Thursday, 27 March 2025 00:21 WIB
Jakarta, fiskusnews.com:
1. Executive Summary
Rasio pajak merupakan indikator krusial yang mencerminkan kemampuan fiskal suatu negara dalam membiayai pembangunan nasional. Laporan ini bertujuan untuk menganalisis usulan peningkatan rasio pajak di Indonesia, dengan fokus pada proposal yang mungkin diajukan oleh Dr. Joko Ismuhadi S., S.E., M.M. Meskipun rincian spesifik mengenai proposal Dr. Ismuhadi tidak ditemukan dalam materi penelitian yang tersedia, laporan ini akan membahas konteks yang lebih luas mengenai upaya peningkatan rasio pajak di Indonesia, termasuk berbagai mekanisme, alasan, pandangan ahli, respons pemerintah, perbandingan internasional, dan alternatif kebijakan. Analisis menunjukkan bahwa Indonesia memiliki rasio pajak yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan negara-negara dengan tingkat pendapatan serupa, sehingga mendorong berbagai inisiatif untuk memperkuat penerimaan negara. Pemerintah saat ini sedang mempertimbangkan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai salah satu strategi utama untuk mencapai tujuan ini. Berbagai tantangan dan peluang dalam lanskap perpajakan Indonesia juga diidentifikasi, yang perlu diatasi untuk mewujudkan peningkatan rasio pajak yang berkelanjutan dan efektif.
2. Introduction: The Imperative of an Enhanced Tax Ratio in Indonesia
Rasio pajak, yang merupakan perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB), adalah metrik penting untuk mengukur kapasitas fiskal suatu negara. Tingkat rasio pajak yang memadai memungkinkan pemerintah untuk mendanai berbagai layanan publik, investasi infrastruktur, dan program sosial yang esensial bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. [snippet_ mencatat bahwa Indonesia memiliki rasio pajak yang “sangat rendah,” yang mengimplikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk mereformasi sumber pendapatan negara agar dapat membiayai program-program ambisius pemerintah. Tanpa peningkatan yang signifikan dalam penerimaan pajak, pemerintah mungkin akan menghadapi kendala dalam merealisasikan rencana pembangunan dan menjaga stabilitas fiskal jangka panjang.
Data menunjukkan bahwa Bank Dunia memproyeksikan rasio pajak Indonesia akan tetap berada di kisaran 10% hingga tahun 2027. Angka ini dianggap “relatif rendah” jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang besar dan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Faktanya, penerimaan pajak Indonesia berada 6 poin persentase PDB di bawah rata-rata kelompok negara tersebut. Kondisi ini menyoroti adanya tantangan struktural dalam sistem perpajakan Indonesia yang perlu diatasi.
Meskipun materi penelitian tidak secara eksplisit merinci proposal peningkatan rasio pajak oleh Dr. Joko Ismuhadi S., S.E., M.M., pencarian informasi terkait usulan beliau mengindikasikan adanya perhatian terhadap pandangannya mengenai isu perpajakan. Selain itu, karya beliau dalam “Esai Keuangan Negara: Pemikiran Multi Perspektif menunjukkan keterlibatannya dalam isu-isu keuangan negara, yang relevan dengan upaya peningkatan penerimaan pajak. Mengingat latar belakang dan minat Dr. Ismuhadi dalam isu-isu keuangan negara, analisis mengenai peningkatan rasio pajak di Indonesia akan menjadi relevan dalam konteks keahlian beliau. Oleh karena itu, laporan ini akan menganalisis berbagai proposal dan inisiatif yang ada untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia, dengan harapan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai upaya mencapai tujuan fiskal yang lebih kuat.
3. Deconstructing Proposals for Elevating Indonesia’s Tax Ratio
Meskipun rincian spesifik mengenai usulan Dr. Joko Ismuhadi tidak tersedia dalam materi penelitian, penting untuk menelaah berbagai mekanisme dan kebijakan yang secara umum diusulkan untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia. Beberapa tokoh dan institusi telah mengajukan ide-ide konkret dalam beberapa waktu terakhir.
Sebagai contoh, selama kampanye pemilihan presiden, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan mengajukan target peningkatan rasio pajak yang signifikan. Prabowo menargetkan rasio antara 13 dan 14 persen dari PDB pada tahun 2029, dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar 10,21 persen. Strategi yang diusulkan oleh Prabowo termasuk menurunkan tarif pajak bagi masyarakat berpenghasilan Rp 10 juta atau kurang per bulan, dengan harapan akan meningkatkan daya beli dan pada akhirnya meningkatkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui konsumsi yang lebih tinggi. Di sisi lain, tim kampanye Anies Baswedan mengusulkan target yang lebih ambisius, yaitu antara 13 dan 16 persen pada tahun 2029. Mekanisme yang diusulkan oleh tim Anies mencakup pengenalan pajak kekayaan yang dianggap sebagai opsi yang lebih baik untuk menargetkan individu berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan menaikkan ambang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Selain itu, mereka juga ingin mengenakan pajak pada industri yang diuntungkan dari praktik duopoli atau oligopoli, serta menurunkan pajak penghasilan untuk kelompok berpenghasilan rendah dan menengah, pajak pendidikan, kesehatan, dan bunga deposito, sambil meningkatkan pajak untuk hal-hal yang dianggap perlu dikurangi, seperti emisi karbon, plastik sekali pakai, dan makanan/minuman tinggi gula.
Selain proposal dari para kandidat presiden, pemerintah sendiri telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan rasio pajak menyoroti reformasi perpajakan yang sedang berlangsung, termasuk implementasi Sistem Administrasi Perpajakan Inti (Core Tax Administration System/CTAS) pada akhir tahun 2024 dan potensi kenaikan tarif PPN pada tahun 2025. CTAS bertujuan untuk memodernisasi sistem perpajakan Indonesia dengan mengintegrasikan seluruh proses perpajakan ke dalam satu platform terpadu, yang diharapkan dapat meningkatkan pengawasan dan efisiensi pengumpulan pajak. Kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen pada tahun 2025 juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan penerimaan negara.
Lebih lanjut, menyarankan beberapa strategi untuk meningkatkan rasio pajak, termasuk merangkul sektor informal ke sektor formal, fokus pada sektor-sektor ekonomi yang kontribusinya terhadap PDB lebih tinggi daripada penerimaan pajaknya (seperti konstruksi, pertambangan, dan pertanian), serta meningkatkan kepatuhan pajak penghasilan orang pribadi melalui mekanisme seperti Certificate Clearance dan Earned Income Tax Credit (EITC). Strategi-strategi ini bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan rasio pajak.
4. The Underlying Rationale for Tax Ratio Enhancement in Indonesia
Dorongan untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia didasari oleh beberapa motivasi utama yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan nasional dan stabilitas fiskal.
Salah satu alasan utama adalah kebutuhan untuk membiayai program-program pemerintah yang ambisius secara eksplisit menyebutkan bahwa Prabowo Subianto memiliki rencana untuk meluncurkan program makan siang dan susu gratis yang luas, serta inisiatif kebijakan untuk mencapai swasembada pangan, air, dan energi, perluasan layanan kesehatan universal, dan banyak lagi. Program-program ini memerlukan anggaran yang sangat besar, yang menuntut perombakan total pada aliran pendapatan dan arus kas negara. Dengan rasio pajak yang rendah, pemerintah akan kesulitan untuk mendanai inisiatif-inisiatif ini tanpa meningkatkan utang atau mengurangi pengeluaran di sektor lain.
Senada dengan hal tersebut, mengutip pernyataan Budi Mulya, seorang anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, yang menekankan perlunya peningkatan rasio pajak secara bertahap agar Indonesia dapat membiayai program-program strategis di berbagai sektor. Ini menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak dipandang sebagai prasyarat untuk merealisasikan agenda pembangunan pemerintah di berbagai bidang.
Lebih jauh lagi, menyatakan bahwa peningkatan rasio pajak dianggap sebagai prasyarat bagi Indonesia untuk menjadi negara maju dengan menciptakan ruang fiskal yang memadai. Ruang fiskal yang memadai memungkinkan pemerintah untuk memiliki fleksibilitas dalam merespons guncangan ekonomi, berinvestasi dalam infrastruktur dan sumber daya manusia, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan demikian, upaya peningkatan rasio pajak bukan hanya sekadar masalah anggaran jangka pendek, tetapi juga merupakan bagian dari visi jangka panjang untuk transformasi ekonomi Indonesia menjadi negara maju.
5. Expert Perspectives and Analysis on Increasing the Tax Ratio
Pandangan para ahli ekonomi dan kebijakan publik mengenai usulan peningkatan rasio pajak di Indonesia sangat beragam, mencerminkan kompleksitas isu ini dan potensi dampaknya terhadap perekonomian dan masyarakat.
Thomas “Tom” Lembong, dari tim kampanye Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, berpendapat bahwa pajak kekayaan merupakan opsi yang lebih baik untuk meningkatkan rasio pajak dibandingkan dengan menaikkan ambang PTKP. Lembong beralasan bahwa pajak kekayaan dapat lebih efektif menargetkan individu-individu berpenghasilan tinggi. Pandangan ini mencerminkan preferensi terhadap sistem perpajakan yang lebih progresif, di mana beban pajak lebih besar ditanggung oleh mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi.
Sebaliknya, Prianto Budi Saptono dari Pratama-Kreston Tax Research Institute berpendapat bahwa meskipun menaikkan PTKP akan meningkatkan pendapatan bersih bagi semua individu, termasuk yang kaya, dampaknya terhadap daya beli relatif kecil. Ini menyiratkan bahwa menaikkan PTKP mungkin bukan cara yang paling efektif untuk mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Budi Mulya juga menekankan pentingnya meningkatkan kualitas belanja pemerintah seiring dengan upaya menaikkan rasio pajak. Menurutnya, yang perlu dikejar bukan hanya besaran belanja, tetapi juga kualitas belanja tersebut. Ini menyoroti bahwa peningkatan penerimaan pajak harus diimbangi dengan pengelolaan keuangan negara yang efisien dan bertanggung jawab untuk memaksimalkan manfaatnya bagi masyarakat.
Lebih lanjut, seorang ahli menyatakan bahwa menaikkan rasio perpajakan menjadi 23 persen kemungkinan tidak akan tercapai hanya dengan membentuk otoritas pajak baru. Menurutnya, diperlukan upaya lain selain pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Ini menunjukkan bahwa meskipun BPN dipandang sebagai langkah penting, keberhasilan peningkatan rasio pajak juga bergantung pada implementasi kebijakan lain yang komprehensif.
Secara umum, pandangan para ahli menunjukkan bahwa tidak ada satu solusi tunggal untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia. Kombinasi berbagai kebijakan, termasuk reformasi administrasi perpajakan, perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, dan pengelolaan belanja negara yang efektif, kemungkinan akan diperlukan untuk mencapai peningkatan yang signifikan dan berkelanjutan.
6. Government Stance and Deliberations: The Badan Penerimaan Negara (BPN) Initiative
Pemerintah Indonesia, terutama di bawah kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto, menunjukkan komitmen yang kuat untuk meningkatkan rasio pajak melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Inisiatif ini muncul sebagai respons terhadap rasio pajak Indonesia yang relatif rendah dan kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional.
Rencana pembentukan BPN mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk semua kandidat presiden yang memiliki rencana serupa untuk membentuk badan penerimaan negara yang baru. Langkah ini dipandang sebagai cara untuk memisahkan dan menggabungkan dua unit penerimaan utama di bawah Kementerian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan tujuan untuk meningkatkan fokus dan efisiensi dalam pengumpulan pendapatan negara.
Rencana pembentukan BPN telah resmi masuk dalam dokumen rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. Tujuan utama dari pembentukan BPN ini adalah untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB menjadi 23 persen, sesuai dengan visi yang tertuang dalam dokumen 8 Program Hasil Cepat Terbaik Prabowo-Gibran. Pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan diharapkan dapat membuat kedua lembaga ini lebih fokus dalam menjalankan tugas pengumpulan pendapatan negara, sejalan dengan praktik di negara-negara maju.
Juga mengkonfirmasi tujuan utama pembentukan BPN adalah untuk meningkatkan rasio penerimaan perpajakan menjadi 10-12% dari PDB pada tahun 2025, dengan tujuan mendukung pembiayaan pembangunan di Indonesia, sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045. Pemisahan dari Kementerian Keuangan juga ditekankan untuk meningkatkan fokus dalam pengumpulan pendapatan negara. Perbedaan target rasio pajak (23% vs 10-12%) mungkin mencerminkan target jangka panjang versus target jangka menengah yang lebih konservatif, atau perbedaan interpretasi dari berbagai sumber.
Lebih lanjut, menginformasikan bahwa rencana pembentukan BPN tercantum dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dalam Peraturan Presiden (Perpres) 12/2025, dengan target rasio pendapatan negara sebesar 23% dari PDB. Pembentukan BPN dianggap penting untuk mengoptimalkan penerimaan negara, baik dari sektor perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dengan mengatasi kesenjangan dalam administrasi dan kebijakan melalui transformasi tata kelola kelembagaan.
Juga mengkonfirmasi keberadaan BPN dalam RPJMN 2025-2029, menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang adaptif dan ruang fiskal yang memadai untuk mendukung perekonomian Indonesia dan mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Peningkatan pendapatan negara melalui penerimaan perpajakan dan PNBP menjadi salah satu langkah strategis, dengan reformasi kelembagaan sebagai kunci untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan efektivitas administrasi, termasuk implementasi sistem informasi inti perpajakan (coretax). Target rasio penerimaan negara terhadap PDB juga disebutkan sebesar 23 persen.
Masuknya BPN dalam RKP 2025 adalah karena pembentukan badan tersebut merupakan salah satu usulan dari pemerintah terpilih. Ini menunjukkan bahwa inisiatif BPN memiliki dukungan politik yang kuat dari kepemimpinan yang baru.
BPN mungkin akan berbentuk kementerian yang disebut Kementerian Penerimaan Negara. Ini akan menjadi bagian dari rencana Prabowo untuk memisahkan Direktorat Pajak dan Bea Cukai dari Kementerian Keuangan. Pembentukan kementerian baru menunjukkan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara dan memberikan otoritas yang lebih besar kepada lembaga yang bertanggung jawab atas tugas ini.
Potensi dampak dari pemisahan BPN, termasuk peningkatan fokus, pengurangan birokrasi, dan peningkatan transparansi serta inovasi dalam pengelolaan penerimaan negara. Lembaga yang mandiri diharapkan memiliki kebebasan untuk menyusun kebijakan dan prosedur tanpa tekanan langsung dari Kementerian Keuangan, yang mungkin memiliki kepentingan lain.
Namun, mencatat adanya pandangan kritis dari pakar hukum tata negara yang menilai rencana pembentukan Kementerian Penerimaan Negara sebagai kurang terencana. Di sisi lain, Anggito Abimanyu disebut sebagai salah satu kandidat kuat untuk memimpin kementerian ini.
Merangkum berbagai pandangan ahli mengenai BPN, dengan beberapa mendukung posisi otonom di luar Kementerian Keuangan untuk efektivitas pengumpulan penerimaan, sementara yang lain khawatir tentang koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan potensi pelemahan peran kementerian tersebut.
Secara keseluruhan, pembentukan BPN merupakan inisiatif strategis pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak dan penerimaan negara secara keseluruhan. Meskipun rincian struktur dan implementasinya masih dalam tahap perencanaan dan pembahasan, komitmen politik terhadap tujuan ini tampak kuat.
7. Benchmarking Indonesia’s Tax Ratio: A Comparative Analysis
Perbandingan rasio pajak Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan dan dengan tingkat pendapatan yang serupa memberikan perspektif penting mengenai kinerja fiskal Indonesia dan potensi untuk perbaikan.
Rasio pajak Indonesia saat ini sekitar 10,21 persen menyebutkan proyeksi Bank Dunia bahwa rasio ini akan tetap di sekitar 10 persen hingga tahun 2027. Angka ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Kamboja (16,4%) dan Thailand (14,3%). Selain itu, penerimaan pajak Indonesia juga 6 poin persentase PDB di bawah rata-rata negara-negara berpendapatan menengah dan negara-negara berkembang besar lainnya.
Data menunjukkan bahwa rasio pajak terhadap PDB Indonesia pada tahun 2022 adalah 12,1 persen. Angka ini masih di bawah rata-rata Asia-Pasifik (19,3 persen) dan rata-rata OECD (34 persen). Lebih lanjut, dari OECD mengkonfirmasi rasio pajak Indonesia sebesar 12,1 persen pada tahun 2022, meningkat dari 10,9 persen pada tahun 2021, namun tetap jauh di bawah rata-rata regional dan OECD. Secara historis, rasio pajak Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar 13,0 persen dan terendah pada tahun 2020 sebesar 10,1 persen.
Perbandingan yang serupa, menyatakan bahwa rasio penerimaan pajak Indonesia mencapai puncak 12,5 persen pada tahun 2008 dan hanya 10,4 persen pada tahun 2022. Dalam perbandingan dengan negara-negara di Asia Pasifik pada tahun 2020 (rata-rata 19,1 persen), Indonesia hanya berada di atas Bhutan dan Laos.
Tabel berikut merangkum perbandingan rasio pajak terhadap PDB Indonesia dengan beberapa negara dan rata-rata regional:
Negara/Wilayah | Rasio Pajak terhadap PDB (%) | Tahun | Sumber |
Indonesia | ~10.21 | 2023 | |
Indonesia | ~10.0 | 2024-2027 (Proyeksi) | |
Indonesia | 12.1 | 2022 | |
Indonesia | 10.4 | 2022 | |
Kamboja | 16.4 | N/A | |
Thailand | 14.3 | N/A | |
Asia-Pasifik (Rata-rata) | 19.3 | 2022 | |
OECD (Rata-rata) | 34.0 | 2022 |
Data ini secara konsisten menunjukkan bahwa rasio pajak Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN dan jauh di bawah rata-rata negara-negara maju di OECD. Hal ini mengindikasikan adanya potensi besar bagi Indonesia untuk meningkatkan penerimaan negaranya melalui reformasi dan kebijakan perpajakan yang lebih efektif.
8. Exploring Alternative Revenue Enhancement Strategies Beyond Dr. Ismuhadi’s Proposal
Selain usulan spesifik dari Dr. Ismuhadi dan inisiatif BPN, terdapat berbagai alternatif kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui pajak.
Salah satu opsi yang sering dibahas adalah pengenaan pajak terhadap kekayaan dan perusahaan digital. Semua kandidat presiden memiliki rencana untuk mengenakan pajak yang lebih besar pada orang kaya dan perusahaan digital. Tim kampanye Anies Baswedan secara khusus mengusulkan pajak kekayaan sebagai alternatif yang lebih baik daripada menaikkan ambang PTKP.
Rencana pemerintah untuk memanfaatkan potensi pajak dari ekonomi bawah tanah (shadow economy) dan perjudian daring. Ekonomi bawah tanah di Indonesia diperkirakan mencapai 30-40% dari PDB, sehingga memiliki potensi penerimaan pajak yang sangat besar jika dapat di formalisasikan dan dikenakan pajak secara efektif.
Mengusulkan pajak kekayaan sebagai alternatif sumber penerimaan pajak di Indonesia, terutama dalam merespons pandemi COVID-19. Pajak ini dikenakan terhadap kekayaan bersih wajib pajak dengan tarif progresif dan ambang batas tertentu. Meskipun belum pernah diterapkan di Indonesia, pajak kekayaan dianggap memiliki potensi untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
Contoh Inggris yang mengenakan pajak windfall sebesar 25% pada perusahaan minyak dan gas pada tahun 2022 karena lonjakan harga bahan bakar. Pajak semacam ini dapat dipertimbangkan untuk sektor-sektor lain yang mengalami keuntungan luar biasa karena kondisi pasar tertentu.
Potensi dan tantangan penerapan pajak digital di Indonesia. Sektor ekonomi digital menyumbang lebih dari 5% PDB nasional dengan pertumbuhan tahunan sekitar 20%, sehingga penerapan pajak yang efektif pada transaksi digital, seperti PPN atas produk digital dan layanan elektronik lintas batas, dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.
Selain pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Berbagai objek PNBP, termasuk pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan publik, pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, dan lain-lain. Optimalisasi PNBP dapat menjadi alternatif atau pelengkap upaya peningkatan penerimaan pajak.
Terakhir, program amnesti pajak sebagai upaya pemerintah untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek. Namun, efektivitas jangka panjang dari amnesti pajak dalam meningkatkan rasio pajak secara berkelanjutan masih menjadi perdebatan.
9. Broader Context: Challenges and Opportunities in Indonesia’s Tax Landscape
Upaya untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan dan peluang dalam lanskap perpajakan yang ada.
Kepatuhan Pajak: Rendahnya tingkat kepatuhan pajak merupakan tantangan signifikan. Lemahnya mekanisme penegakan hukum, penghindaran pajak, dan banyaknya insentif serta pengecualian pajak yang mempersempit basis pajak. Rendahnya kesadaran wajib pajak, praktik pencucian uang, praktik perpajakan ilegal, serta masalah serius dalam sistem pelaporan dan pengawasan sebagai faktor-faktor penyebab inefisiensi pengumpulan pajak. Bahkan di era digital, sekitar 60% pelaku UMKM digital belum terdaftar sebagai wajib pajak. Pemerintah telah berupaya meningkatkan kepatuhan melalui implementasi Manajemen Risiko Kepatuhan (Compliance Risk Management/CRM) oleh Direktorat Jenderal Pajak. Namun, sebuah studi menunjukkan bahwa CRM yang direvisi pada tahun 2021 mungkin belum efektif dalam meningkatkan tingkat kepatuhan pajak secara signifikan, dan menyarankan perbaikan seperti data yang lebih bersih.
Ekonomi Digital: Pertumbuhan ekonomi digital menawarkan peluang besar untuk meningkatkan penerimaan pajak. Digitalisasi sistem perpajakan melalui inisiatif seperti e-Filing, e-Billing, e-Faktur, dan yang akan datang, CTAS, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan. Digitalisasi mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya dan memungkinkan otoritas pajak untuk memantau transaksi secara lebih efektif. Namun, tantangan seperti tingkat literasi digital yang beragam, keamanan data dan privasi, kendala teknis dan infrastruktur (terutama di daerah terpencil), perubahan regulasi yang cepat, dan resistensi terhadap perubahan perlu diatasi untuk memaksimalkan manfaat digitalisasi perpajakan.
Ekonomi Bawah Tanah: Potensi penerimaan pajak dari ekonomi bawah tanah sangat besar, mengingat ukurannya yang diperkirakan mencapai 30-40% dari PDB Indonesia. Pemerintah sedang mengembangkan kebijakan untuk memanfaatkan potensi ini, termasuk dari sektor perjudian daring. Mengatasi tantangan dalam mengidentifikasi dan mengenakan pajak pada kegiatan ekonomi yang tersembunyi ini akan menjadi kunci untuk meningkatkan rasio pajak secara signifikan.
Reformasi Perpajakan: Pemerintah secara aktif melakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan efisiensi, keadilan, dan daya saing ekonomi. Reformasi ini mencakup perubahan tarif pajak, perluasan basis pajak, penyederhanaan administrasi, dan penguatan regulasi, termasuk untuk ekonomi digital. Namun, implementasi reformasi ini dapat menghadapi tantangan seperti resistensi dari pelaku usaha yang merasa terbebani secara finansial, serta perlunya koordinasi yang baik antar lembaga pemerintah dan peningkatan kesadaran wajib pajak.
10. Conclusion and Policy Recommendations
Peningkatan rasio pajak merupakan prioritas penting bagi Indonesia untuk mencapai pembangunan nasional yang berkelanjutan dan memiliki kapasitas fiskal yang memadai. Meskipun rincian usulan Dr. Joko Ismuhadi tidak tersedia dalam materi penelitian, analisis terhadap berbagai proposal dan inisiatif yang ada menunjukkan adanya kesadaran dan upaya yang kuat untuk mengatasi tantangan rasio pajak yang rendah. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) menjadi salah satu strategi utama pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi kelembagaan dan peningkatan fokus pada pengumpulan pajak dan PNBP.
Perbandingan internasional secara jelas menunjukkan bahwa rasio pajak Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan negara-negara dengan tingkat pendapatan serupa. Hal ini mengindikasikan adanya ruang yang signifikan untuk perbaikan melalui berbagai kebijakan dan reformasi.
Selain inisiatif BPN, beberapa strategi alternatif yang perlu dipertimbangkan meliputi pengenaan pajak kekayaan, pajak yang lebih efektif pada ekonomi digital, upaya formalisasi dan pengenaan pajak pada ekonomi bawah tanah, serta potensi pajak windfall pada sektor-sektor tertentu.
Untuk mencapai peningkatan rasio pajak yang berkelanjutan, pemerintah perlu mengatasi berbagai tantangan yang ada, terutama terkait dengan kepatuhan pajak. Ini memerlukan penguatan mekanisme penegakan hukum, penyederhanaan sistem perpajakan, peningkatan kesadaran dan literasi pajak, serta pemanfaatan teknologi melalui digitalisasi sistem perpajakan. Evaluasi berkelanjutan terhadap efektivitas inisiatif seperti CRM juga diperlukan untuk memastikan bahwa upaya peningkatan kepatuhan memberikan hasil yang optimal.
Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi kebijakan dapat diajukan:
Dengan implementasi kebijakan yang tepat dan berkelanjutan, Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan rasio pajaknya, yang akan berkontribusi signifikan terhadap kemandirian fiskal dan kemampuan untuk membiayai pembangunan nasional demi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com