualan yang merupakan objek pajak menjadi bentuk baru yang bukan objek. Inilah tahap awal Wajib Pajak menghindari pajak yaitu tahap Reclasification. Tahap berikutnya atau kedua yaitu Wajib Pajak menciptakan skema baru transaksi valuta asing dengan narasi sebagai aktivitas lindung nilai (hedging) yang selanjutnya membuat skema transaksi hutang (back to back loan) guna memberikan karakter baru atas uang yang diterima menjadi bentuk baru yang bukan objek pajak (Recharacterisation) yaitu sebagai pencairan hutang atau liabilities.
Oleh karena itu Joko mengusulkan kepada Dit P2 agar segera dibuat ruling general anti avoidance rule (GAAR) mengingat ketentuan Pasal 18 UU PPh dipandang tidak cukup mampu mencegah penghindaran pajak, yaitu tentang special anti avoidance rule (SAAR) yang mengatur khusus thin capitalization atas debt to equity ratio (DER), deemed dividend (CFC) dan harga transfer atau transfer pricing dalam perusahaan grup.
Mengingat kelemahan yang dimiliki oleh aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, maka diperlukan suatu aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum. Dalam hal ini, “umum” memiliki arti bahwa unsur-unsur yang menjadi pembentuk aturan tersebut tidaklah dirumuskan secara spesifik sehingga keberlakuannya lebih bisa luwes. Oleh sebab itu, melalui Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022, pemerintah memberikan wewenang tambahan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak 20 Desember 2022.
Berikut ini adalah kutipan bunyi ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022: “Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.”
Frasa “prinsip substance-over-form” hanya muncul pada penjelasan Pasal 18 UU PPh, dan penjelasan tersebut juga tidak menyebutkan penggunaan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak.
Berikut ini adalah kutipan dari penjelasan Pasal 18: “Pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Salah satu cara penghindaran pajak adalah dengan melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang bertentangan dengan prinsip substance over form, yaitu pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya”.
Joko juga mendorong agar segera dibuat guidance tentang Purpose Business Test atas transaction scheme of (bridging) loan guna menutup celah ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh sebagai loophole tax avoidance.
Waktu break di pertengahan acara, awak media dari fiskusnews grup menanyakan kepada narasumber, sebenarnya seberapa besar potensi UEA ini?. Joko dengan diplomatis mengatakan bahwa UEA ini merupakan fenomena gunung es, “Kalau Anda mengambil es batu dan ditaruh diatas air, seberapa banyak bagian bawah es batu itu yang tenggelam di dalam air?. Sebesar itulah potensinya”. Joko mengakhiri pembicaraan dengan ramah karena sesi kedua acara akan segera dimulai lagi.
Joko mengakhiri sesi keduanya dengan memberikan dua contoh yang nyata terjadi atas UEA ini dengan kasus penghindaran pajak di Crude Palm Oil Industry dan Cigarette Industry. Joko menawarkan sebuah “tools” analisis laporan keuangan wajib pajak yang bisa digunakan DJP untuk deteksi dini UEA ini yang diberi nama Tax Accounting Equation (TAE), early detection underground economy activity.
Reporter: Marshanda Gita
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com