Thursday, 29 May 2025 08:51 WIB
Jakarta, fiskusnews.com:
Usulan pembentukan peradilan pidana perpajakan khusus di Indonesia muncul dari pengakuan akan adanya kekhususan dalam tindak pidana perpajakan yang mungkin memerlukan penanganan yang berbeda dibandingkan tindak pidana umum. Analogi dengan peradilan militer dan peradilan agama, yang dibentuk karena karakteristik khusus subjek hukum dan/atau materi hukumnya, sangat relevan dalam konteks ini. Pemikiran ini menunjukkan adanya potensi kesenjangan sistemik dalam penegakan hukum pidana perpajakan yang tidak dapat ditangani secara memadai oleh peradilan umum.
Kekhususan ini menyiratkan perbedaan mendasar dalam sifat pelanggaran, karakteristik pelaku, atau hasil yang ingin dicapai dari penegakan hukum perpajakan, yang mungkin sulit diakomodasi secara efektif oleh sistem peradilan umum. Oleh karena itu, diskusi ini tidak hanya berpusat pada penyesuaian prosedural semata, melainkan juga mengarah pada potensi reformasi struktural dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Laporan ini bertujuan untuk menyediakan analisis komprehensif dan mendalam mengenai kelayakan, implikasi, serta tantangan dalam pembentukan peradilan pidana perpajakan khusus di Indonesia. Analisis ini akan mencakup eksplorasi kekhususan hukum pidana perpajakan, evaluasi kinerja sistem peradilan umum saat ini dalam menangani kasus pajak, perbandingan dengan struktur dan kompetensi peradilan khusus yang sudah ada, dan identifikasi kebutuhan sumber daya yang signifikan. Laporan ini akan memberikan pandangan yang terinformasi dan rekomendasi strategis untuk membantu pengambilan keputusan kebijakan yang tepat.
Hukum pidana perpajakan di Indonesia memiliki kekhususan yang menyimpang dari beberapa ketentuan hukum pidana pada umumnya, terutama dalam penerapan asas ultimum remedium. Asas ini mengutamakan sanksi administratif dan pemulihan kerugian pada pendapatan negara sebagai upaya utama, menjadikan sanksi pidana sebagai upaya terakhir. Wajib pajak diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melunasi kerugian negara beserta sanksi administratif untuk mengeliminasi potensi pemidanaan.
Penekanan yang konsisten pada asas ultimum remedium dan pemulihan kerugian negara dalam berbagai ketentuan hukum dan pandangan akademisi menunjukkan pilihan kebijakan fundamental: tujuan utama penegakan hukum pajak adalah fiskal, bukan semata-mata penghukuman. Ini berarti, tidak seperti hukum pidana umum di mana hukuman adalah yang utama, hukum pidana perpajakan memprioritaskan pengembalian uang kepada negara. Pendekatan yang mengutamakan fiskal ini bisa menjadi argumen kuat bagi peradilan khusus yang memahami dan menjunjung tinggi kebijakan unik ini, berpotensi menghasilkan pemulihan pendapatan yang lebih konsisten dan efektif.
Tindak pidana perpajakan seringkali melibatkan kompleksitas teknis yang tinggi, seperti manipulasi data keuangan, penyembunyian penghasilan, atau pemalsuan faktur pajak. Dalam proses penegakan hukum, otoritas pajak, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan resmi. Pemeriksaan ini dapat melibatkan upaya paksa seperti peminjaman dan pemeriksaan buku/catatan, akses/pengunduhan data elektronik, penggeledahan, dan penyegelan.
Kewenangan ini, meskipun disamakan dengan penyelidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), faktanya menyerupai kewenangan penyidikan, menimbulkan masalah hukum karena ketiadaan mekanisme praperadilan yang memadai untuk melindungi hak wajib pajak. Ketidakpastian hukum ini diperparah oleh perbedaan penafsiran hakim dalam putusan praperadilan terkait pemeriksaan bukti permulaan. Sifat teknis kejahatan dan metode pengumpulan bukti yang spesifik ini menimbulkan ambiguitas hukum dan tantangan terhadap proses hukum yang adil. Ini menunjukkan bahwa pengadilan umum, yang mungkin kekurangan keahlian khusus dalam bidang keuangan dan akuntansi, dapat kesulitan dalam menangani nuansa yang diperlukan untuk adjudikasi yang adil dan efektif.
Pelaku tindak pidana perpajakan seringkali adalah individu atau korporasi yang memiliki pemahaman mendalam tentang sistem perpajakan, memanfaatkan celah hukum, atau bahkan melakukan penipuan yang canggih seperti faktur pajak fiktif. Mereka dapat melakukan perlawanan pasif (misalnya, tidak mencatat penghasilan secara fisik) maupun aktif (penghindaran atau penggelapan pajak). Penelusuran kejahatan ini membutuhkan kewenangan penyidikan yang memadai, termasuk akses informasi dari pihak ketiga, pencarian aset, intersepsi telekomunikasi, penggeledahan, dan penyitaan media digital.
Sifat kejahatan yang canggih dan pelaku yang cerdik ini menuntut badan peradilan yang terspesialisasi dengan pemahaman mendalam tentang skema keuangan dan struktur korporasi. Pengadilan umum mungkin tidak memiliki keahlian yang diperlukan untuk secara efektif menuntut dan menghalangi pelanggaran kompleks semacam itu. Ketiadaan cantolan hukum pidana korupsi yang jelas dalam UU Perpajakan juga menimbulkan persoalan, terutama mengingat dana pajak adalah keuangan negara, dan tindak pidana terhadapnya dapat merugikan keuangan negara.
Penanganan tindak pidana perpajakan oleh peradilan umum di Indonesia menghadapi beberapa hambatan signifikan:
Secara keseluruhan, isu-isu sistemik ini, termasuk kurangnya pengetahuan khusus, ambiguitas prosedural, dan keterbatasan akses data, secara kolektif merusak efektivitas penuntutan kejahatan pajak di pengadilan umum. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan generalis kesulitan beradaptasi dengan sifat unik dan berkembang dari pelanggaran pajak, yang berpotensi menyebabkan tingkat hukuman yang lebih rendah atau pemulihan pendapatan yang kurang optimal.
Pemeriksaan bukti permulaan dalam tindak pidana perpajakan seringkali diwarnai oleh upaya paksa, seperti perolehan keterangan berupa dokumen/data elektronik, penggeledahan, dan penyitaan. Meskipun upaya paksa ini dilakukan, tidak ada mekanisme perlindungan hukum yang memadai bagi wajib pajak melalui praperadilan di pengadilan negeri, yang menyebabkan ketidakseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang tidak memadai.
Selain itu, terdapat keragu-raguan di kalangan hakim dalam menerapkan hukum terkait permohonan praperadilan terhadap pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Adanya putusan pengadilan negeri yang berbeda-beda, ada yang mengabulkan dan ada pula yang menolak permohonan praperadilan dengan objek perkara yang sama, menunjukkan ketidakpastian hukum dalam mekanisme kontrol ini. Ketidakmampuan sistem saat ini untuk secara konsisten melindungi hak wajib pajak selama penyelidikan awal, ditambah dengan interpretasi yudisial yang bervariasi, menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan. Hal ini mengikis kepercayaan publik dan mempersulit proses penegakan hukum, menyoroti kesenjangan prosedural mendasar yang mungkin dapat diatasi oleh pengadilan khusus dengan yurisprudensi yang lebih konsisten.
Terdapat perdebatan mengenai peran sanksi pidana dalam hukum pajak. Beberapa pandangan mendukung penggunaan sanksi pidana karena penegakan hukum pidana perpajakan yang efektif dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan pajak negara. Argumen ini menekankan fungsi deterensi dari sanksi pidana yang dapat mendorong wajib pajak untuk mematuhi peraturan yang berlaku.
Namun, pandangan lain menentang prioritas sanksi pidana, dengan alasan bahwa tujuan utama hukum pajak adalah penerimaan negara, dan pemidanaan dapat bersifat kontraproduktif terhadap fungsi penerimaan pajak. Pendekatan ini mengedepankan asas ultimum remedium, di mana sanksi administratif dan keadilan restoratif harus diutamakan. Konsep keadilan restoratif dalam tindak pidana perpajakan berfokus pada pemulihan kerugian negara melalui musyawarah antara wajib pajak dan DJP, dengan peluang penghentian penyidikan jika wajib pajak melunasi kerugian negara dan denda administratif. Debat yang sedang berlangsung tentang peran sanksi pidana versus pendekatan administratif/restoratif mencerminkan ketegangan antara tujuan hukuman dan fiskal. Sebuah pengadilan khusus dapat dirancang untuk menyeimbangkan tujuan-tujuan ini, mungkin dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan restoratif secara lebih mendalam ke dalam kerangka proseduralnya, sehingga memaksimalkan pemulihan pendapatan sambil memastikan perlakuan yang adil dan mencegah pelanggaran di masa depan.
Untuk mempertimbangkan pembentukan peradilan pidana perpajakan khusus, relevan untuk menganalisis struktur dan kompetensi peradilan khusus yang sudah ada di Indonesia.
Peradilan militer di Indonesia memiliki kompetensi absolut yang didasarkan pada subjek (pelaku), yaitu prajurit atau pihak yang dipersamakan dengan prajurit, serta jenis tindak pidana, baik militer murni maupun tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer. Pengadilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit dengan pangkat Kapten ke bawah, serta sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Jika peradilan pidana perpajakan dibentuk dengan analogi ini, yaitu berdasarkan subjek (wajib pajak), maka ia akan mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak, terlepas dari apakah tindak pidana tersebut berkaitan dengan pajak atau tidak. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pembentukan peradilan khusus yang fokus pada kekhususan materi hukum perpajakan. Namun, jika fokusnya adalah pada “jenis tindak pidana” (tindak pidana perpajakan), maka model ini dapat menyiratkan pembentukan kamar khusus dalam peradilan umum atau pengadilan baru yang secara eksklusif menangani pelanggaran pajak.
Peradilan agama memiliki kompetensi absolut yang didasarkan pada materi hukum yang spesifik, seperti perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah, bagi orang-orang yang beragama Islam. Ini adalah yurisdiksi berbasis materi hukum.
Analogi dengan peradilan agama lebih kuat untuk pembentukan peradilan pidana perpajakan khusus. Jika peradilan pajak dibentuk berdasarkan “materi hukum” (tindak pidana perpajakan), maka ia akan menangani hanya pelanggaran yang berkaitan dengan pajak, terlepas dari status pelaku. Model ini menekankan pada kompleksitas hukum dan keuangan unik dari pelanggaran pajak, yang memerlukan keahlian khusus dalam penafsiran dan penerapan hukum.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kompetensinya mencakup tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi, dan tindak pidana lain yang secara tegas ditentukan sebagai tindak pidana korupsi dalam undang-undang lain. Pengadilan Tipikor telah mengalami perluasan kewenangan, misalnya dalam mengadili tindak pidana pencucian uang yang berasal dari korupsi.
Model Pengadilan Tipikor sangat relevan untuk dipertimbangkan. Ia menunjukkan bagaimana pengadilan khusus dapat beroperasi dalam kerangka peradilan umum, menangani kejahatan keuangan yang kompleks, dan memperluas yurisdiksinya ke pelanggaran terkait seperti pencucian uang. Model ini menyarankan bahwa peradilan pidana perpajakan dapat distrukturkan sebagai kamar atau divisi khusus di dalam sistem peradilan umum yang ada, bukan sebagai cabang yudikatif yang sepenuhnya baru dan terpisah. Pendekatan ini memungkinkan berbagi sumber daya dan keahlian sambil tetap mempertahankan spesialisasi yang diperlukan untuk penanganan kasus pajak yang efektif.
Pembentukan peradilan pidana perpajakan khusus akan memerlukan alokasi sumber daya yang signifikan, baik dari segi sumber daya manusia maupun infrastruktur dan anggaran.
Saat ini, Pengadilan Pajak (yang menangani sengketa administrasi pajak) memiliki sejumlah hakim dengan keahlian di bidang perpajakan. Namun, untuk peradilan pidana perpajakan, dibutuhkan hakim dan jaksa yang tidak hanya memahami hukum pidana umum, tetapi juga memiliki keahlian mendalam dalam hukum perpajakan, akuntansi, dan keuangan. Syarat untuk menjadi jaksa secara umum mencakup latar belakang sarjana hukum dan lulus pendidikan khusus. Demikian pula, hakim militer disyaratkan berijazah sarjana hukum dan berpengalaman di bidang peradilan/hukum.
Pembentukan pengadilan khusus akan membutuhkan investasi besar dalam pengembangan sumber daya manusia. Ini termasuk pelatihan ekstensif bagi para profesional hukum yang ada atau perekrutan individu baru dengan kombinasi keahlian hukum dan pajak/keuangan. Ketersediaan profesional hukum yang terspesialisasi dalam pajak saat ini terbatas, yang menunjukkan bahwa pembentukan pengadilan baru akan menghadapi tantangan signifikan dalam penyediaan staf dan pemeliharaan kualitas adjudikasi yang tinggi tanpa program pengembangan jangka panjang yang substansial.
Membangun pengadilan baru memerlukan biaya yang substansial. Sebagai referensi, pembangunan gedung Pengadilan Negeri dapat menelan biaya puluhan miliar rupiah (misalnya, Rp 15 miliar untuk PN Tuban, Rp 42 miliar untuk proyek lain). Selain biaya pembangunan fisik, terdapat juga biaya operasional rutin yang harus dialokasikan setiap tahun untuk pengadilan, seperti biaya proses perkara, alat tulis kantor (ATK), dan biaya panggilan/pemberitahuan.
Pembentukan badan peradilan baru yang terpisah akan menimbulkan beban keuangan yang besar untuk infrastruktur, teknologi, dan operasional berkelanjutan. Komitmen finansial ini harus dipertimbangkan secara cermat, terutama mengingat kendala fiskal yang ada dan potensi untuk memperkuat mekanisme pengadilan umum yang sudah ada sebagai alternatif yang lebih efisien.
Tindak pidana perpajakan di Indonesia memiliki karakteristik yang sangat khas, terutama dalam penekanan pada asas ultimum remedium yang memprioritaskan pemulihan kerugian negara dibandingkan pemidanaan. Sifat teknis kejahatan ini, yang melibatkan manipulasi data keuangan dan modus operandi canggih oleh pelaku yang cerdik, menuntut keahlian khusus dalam pembuktian dan penelusuran.
Meskipun demikian, sistem peradilan umum saat ini menghadapi berbagai tantangan dalam menangani kasus perpajakan. Ini termasuk kewenangan penyidik PPNS yang monopolistik namun kurang sinkron dengan kepolisian, ketiadaan parameter jelas antara pelanggaran administrasi dan pidana, kelemahan dalam pasal-pasal pidana yang terlalu spesifik, kekosongan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, dan keterbatasan akses data. Selain itu, isu hak praperadilan yang tidak jelas dan inkonsistensi putusan hakim menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan wajib pajak dan proses penegakan hukum. Perdebatan mengenai prioritas sanksi pidana versus pendekatan restoratif juga menunjukkan kebutuhan akan keseimbangan yang lebih baik antara tujuan fiskal dan penghukuman.
Menganalogikan dengan peradilan militer dan agama, kekhususan tindak pidana perpajakan memang mengindikasikan perlunya penanganan yang lebih spesifik. Namun, model peradilan militer yang berbasis subjek (pelaku) mungkin tidak sesuai, karena akan mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak, bukan hanya yang terkait pajak. Sebaliknya, model peradilan agama yang berbasis materi hukum (jenis perkara) lebih relevan, karena fokus pada kejahatan pajak itu sendiri.
Model Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menawarkan pendekatan yang paling praktis dan efektif. Pengadilan Tipikor beroperasi sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum, menangani kejahatan keuangan yang kompleks dan memiliki yurisdiksi yang dapat diperluas ke tindak pidana terkait seperti pencucian uang. Ini menunjukkan bahwa peradilan pidana perpajakan dapat dibentuk sebagai kamar atau divisi khusus dalam sistem peradilan umum yang sudah ada, bukan sebagai cabang yudikatif yang sepenuhnya terpisah. Pendekatan ini memungkinkan pemanfaatan sumber daya yang ada dan menghindari duplikasi infrastruktur, sambil tetap mencapai spesialisasi yang diperlukan.
Berdasarkan analisis di atas, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum pidana perpajakan di Indonesia:
Melalui langkah-langkah ini, Indonesia dapat memperkuat penegakan hukum pidana perpajakan, meningkatkan penerimaan negara, dan menciptakan kepastian hukum yang lebih baik bagi wajib pajak, tanpa harus menanggung beban pembentukan sistem peradilan yang sepenuhnya baru dan kompleks.
Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com