Analisis Komprehensif Potensi Maritim Indonesia, Hak Lintas Kapal Asing, dan Legalitas Pungutan Transit Berdasarkan Hukum Internasional
- Ekonomi
Sunday, 25 May 2025 00:50 WIB
Jakarta, fiskusnews.com:
I. Pendahuluan
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki wilayah laut yang luas, mencakup sekitar 70% dari total wilayahnya, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Kondisi geografis ini menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat strategis di persimpangan dua samudra besar, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, serta dua benua, Asia dan Australia. Posisi unik ini menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur lalu lintas perdagangan dan pelayaran internasional yang krusial, di mana sekitar 40% dari lalu lintas perdagangan barang dan jasa global yang diangkut kapal melintasi perairan ini, termasuk sekitar 20% dari permintaan minyak dunia yang melalui Selat Malaka.
Dengan potensi dan keunggulan geografis yang luar biasa ini, Indonesia memiliki visi besar untuk menjadi Poros Maritim Dunia. Visi ini tidak hanya bertujuan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya laut, tetapi juga untuk menegaskan jati diri bangsa sebagai negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, dan kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Keunggulan geografis ini, meskipun membawa peluang ekonomi yang besar sebagai hub perdagangan global, juga menghadirkan tantangan signifikan, termasuk kerentanan keamanan dan kompleksitas dalam mengelola kepentingan internasional. Penekanan pada “kesejahteraan umum” dan “ketertiban dunia” dalam geostrategi Indonesia menunjukkan bahwa visi maritim ini melampaui sekadar eksploitasi ekonomi, mencakup tanggung jawab terhadap tatanan maritim global.
Laporan ini akan menganalisis secara komprehensif manfaat yang diperoleh Indonesia dari potensi maritimnya, mengkaji polemik seputar lintas kapal asing di perairan Indonesia, dan memberikan analisis hukum mendalam mengenai legalitas penarikan pajak atas kapal asing yang hanya melintas, berdasarkan kerangka hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982).
II. Potensi dan Manfaat Maritim Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
Keunggulan Geografis dan Geostrategis Indonesia
Letak geografis Indonesia yang strategis di antara dua samudra dan dua benua memberikan keuntungan luar biasa dalam konteks perdagangan dan pelayaran global. Perairan Indonesia, termasuk laut teritorial, perairan kepulauan, dan selat-selatnya, berfungsi sebagai jalur pelayaran dan penerbangan internasional yang vital. Posisi silang ini menjadikan Indonesia titik persilangan kegiatan perekonomian dunia, memfasilitasi perdagangan antara negara-negara industri seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok dengan negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Eropa.
Dari perspektif geostrategis, posisi Indonesia sangat fundamental bagi kepentingan nasional. Geostrategi Indonesia dirumuskan dengan memperhitungkan kondisi dan konstelasi geografi sebagai faktor utama dalam mewujudkan cita-cita proklamasi, yang mencakup perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pemajuan kesejahteraan umum, pencerdasan kehidupan bangsa, serta partisipasi dalam mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ini menunjukkan bahwa pendekatan Indonesia terhadap maritim bersifat holistik, tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada penguatan kedaulatan, keamanan, dan peran diplomatik di panggung global.
Namun, keunggulan ini juga membawa kerentanan. Posisi strategis di jalur lalu lintas maritim internasional, terutama di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), membuat Indonesia rentan terhadap persaingan dan potensi dominasi kekuatan besar dunia yang memperebutkan pengaruh di Asia. Selain itu, perairan yang luas dan terbuka, ditambah dengan kapasitas pengawasan yang belum optimal, dapat mempermudah infiltrasi kejahatan transnasional, seperti penyelundupan dan perompakan.
Potensi Ekonomi Sektor Kelautan
Potensi ekonomi maritim Indonesia sangat besar dan mencakup berbagai sektor. Nilai ekonomi total dari potensi maritim ini diperkirakan mencapai minimal USD 8,22 triliun per tahun. Berikut adalah rincian potensi per sektor:
Sumber Daya Perikanan: Indonesia memiliki kekayaan sumber daya perikanan yang melimpah, dengan potensi lestari diperkirakan mencapai 12,01 juta ton per tahun. Sumber daya ini sangat penting sebagai sumber protein hewani dan tumpuan harapan hidup bagi masyarakat pesisir, serta dapat menjadi penyumbang devisa yang menjanjikan. Namun, pemanfaatan yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan stok ikan, mengancam mata pencarian nelayan, dan keberlanjutan ekosistem laut, sehingga kebijakan penangkapan ikan berkelanjutan sangat diperlukan.
Pariwisata Bahari: Kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut Indonesia merupakan daya tarik utama bagi pariwisata bahari. Pengembangan pariwisata bahari yang berkelanjutan memerlukan upaya perlindungan dan rehabilitasi ekosistem karang dan keanekaragaman hayati laut dari kerusakan akibat pencemaran, penangkapan ikan yang merusak, dan perubahan iklim. Hutan mangrove dan ekosistem pesisir juga berperan penting dalam perlindungan garis pantai dari abrasi dan sebagai tempat pemijahan ikan, mendukung sektor perikanan dan pariwisata.
Transportasi Laut dan Industri Kelautan: Sektor transportasi laut adalah tulang punggung konektivitas antar pulau dan perdagangan. Pemerintah telah meluncurkan inisiatif seperti pembangunan tol laut, lebih banyak pelabuhan, dan jalur khusus pengiriman barang via kapal laut untuk menghubungkan seluruh wilayah Indonesia. Industri kelautan, seperti galangan kapal dan pabrik pengolahan ikan, juga memiliki potensi besar yang harus dikelola berdasarkan prinsip keberlanjutan, dengan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Energi dan Sumber Daya Mineral Kelautan: Indonesia memiliki potensi energi gelombang laut dan angin lepas pantai yang besar, menjadikannya pemain utama dalam industri energi terbarukan global. Selain itu, Indonesia juga memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang signifikan di wilayah lautnya. Namun, minimnya investasi asing di sektor-sektor strategis ini menjadi penghambat percepatan pemanfaatannya.
Jasa Kelautan: Sektor ini mencakup berbagai layanan terkait pelabuhan, logistik, dan layanan maritim lainnya. PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo, sebagai perusahaan induk BUMN kepelabuhanan, memiliki visi menjadi pemimpin ekosistem maritim terintegrasi berkelas dunia. Pelindo melakukan investasi signifikan dalam peningkatan infrastruktur pelabuhan, penerapan teknologi dan inovasi terkini untuk memantau aktivitas pelabuhan secara real-time, serta mengimplementasikan praktik keberlanjutan lingkungan. Ini mencerminkan komitmen terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Berikut adalah tabel yang merangkum potensi ekonomi maritim Indonesia per sektor:
Tabel 1: Potensi Ekonomi Maritim Indonesia per Sektor dan Estimasi Nilai Tahunan
Sektor Ekonomi Maritim
Deskripsi Potensi Utama
Estimasi Nilai/Volume
Sumber
Perikanan
Sumber daya ikan melimpah, tumpuan hidup nelayan, penyumbang devisa.
Potensi Lestari: 12,01 juta ton/tahun
Pariwisata Bahari
Kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut, pulau-pulau dan destinasi wisata.
Daya tarik utama pariwisata bahari
Transportasi Laut
Jalur perdagangan dan pelayaran internasional strategis, konektivitas antar pulau.
40% lalu lintas perdagangan global melintasi perairan Indonesia
Industri Kelautan
Galangan kapal, pabrik pengolahan ikan, industri berbasis sumber daya laut.
Berbasis prinsip keberlanjutan
Energi & Sumber Daya Mineral Kelautan
Potensi energi gelombang laut dan angin lepas pantai, cadangan minyak dan gas bumi.
Potensi energi terbarukan besar, cadangan migas signifikan
Jasa Kelautan
Layanan pelabuhan, logistik, bunkering, perawatan kapal, dll.
Bagian dari ekosistem maritim terintegrasi
Total Potensi Ekonomi Maritim (Keseluruhan)
Nilai ekonomi gabungan dari seluruh sektor maritim.
Minimal USD 8,22 triliun per tahun
Meskipun potensi ekonomi maritim Indonesia sangat besar, diperkirakan mencapai minimal USD 8,22 triliun per tahun , pemanfaatan potensi ini masih jauh dari optimal. Hal ini terlihat dari kerugian signifikan akibat penangkapan ikan ilegal dan daya saing pelabuhan yang masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Kesenjangan antara potensi dan realisasi ini menunjukkan adanya masalah sistemik dalam tata kelola, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang perlu diatasi untuk memaksimalkan manfaat maritim bagi negara.
Manfaat bagi Kepentingan Nasional (Keamanan, Kesejahteraan, Kecerdasan, Ketertiban Dunia)
Visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga pada penguatan kepentingan nasional secara lebih luas:
Keamanan: Penguatan pengawasan kelautan adalah strategi kunci untuk memastikan tidak adanya sengketa wilayah laut fatal dan untuk memperkuat kedaulatan Indonesia di laut. Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik penangkapan ikan ilegal juga merupakan bagian integral dari upaya menjaga keamanan laut dan martabat bangsa di mata dunia.
Kesejahteraan: Pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan diharapkan dapat memajukan kesejahteraan umum, termasuk melalui penciptaan lapangan kerja yang luas di berbagai sektor kelautan. Sektor kelautan memiliki peran penting dalam menunjang perekonomian nasional dan memberikan keuntungan nyata bagi masyarakat.
Kecerdasan: Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidang maritim adalah prioritas. Ini dilakukan melalui program studi multidisipliner yang menggabungkan manajemen kelautan dengan teknologi, seperti program double degree antara BINUS dan UNPAD. Dukungan terhadap penelitian ilmiah tentang ekosistem laut, pengelolaan sumber daya alam, dan teknologi kelautan juga diprioritaskan untuk menghadapi tantangan dan mengoptimalkan potensi maritim secara berkelanjutan.
Ketertiban Dunia: Indonesia secara aktif berkontribusi dalam menjaga stabilitas dan keamanan kawasan melalui kerja sama maritim dengan negara-negara tetangga. Contoh nyata adalah partisipasi dalam Patroli Selat Malaka bersama Malaysia dan Singapura, yang telah terbukti efektif dalam mengurangi ancaman keamanan non-tradisional seperti perompakan. Peran ini menunjukkan komitmen Indonesia sebagai kekuatan maritim yang bertanggung jawab dalam tatanan global.
III. Rezim Hukum Internasional Terkait Lintas Kapal Asing di Perairan Indonesia
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982) sebagai Kerangka Hukum Utama
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982) adalah kerangka hukum internasional yang komprehensif dan fundamental yang mengatur seluruh aktivitas terkait lautan global. Konvensi ini sering disebut sebagai “konstitusi lautan” karena cakupannya yang luas, terdiri dari lebih dari 300 pasal dan sembilan lampiran. Indonesia merupakan salah satu pihak pada UNCLOS 1982 dan telah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Peran Indonesia dalam pembentukan UNCLOS sangat signifikan, khususnya dalam memperjuangkan prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State). Prinsip ini, yang berhasil diakui setelah perjuangan panjang Indonesia dari tahun 1973 hingga 1982, memberikan kedaulatan kepada negara-negara kepulauan seperti Indonesia atas perairan di antara pulau-pulau mereka. Oleh karena itu, kepatuhan Indonesia terhadap UNCLOS bukan sekadar kewajiban pasif yang didikte oleh negara lain, melainkan sebuah komitmen terhadap kerangka hukum yang ikut dibentuknya. Ini memberikan Indonesia posisi moral dan hukum yang kuat untuk mengadvokasi interpretasi dan penegakan UNCLOS, sekaligus mengikatnya pada batasan-batasan yang ditetapkan oleh konvensi tersebut.
Jenis-jenis Hak Lintas Kapal Asing
UNCLOS 1982 mengakui tiga jenis hak lintas bagi kapal asing di perairan yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai:
Hak Lintas Damai (Innocent Passage):
Definisi dan Batasan: Hak lintas damai memungkinkan kapal asing untuk melintas di laut teritorial suatu negara pantai, dengan syarat bahwa lintas tersebut tidak merugikan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai. Lintas ini harus dilakukan secara terus-menerus dan secepat mungkin, tanpa berhenti atau berlabuh, kecuali jika insidental terhadap navigasi normal atau diperlukan karena force majeure atau kesulitan. Kapal selam, ketika melaksanakan hak lintas damai, diwajibkan untuk melintas di permukaan dan menunjukkan benderanya.
Aktivitas yang Tidak Damai: UNCLOS secara spesifik mengidentifikasi aktivitas yang dapat dianggap merugikan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai, sehingga lintas tersebut tidak lagi dianggap damai. Ini termasuk ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap kedaulatan, integritas teritorial, atau kemerdekaan politik negara pantai; latihan atau praktik militer; pengumpulan informasi yang merugikan pertahanan atau keamanan; kegiatan propaganda; peluncuran, pendaratan, atau pengambilan pesawat atau perangkat militer; kegiatan penangkapan ikan; pelaksanaan penelitian atau survei tanpa izin; serta pemuatan atau pembongkaran komoditas, mata uang, atau orang yang bertentangan dengan undang-undang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau sanitasi negara pantai.
Kewajiban Negara Pantai: Negara pantai berkewajiban untuk tidak menghambat pelaksanaan hak lintas damai dan harus mengumumkan setiap bahaya yang diketahui bagi keselamatan navigasi di laut teritorialnya. Meskipun demikian, negara kepulauan dapat menangguhkan sementara hak lintas damai kapal asing di area tertentu dari perairan kepulauan atau laut teritorialnya jika penangguhan tersebut sangat penting untuk perlindungan keamanannya, termasuk latihan senjata, setelah memberikan pemberitahuan yang semestinya.
Hak Lintas Transit (Transit Passage) di Selat Internasional:
Definisi dan Karakteristik: Hak lintas transit berlaku di selat yang digunakan untuk navigasi internasional, yaitu selat yang menghubungkan satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan bagian laut lepas atau ZEE lainnya. Hak ini didefinisikan sebagai pelaksanaan kebebasan navigasi dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus-menerus dan secepat mungkin melalui selat tersebut, dalam mode operasi normal.
Implikasi Penting: Perbedaan mendasar dari lintas damai adalah bahwa hak lintas transit tidak dapat dihalangi atau ditangguhkan oleh negara kepulauan untuk tujuan apapun. Ini berarti bahwa kapal selam, ketika melaksanakan hak lintas transit, diizinkan untuk melintas dalam keadaan terendam karena itu adalah “mode normal” mereka. Hak ini sangat relevan untuk selat-selat strategis seperti Selat Malaka, yang merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Aturan ini memastikan kelancaran dan ketidak terganggunya navigasi internasional, yang sangat penting mengingat volume lalu lintas yang tinggi di selat-selat tersebut.
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (Archipelagic Sea Lanes Passage – ALKI):
Penetapan ALKI: Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki hak untuk menetapkan alur laut dan jalur udara di atasnya yang cocok untuk lintas kapal asing dan pesawat udara. Indonesia telah mengambil langkah signifikan dengan mengusulkan penetapan tiga ALKI utama (ALKI I, II, dan III) beserta cabang-cabangnya kepada Organisasi Maritim Internasional (IMO), yang kemudian diterima pada tahun 1998. ALKI I, misalnya, mencakup perairan seperti Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda, yang merupakan jalur penting antara Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia.
Aturan dan Kewajiban: Meskipun ALKI telah ditetapkan, kapal asing tidak diwajibkan untuk menggunakan alur laut ini saat melintas di perairan kepulauan Indonesia. Kapal asing tetap dapat melaksanakan hak lintas damai di perairan kepulauan Indonesia, baik di dalam maupun di luar ALKI, ketika berlayar dari satu bagian laut lepas atau ZEE menuju pelabuhan Indonesia atau ke bagian laut lepas atau ZEE lainnya. Namun, kapal-kapal tersebut harus mematuhi hukum domestik Indonesia dan hukum internasional. Kapal tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil laut dari garis tengah ALKI dan tidak boleh berlayar atau terbang terlalu dekat dengan pantai dalam jarak 10% dari jarak antara titik-titik terdekat di pulau-pulau yang membatasi ALKI. Selain itu, kapal asing, termasuk kapal penelitian ilmiah dan survei hidrografi, dilarang melakukan penelitian atau survei tanpa izin sebelumnya dari Indonesia. Pelanggaran terhadap peraturan ini dapat dikenakan sanksi pidana.
Perbedaan yang mendalam antara hak lintas damai dan hak lintas transit sangat penting dalam memahami kemampuan Indonesia untuk mengenakan pungutan. Larangan mutlak untuk menangguhkan atau menghalangi hak lintas transit di selat internasional secara fundamental membatasi kemampuan Indonesia untuk mengenakan biaya, tidak seperti hak lintas damai yang lebih fleksibel di mana penangguhan sementara untuk alasan keamanan diperbolehkan. Hal ini menunjukkan adanya kompromi dalam UNCLOS: kedaulatan negara diakui, tetapi diimbangi dengan kebebasan navigasi untuk perdagangan global.
Kewajiban Negara Pantai dan Kapal Asing
Sebagai negara pantai dan negara kepulauan, Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hukum dan regulasi nasionalnya terkait lintas kapal asing konsisten dengan hukum internasional dan tidak diskriminatif. Di sisi lain, kapal asing yang melintas di perairan Indonesia juga memiliki kewajiban untuk mematuhi peraturan keselamatan navigasi, mencegah pencemaran laut, dan tidak mengganggu fasilitas atau instalasi navigasi negara pantai.
Berikut adalah tabel perbandingan hak lintas kapal asing:
Tabel 2: Perbandingan Hak Lintas Kapal Asing di Perairan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982
Kriteria
Hak Lintas Damai (Innocent Passage)
Hak Lintas Transit (Transit Passage)
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (ALKI Passage)
Zona Aplikasi
Laut Teritorial, Perairan Kepulauan (di luar ALKI)
Selat Internasional (menghubungkan Laut Lepas/ZEE)
Alur Laut Kepulauan yang ditetapkan
Definisi/Tujuan
Lintas yang tidak merugikan perdamaian, ketertiban, keamanan negara pantai.
Navigasi & penerbangan terus-menerus dan cepat untuk transit.
Navigasi & penerbangan terus-menerus dan cepat melalui jalur yang ditetapkan.
Kapal Selam
Wajib melintas di permukaan dan menunjukkan bendera.
Diizinkan melintas terendam (mode normal).
Diizinkan melintas terendam (mode normal).
Penangguhan
Dapat ditangguhkan sementara di area tertentu untuk keamanan (dengan pemberitahuan).
Tidak dapat dihalangi atau ditangguhkan untuk tujuan apapun.
Tidak dapat dihalangi atau ditangguhkan untuk tujuan apapun.
Pungutan (Biaya)
Tidak boleh dikenakan hanya karena melintas, kecuali untuk “services rendered”.
Tidak boleh dikenakan biaya pajak sama sekali.
Tidak boleh dikenakan biaya pajak sama sekali.
Kewajiban Kapal
Patuhi hukum negara pantai, tidak melakukan aktivitas merugikan (militer, penelitian, penangkapan ikan, dll.).
Patuhi hukum negara pantai, tidak mengancam/menggunakan kekuatan, tidak melakukan aktivitas di luar transit normal.
Patuhi hukum negara pantai, tidak menyimpang dari jalur, tidak melakukan penelitian/survei tanpa izin.
Implikasi untuk Indonesia
Fleksibilitas dalam penangguhan untuk keamanan, tetapi tidak boleh memungut biaya transit.
Harus menjamin kelancaran navigasi internasional tanpa pungutan.
Memiliki kontrol atas penetapan jalur, tetapi tidak boleh memungut biaya transit.
IV. Legalitas Penarikan Pajak atas Kapal Asing yang Melintas
Polemik mengenai bolehkah Indonesia menarik pajak dari setiap kapal asing yang melintas untuk devisa negara adalah isu krusial yang harus dijawab berdasarkan kerangka hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.
Prinsip UNCLOS Mengenai Pungutan untuk Lintas Kapal Asing (Artikel 26)
Pasal 26 UNCLOS 1982 secara tegas melarang pengenaan biaya pada kapal asing hanya karena melintas di laut teritorial. Ketentuan ini sangat jelas: “Tidak ada pungutan yang dapat dikenakan pada kapal asing hanya karena lintasnya melalui laut teritorial”.
Namun, terdapat pengecualian penting yang dikenal sebagai “services rendered” atau layanan yang diberikan. Biaya dapat dikenakan pada kapal asing yang melintas di laut teritorial hanya sebagai pembayaran untuk layanan spesifik yang diberikan kepada kapal tersebut. Contoh layanan ini termasuk pengisian bahan bakar, pemeliharaan, pandu, atau tunda. Pungutan untuk layanan ini harus dikenakan tanpa diskriminasi.
Untuk rezim lintas transit, yang berlaku di selat internasional seperti Selat Malaka, UNCLOS tidak memiliki ketentuan yang setara dengan Pasal 26. Bahkan, usulan untuk mengenakan tol atau biaya untuk layanan seperti penerangan, pelampung, atau pengerukan di selat-selat tersebut tidak diterima selama negosiasi UNCLOS. Ini secara eksplisit berarti bahwa tidak boleh ada pungutan sama sekali untuk lintas transit di selat internasional. Negara kepulauan memiliki kewajiban untuk tidak menghambat atau menangguhkan hak lintas transit.
Ketiadaan ketentuan setara Pasal 26 untuk lintas transit, ditambah dengan penolakan proposal pungutan di selat internasional, merupakan hambatan hukum yang definitif untuk mengenakan biaya transit. Hal ini menunjukkan tujuan spesifik UNCLOS untuk memastikan navigasi internasional yang tidak terhambat.
Analisis Hukum Terkait Pungutan pada Lintas Damai dan Lintas Transit
Berdasarkan prinsip-prinsip UNCLOS, analisis hukum mengenai pungutan pada lintas kapal asing dapat dirinci sebagai berikut:
Lintas Damai: Indonesia tidak dapat memungut pajak atau biaya hanya karena kapal asing melintas di laut teritorialnya. Namun, jika kapal asing tersebut singgah di pelabuhan Indonesia atau menerima layanan spesifik dari negara pantai, seperti jasa pandu, tunda, suplai bahan bakar, atau perbaikan, maka biaya atas jasa tersebut dapat dikenakan secara sah. Pungutan ini bukan pajak atas lintas, melainkan pembayaran atas layanan komersial.
Lintas Transit: Untuk kapal asing yang hanya melintas di selat yang digunakan untuk navigasi internasional (seperti Selat Malaka) di bawah hak lintas transit, penarikan biaya pajak atau pungutan atas lintas tersebut secara tegas tidak diperbolehkan oleh UNCLOS. UNCLOS, yang merupakan produk kompromi dan negosiasi yang turut dibentuk oleh Indonesia, mewajibkan negara kepulauan untuk menjamin kelancaran pelayaran di selat internasional tanpa kendala, termasuk tanpa pungutan.
Perbedaan antara “lintas” dan “layanan yang diberikan” sangat penting untuk strategi pendapatan negara. Meskipun biaya transit langsung dilarang, peluang Indonesia terletak pada pengembangan layanan maritim bernilai tambah yang berkualitas tinggi (misalnya, bunkering, logistik, perbaikan kapal) di dalam pelabuhan dan zona maritimnya, di mana biaya dapat dikenakan secara sah. Ini menggeser fokus dari perpajakan kedaulatan ke penyediaan layanan yang kompetitif.
Pajak Penghasilan (PPh) bagi Perusahaan Pelayaran Asing di Indonesia
Kerangka perpajakan Indonesia, khususnya Pajak Penghasilan (PPh), ditujukan pada penghasilan yang diperoleh dari kegiatan bisnis atau jasa yang dilakukan di wilayah yurisdiksi pajak Indonesia, bukan pada lintas semata.
Konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan Relevansinya:
Bagi perusahaan pelayaran luar negeri yang beroperasi melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, penghasilan neto mereka ditetapkan sebesar 6% dari peredaran bruto, dan PPh yang dikenakan adalah 2,64% dari peredaran bruto.
Penentuan keberadaan BUT tidak hanya didasarkan pada “uji waktu” (misalnya, keberadaan lebih dari 90 hari) tetapi juga faktor-faktor lain, seperti ada atau tidaknya agen independen yang bertindak atas nama perusahaan asing tersebut. Ketiadaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi perusahaan asing di Indonesia juga menjadi pertimbangan dalam menentukan keberadaan BUT.
Jika perusahaan pelayaran asing tidak memiliki BUT di Indonesia, pembayaran untuk jasa-jasa tertentu, seperti sewa kapal, dapat dikenakan PPh Pasal 26, dengan tarif umum 20% dari jumlah bruto.
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan Dampaknya:
Indonesia memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan banyak negara, termasuk Singapura. P3B ini dapat memodifikasi tarif pajak yang dikenakan. Misalnya, P3B Indonesia-Singapura mengatur bahwa laba dari operasi kapal di lalu lintas internasional dapat dikenakan pajak di negara lain, tetapi pajak yang dikenakan di negara tersebut akan dikurangi sebesar 50%. P3B ini berlaku efektif sejak 1 Januari 1992.
Model OECD dan UN, yang menjadi dasar banyak P3B, umumnya menyatakan bahwa laba dari operasi kapal atau pesawat udara dalam lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di negara tempat manajemen efektif perusahaan berada, kecuali jika aktivitas pelayaran di negara lain lebih dari biasanya. Ini menunjukkan bahwa objek pajak adalah laba dari kegiatan operasional, bukan sekadar lintas.
Pajak atas Jasa Terkait Pelabuhan dan Kegiatan Ekonomi Lainnya:
PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan pada jenis penghasilan tertentu yang bersifat final, seperti penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, hadiah undian, dan transaksi derivatif. Namun, jenis pajak ini tidak secara langsung berlaku untuk lintas kapal asing.
Beberapa industri di Indonesia, termasuk pelayaran domestik (1,2%) dan konstruksi (4%), dikenakan pajak final berdasarkan pendapatan bruto, bukan laba kena pajak.
Kerangka Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini, termasuk PPh Pasal 15, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 ayat (2), terutama menargetkan pendapatan yang dihasilkan dari operasi bisnis atau layanan yang diberikan di Indonesia, bukan sekadar lintas. Hal ini memperkuat larangan UNCLOS terhadap biaya transit. Selain itu, kerangka Pajak Minimum Global (GMT) yang akan berlaku mulai tahun fiskal 2025, yang bertujuan memastikan perusahaan multinasional memiliki tarif pajak efektif minimal 15% di semua yurisdiksi, juga tidak mengubah prinsip dasar UNCLOS mengenai larangan perpajakan transit langsung.
V. Tantangan dan Implikasi bagi Indonesia dalam Mengoptimalkan Potensi Maritim
Meskipun memiliki potensi maritim yang sangat besar, Indonesia menghadapi berbagai tantangan signifikan dalam mewujudkan visinya sebagai Poros Maritim Dunia.
Ancaman Keamanan Maritim
Keamanan maritim adalah salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia:
Penangkapan Ikan Ilegal (Illegal Fishing): Praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF) merupakan masalah serius yang menyebabkan kerugian ekonomi dan lingkungan yang besar bagi Indonesia. Sepanjang Januari hingga Mei 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menangkap 32 kapal pelaku illegal fishing (9 kapal asing dan 23 kapal Indonesia), berhasil menggagalkan potensi kerugian negara sebesar Rp 774,3 miliar. Pada tahun 2024, kerugian negara akibat illegal fishing bahkan mencapai Rp 3,7 triliun. Kapal-kapal asing yang ditangkap berasal dari Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Tiongkok.
Meskipun kerugian finansial akibat penangkapan ikan ilegal sangat besar, UNCLOS 1982 Pasal 73 (3) membatasi jenis hukuman yang dapat dikenakan untuk pelanggaran perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), secara eksplisit melarang pidana penjara atau bentuk hukuman badan lainnya, kecuali ada perjanjian yang sebaliknya dengan negara bendera kapal. Pembatasan ini menciptakan dilema kebijakan yang signifikan: bagaimana cara menghalangi kegiatan ilegal secara efektif ketika hukum internasional membatasi tindakan hukuman. Hal ini mendorong perlunya strategi penegakan hukum yang lebih kreatif, peningkatan pengawasan, dan kerja sama internasional.
Tumpahan Minyak: Lalu lintas kapal yang padat di selat-selat internasional, seperti Selat Malaka, meningkatkan risiko pencemaran laut serius akibat tumpahan minyak. Tumpahan minyak dapat menyebabkan dampak lethal (kematian massal organisme), sublethal (gangguan reproduksi dan perilaku biota laut bahkan pada konsentrasi rendah), serta kerusakan pada plankton dan ikan migrasi. Ekosistem pesisir yang vital seperti mangrove, terumbu karang, dan padang lamun sangat rentan terhadap dampak ini. Insiden tumpahan minyak di Teluk Balikpapan (2018) dan Selat Singapura (2015) yang menyebar hingga Pulau Bintan menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap bencana lingkungan ini.
Kejahatan Transnasional: Perairan Indonesia yang luas dan terbuka juga rentan terhadap berbagai kejahatan transnasional terorganisir, termasuk penyelundupan barang (kayu, gula, beras, minyak, senjata, narkotika), perdagangan manusia/imigrasi ilegal, perompakan, dan terorisme maritim. Ketiadaan undang-undang kelautan nasional yang komprehensif dan masih kuatnya pola pikir berbasis darat di masyarakat memperburuk tantangan dalam penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia.
Keterbatasan Infrastruktur dan Daya Saing Pelabuhan
Meskipun Indonesia memiliki potensi maritim yang besar, infrastruktur maritimnya masih kurang memadai dan daya saing pelabuhannya jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga yang menjadi hub maritim utama:
Perbandingan Daya Saing Pelabuhan: Pelabuhan Indonesia, seperti Tanjung Priok, jauh tertinggal dari Singapura dalam hal throughput peti kemas dan layanan transhipment. Pada tahun 2020, Singapura menduduki peringkat ke-2 sebagai pelabuhan peti kemas tersibuk di dunia (setelah Shanghai) dan peringkat ke-1 sebagai pelabuhan transhipment tersibuk, dengan kapasitas hingga 36 juta TEU peti kemas. Sementara itu, Tanjung Priok berada di peringkat ke-25 dengan kapasitas hanya 7,3 juta TEU. Singapura juga merupakan pemasok BBM kapal terbesar di dunia.
Faktor Keunggulan Pesaing: Keunggulan Singapura didorong oleh kebijakan politik yang pro-bisnis dan ramah investor asing, visi jangka panjang yang konsisten, jaringan perusahaan perkapalan internasional yang terpusat di Singapura, serta investasi besar dalam infrastruktur canggih seperti Tuas Port yang akan menjadi terminal peti kemas otomatis terbesar di dunia. Malaysia juga telah melakukan investasi signifikan dalam pengembangan pelabuhan seperti Port Klang dan Port of Tanjung Pelepas, yang kini menjadi hub transhipment utama dan bersaing ketat dengan Singapura, didukung oleh kemajuan teknologi dan efisiensi operasional.
Kelemahan Indonesia: Indonesia menghadapi beberapa kelemahan struktural, termasuk lokasi ibu kota negara yang jauh dari Selat Malaka (berbeda dengan Malaysia dan Singapura yang dekat dengan selat tersebut), keterbatasan fasilitas pelabuhan berstandar internasional di Sumatera yang menyebabkan kapal-kapal besar lebih memilih berlabuh di Jawa, serta kurangnya fokus pembangunan yang merata di wilayah pesisir. Selain itu, kinerja logistik Indonesia masih di bawah Singapura dan Malaysia, sebagaimana tercermin dalam Logistics Performance Index.
Upaya Pelindo: PT Pelindo terus berupaya meningkatkan infrastruktur dan efisiensi melalui kolaborasi pembangunan pelabuhan yang terintegrasi dengan kawasan industri, seperti Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di Gresik, Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara, dan Terminal Kijing di Kalimantan Barat. Inisiatif ini bertujuan untuk memangkas biaya logistik dan mempercepat arus barang.
Kontras mencolok dalam daya saing pelabuhan antara Indonesia dan negara tetangganya, meskipun Indonesia memiliki keunggulan geografis yang superior, menunjukkan adanya masalah sistemik yang lebih dalam daripada sekadar infrastruktur fisik. Faktor-faktor seperti kebijakan pro-bisnis yang konsisten, visi jangka panjang yang terintegrasi, dan pengembangan ekosistem logistik yang efisien adalah kunci keberhasilan Singapura dan Malaysia. Ini menyiratkan bahwa tantangan Indonesia bukan hanya membangun pelabuhan, tetapi membangun ekosistem maritim yang kompetitif secara menyeluruh.
Kesenjangan Regulasi Nasional dan Kualitas Sumber Daya Manusia
Dua tantangan internal yang juga signifikan adalah:
Kesenjangan Regulasi: Meskipun telah meratifikasi UNCLOS, Indonesia belum memiliki undang-undang kelautan nasional yang komprehensif yang mengatur secara menyeluruh sektor maritimnya. Selain itu, pola pikir masyarakat Indonesia masih cenderung berbasis darat (land-based mindset), yang menciptakan ketidakselarasan antara potensi maritim yang besar dan kemampuan negara untuk mengelola serta memanfaatkannya secara efektif.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM): Indonesia masih menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil di bidang maritim, terutama dalam aspek teknologi dan manajemen. Kesenjangan dalam kapasitas regulasi dan sumber daya manusia ini merupakan tantangan sistemik yang menghambat upaya pengembangan infrastruktur dan penegakan keamanan maritim. Tanpa kerangka hukum dan kebijakan yang kohesif yang memprioritaskan pembangunan maritim, serta tenaga kerja yang kompeten untuk melaksanakannya, investasi infrastruktur yang signifikan pun mungkin tidak akan menghasilkan keunggulan kompetitif yang diharapkan.
Berikut adalah tabel yang mengkuantifikasi kerugian akibat illegal fishing:
Tabel 3: Data Kerugian Akibat Illegal Fishing di Indonesia (Januari-Mei 2025)
Indikator
Data
Sumber
Jumlah Kapal Ditangkap (Jan-Mei 2025)
32 kapal (9 asing, 23 domestik)
Asal Kapal Asing
Filipina (5), Vietnam (2), Malaysia (1), China (1)
Potensi Kerugian Negara yang Digagalkan
Rp 774,3 miliar
Total Kerugian Negara (Tahun 2024)
Rp 3,7 triliun
Tabel ini secara kuantitatif menunjukkan dampak negatif signifikan terhadap ekonomi maritim Indonesia, menyoroti tantangan berkelanjutan dari illegal fishing meskipun ada upaya penegakan hukum.
Berikut adalah tabel perbandingan daya saing pelabuhan:
Tabel 4: Perbandingan Daya Saing Pelabuhan Indonesia, Singapura, dan Malaysia
Tanjung Priok: 25, Tanjung Perak: Tersingkir dari ranking
Singapura: 2 (setelah Shanghai)
Tidak disebutkan langsung, tetapi pesaing utama
Ranking Pelabuhan Alih-Muat (Transhipment 2020)
Tidak termasuk 5 besar
Singapura: 1 (30.9 juta TEU)
Tidak disebutkan langsung, tetapi pesaing utama
Kapasitas Petikemas (TEUs)
Tanjung Priok: 7,3 juta; Tanjung Perak: 3,9 juta
Singapura: 36 juta (saat ini), Tuas Port hingga 65 juta (2040s)
Tanjung Pelepas: >12 juta (saat ini)
Logistics Performance Index 2018 (Ranking Global)
45
7
41
Faktor Keunggulan
Potensi geografis besar, pembangunan tol laut & pelabuhan terintegrasi (JIIPE, Kuala Tanjung, Kijing)
Kebijakan pro-bisnis, visi jangka panjang, jaringan perusahaan perkapalan global, teknologi canggih (otomatisasi, JIT), layanan nilai tambah (warehousing, bunkering)
Investasi pelabuhan besar, teknologi, efisiensi operasional, lokasi strategis dekat Selat Singapura, menarik aliansi pelayaran besar
Kelemahan
Ibukota di Jawa (jauh dari Selat Malaka), keterbatasan fasilitas berstandar internasional di Sumatera, SDM kurang kompeten, kurangnya fokus pembangunan, sistem logistik yang kompleks
Keterbatasan lahan (atasi dengan reklamasi)
Populasi lebih sedikit, namun fokus pada sistem ekonomi stabil
Tabel ini secara langsung membahas lanskap kompetitif hub maritim di Asia Tenggara, memberikan data konkret yang menggambarkan posisi Indonesia yang tertinggal dan alasan di baliknya. Hal ini sangat penting untuk memahami tantangan ekonomi dan merumuskan strategi di masa depan.
VI. Rekomendasi dan Strategi ke Depan
Untuk mengoptimalkan potensi maritim Indonesia dan mengatasi berbagai tantangan yang ada, diperlukan pendekatan strategis yang komprehensif dan terintegrasi.
Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Ekonomi Maritim Berkelanjutan
Mengingat batasan hukum internasional terhadap pungutan transit langsung, strategi utama Indonesia untuk menghasilkan pendapatan dari lokasi strategisnya harus bergeser ke pengembangan dan pemasaran layanan maritim bernilai tambah yang sesuai dengan UNCLOS. Ini berarti Indonesia harus bergerak melampaui sekadar menjadi jalur transit dan menjadi tujuan pilihan untuk panggilan pelabuhan, logistik, dan aktivitas industri kelautan.
Pemanfaatan Sumber Daya Berkelanjutan: Implementasi kebijakan penangkapan ikan yang berkelanjutan dan rehabilitasi ekosistem laut, termasuk terumbu karang dan hutan mangrove, adalah esensial untuk menjaga keberlanjutan potensi perikanan dan pariwisata bahari.
Diversifikasi Ekonomi Maritim: Mendorong investasi di sektor energi terbarukan kelautan, seperti energi gelombang laut dan angin lepas pantai, dapat membuka sumber pendapatan baru dan mendukung transisi energi global. Pengembangan industri kelautan, termasuk galangan kapal dan pabrik pengolahan ikan, harus didasarkan pada prinsip keberlanjutan dan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Pengembangan Layanan Bernilai Tambah: Fokus pada peningkatan kualitas dan diversifikasi jasa kelautan, seperti layanan bunkering, logistik terintegrasi, perbaikan kapal, dan layanan digital maritim. Ini akan menarik lebih banyak kapal untuk singgah dan melakukan kegiatan ekonomi di pelabuhan Indonesia, di mana biaya atas layanan tersebut dapat dikenakan secara sah, sesuai dengan ketentuan UNCLOS Pasal 26.
Penguatan Penegakan Hukum dan Keamanan Maritim
Meningkatkan keamanan maritim adalah kunci untuk melindungi aset dan kedaulatan negara.
Penindakan Illegal Fishing yang Efektif: Peningkatan pengawasan kelautan dan penindakan tegas terhadap illegal fishing harus terus dilakukan. Meskipun terdapat batasan UNCLOS Pasal 73 (3) mengenai hukuman pidana di ZEE, Indonesia perlu mencari strategi penegakan hukum yang lebih kreatif dan bertarget, memaksimalkan penggunaan intelijen, teknologi pengawasan, dan kerja sama dengan lembaga penegak hukum lain, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut: Mengingat risiko tumpahan minyak dan pencemaran lainnya akibat lalu lintas kapal yang padat, Indonesia harus memperkuat regulasi, meningkatkan kapasitas pengawasan, dan mengembangkan sistem tanggap darurat yang efektif untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut.
Kerja Sama Keamanan Regional: Penguatan kerja sama trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam patroli dan berbagi informasi di Selat Malaka harus terus ditingkatkan untuk mengatasi perompakan, penyelundupan, dan kejahatan transnasional lainnya.
Pengembangan Infrastruktur dan Peningkatan Daya Saing Pelabuhan
Untuk mengatasi kesenjangan daya saing dengan negara tetangga, Indonesia perlu fokus pada:
Pembangunan Infrastruktur Modern: Melanjutkan pembangunan pelabuhan modern dan efisien, serta jaringan transportasi laut yang terintegrasi, termasuk tol laut dan konektivitas kereta api ke kawasan industri.
Integrasi Pelabuhan dengan Kawasan Industri: Memperluas inisiatif Pelindo dalam mengintegrasikan pelabuhan dengan kawasan industri untuk memangkas biaya logistik dan mempercepat arus barang.
Peningkatan Efisiensi dan Layanan: Fokus pada peningkatan efisiensi operasional pelabuhan, adopsi teknologi digital (seperti sistem informasi real-time), dan penyediaan layanan nilai tambah untuk menarik lebih banyak kapal singgah dan melakukan transhipment. Ini akan membantu mengalihkan fokus dari sekadar volume transit ke nilai ekonomi yang dihasilkan dari setiap kunjungan kapal.
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Maritim
Mengatasi “pola pikir berbasis darat” dan kurangnya hukum maritim yang komprehensif adalah hal mendasar. Tanpa kerangka hukum dan kebijakan yang kohesif yang memprioritaskan pembangunan maritim, serta tenaga kerja yang mampu melaksanakannya, investasi infrastruktur yang signifikan pun mungkin tidak akan menghasilkan keunggulan kompetitif. Hal ini memerlukan pergeseran budaya dan kelembagaan.
Pendidikan dan Pelatihan: Pengembangan sumber daya manusia yang kompeten di bidang kelautan, perikanan, dan pelayaran, termasuk keahlian dalam teknologi maritim dan manajemen pelabuhan, adalah krusial. Program pendidikan dan pelatihan yang relevan, seperti program double degree yang menggabungkan manajemen kelautan dengan teknologi, perlu diperbanyak.
Dukungan Penelitian dan Pengembangan: Mendorong dan mendukung penelitian ilmiah serta pengembangan teknologi di sektor maritim akan memperkuat kapasitas inovasi dan adaptasi Indonesia terhadap tantangan dan peluang di masa depan.
Diplomasi Maritim dan Kerja Sama Internasional
Penjaga UNCLOS: Memperkuat peran Indonesia sebagai penjaga UNCLOS dan terus mendorong aplikasi yang konsisten dan komprehensif dari konvensi tersebut di tingkat regional dan global.
Partisipasi Aktif: Terus berpartisipasi aktif dalam forum internasional untuk membahas isu-isu keamanan maritim, tata kelola laut, dan kerja sama regional.
Penguatan Kerja Sama Bilateral/Multilateral: Membangun dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara tetangga dan mitra internasional untuk mengatasi tantangan bersama dan memanfaatkan peluang di sektor maritim.
VII. Kesimpulan
Indonesia memiliki potensi maritim yang luar biasa sebagai Poros Maritim Dunia, didukung oleh keunggulan geografis yang strategis dan kekayaan sumber daya laut yang melimpah. Manfaat yang dapat diperoleh negara mencakup penguatan keamanan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia yang cerdas, dan kontribusi aktif dalam menjaga ketertiban dunia. Potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan mencapai minimal USD 8,22 triliun per tahun, namun realisasinya masih terhambat oleh berbagai tantangan.
Mengenai lintas kapal asing, UNCLOS 1982 menyediakan kerangka hukum yang jelas, membedakan antara hak lintas damai, hak lintas transit, dan hak lintas Alur Laut Kepulauan (ALKI). Secara hukum internasional, Indonesia tidak dapat menarik pajak dari kapal asing hanya karena melintas di perairannya, baik itu dalam rezim lintas damai maupun lintas transit di selat internasional. Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 26 UNCLOS untuk lintas damai, dan secara implisit melalui ketiadaan ketentuan serupa serta penolakan proposal pungutan untuk lintas transit. Pungutan hanya dapat dikenakan sebagai pembayaran atas layanan spesifik yang diberikan kepada kapal. Pajak penghasilan yang berlaku saat ini di Indonesia, seperti PPh Pasal 15, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 ayat (2), ditujukan untuk kegiatan bisnis atau jasa yang menghasilkan pendapatan di wilayah yurisdiksi pajak Indonesia, bukan untuk lintas semata.
Untuk mengoptimalkan potensi maritim dan mengatasi tantangan seperti kerugian besar akibat penangkapan ikan ilegal, risiko pencemaran laut, dan daya saing pelabuhan yang masih rendah dibandingkan negara tetangga, Indonesia perlu fokus pada beberapa strategi kunci:
Pengembangan Layanan Maritim Bernilai Tambah: Mengalihkan fokus dari potensi pungutan transit yang tidak sah menjadi pengembangan layanan maritim berkualitas tinggi yang UNCLOS-compliant, seperti layanan pelabuhan, logistik, bunkering, dan perbaikan kapal.
Penguatan Penegakan Hukum Maritim: Menerapkan strategi penegakan hukum yang inovatif dan terkoordinasi untuk memerangi illegal fishing dan kejahatan transnasional lainnya, sembari tetap mematuhi batasan hukum internasional.
Peningkatan Infrastruktur dan Efisiensi Logistik: Membangun dan mengintegrasikan pelabuhan modern dengan kawasan industri, serta meningkatkan efisiensi operasional dan layanan pelabuhan untuk menarik lebih banyak investasi dan aktivitas ekonomi.
Pengembangan Sumber Daya Manusia Maritim: Berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk menghasilkan tenaga kerja maritim yang kompeten di bidang teknologi dan manajemen, serta mengubah pola pikir masyarakat agar lebih berorientasi pada kelautan.
Penguatan Kerangka Regulasi Nasional: Menyusun undang-undang kelautan nasional yang komprehensif untuk mendukung tata kelola maritim yang efektif dan terintegrasi.
Diplomasi Maritim Aktif: Memperkuat peran Indonesia sebagai penjaga UNCLOS dan terus menjalin kerja sama internasional untuk mengatasi tantangan bersama dan memanfaatkan peluang di sektor maritim.
Mewujudkan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia membutuhkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek ekonomi, hukum, keamanan, dan sumber daya manusia, dengan tetap mematuhi kerangka hukum internasional yang berlaku.