~ai-12fb6b0e-9ca3-4d3b-abb1-bf8e146ebbdc_

Delik Berangkai Tipijak dan TPPU Dilakukan Simultan, Mungkinkah?

- Ekonomi

Friday, 23 February 2024 06:27 WIB

taxjusticenews

Ada suatu kutipan yang sangat menarik “Tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak,” tulis Benjamin Franklin dalam The Works of Benjamin Franklin : 1817, oleh karena itu persiapkan diri Anda untuk menghadapinya. Pajak, jika kita berbicara pajak yang ada di benak kita adalah beban. Pajak memang iuran wajib yang dibayarkan kepada penguasa dengan tidak mendapat kontraprestasi secara langsung yang pemungutannya dapat dipaksakan, itu pengertian pajak dari beberapa para ahli di bidang perpajakan. Karena memang tidak ada kontraprestasi secara langsung yang dapat dirasakan oleh para pembayar pajak, maka berbagai macam cara akan dilakukan untuk menghindarinya, baik yang sifatnya legal yaitu mencari celah peraturan pajak dengan menciptakan suatu skema transaksi yang bertujuan untuk menghindarinya (tax avoidance), ada juga yang terang-terangan berani melawan tidak membayar pajak dengan cara menggelapkannya (tax evasion). Seperti pengertian pajak diatas yang dapat dipaksakan, maka dibuatlah peraturan untuk memaksa, meskipun ini sifatnya sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) sesuai ketentuan Pasal 38 jo. Pasal 39 UU KUP yang telah diperbaharui terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam kasus yang penulis teliti tentang Tipijak, yaitu dengan cara menerbitkan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya (there is no underlying transaction) yang berarti transaksi fiktif. Dalam kalangan para Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)  disebut sebagai Faktur Pajak TBTS, dan atas kasus Tipijak ini telah inkracht diputus pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA). Kasus ini sejatinya sangat mudah untuk dikenali modusnya yaitu menerbitkan dokumen palsu yang dapat merugikan pendapatan negara (predicate crime) yang secara tidak sadar telah jauh melakukan tindak pidana baru yaitu tindak pidana pencucian uang (TPPU) [follow up crime] dengan cara menyimpan uang hasil kejahatannya ke rek pribadi terpidana.

Dalam disertasi saya meneliti, menganalisis dan mencoba memberikan usulan solusi tentang kasus Tipijak (predicate crime) dilanjutkan dengan TPPU (follow up crime) dengan modus yang sama, baik pada pidana asalnya maupun pidana ikutannya menggunakan modus back to back loan, yaitu suatu skema transaksi fasilitas pinjaman bank yang digunakan untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang atas hutang ini dibayar oleh perusahaan lini berikutnya dengan dalih menerapkan cash pooling sebagai upaya mengaburkan asal-usul dari sumber uangnya yang sejatinya berasal dari penjualan yang tidak dilaporkan (sebagai objek pajak) menjadi bentuk baru yaitu pencairan pinjaman (sebagai bukan objek pajak). Tanpa disadari atau bahkan sadar telah memasuki fase tindak pidana baru yaitu TPPU dengan cara uang hasil Tipijak yang telah disimpan di rekening bank dan/atau deposito digunakan sebagai agunan membuka pinjaman kredit jangka pendek dan/atau jangka panjang.

Bahwa sesuai ketentuan Pasal 44C ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana. Maksud dari bunyi pasal ini jelas dimaksudkan untuk Tipijak yang dilakukan oleh korporasi karena korporasi tidak punya badan phisik dan jiwa seperti manusia, oleh karena itu pidana denda sebagai hukuman premier dan kurungan badan (dalam hal ini kepada Beneficial Owner) yang mengambil manfaat atas tindak pidana di bidang perpajakan sebagai hukuman subsidier.

Bahwa frasa “setiap orang” yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 38 jo Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) jo Pasal 39A jo Pasal 41A jo Pasal 41B jo Pasal 41C ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) telah dipertegas dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan Dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan bahwa setiap orang dimaknai sebagai orang pribadi dan korporasi.

Promovendus mengusulkan kepada otoritas penegakan hukum agar kegiatan penyelidikan dan penyidikan focus kepada aliran uang (follow the money), baik di Tingkat pidana asal maupun pidana ikutannya. Yang kedua mengusulkan agar Tipijak dilakukan penuntutan kepada korporasi sebagai pelaku Tipijak (corporate criminal liability) agar tidak terjadi lagi para boneka-boneka yang sejatinya bukan BO (Beneficial Owner) yang dikorbankan sebagai penanggung jawab Tipijaknya. Yang ketiga dalam proses penuntutan agar diterapkan penuntutan Tipijak sekaligus TPPU sebagai “delik berangkai” dibarengi dengan freze pembekuan asset terdakwa agar tujuan recovery kerugian pendapatan negara bisa segera dipulihkan, dan yang ke empat adalah dibentuknya Undang-Undang Pidana Perpajakan dalam suatu Undang-Undang tersendiri yang terpisah dari UU KUP yang mengatur tentang ketentuan formil perpajakan yang selama ini berlaku, dan yang terakhir agar frasa “merugikan pendapatan negara” segera diubah bunyinya yang tercantum pada Pasal 38 jo Pasal 39 ayat (1) jo Pasal 44B ayat (2) huruf a, huruf b ayat (2a) huruf a, agar tidak ditafsirkan sebagai delik korupsi, karena Tipikor merupakan suatu bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang tentunya akan sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 44B ayat (1) ayat (2) dimana ada kewenangan Menteri Keuangan menghentikan penyidikan, karena sejatinya tujuan negara untuk terbayarnya pajak telah tercapai, yang mana ini adalah bentuk restorative justice, padahal restorative justive diberikan untuk kasus-kasus dengan tingkat kejahatan yang lebih rendah, tindak pidana ringan (Tipiring), kalau-lah tidak diubah haruslah dipertegas dan dipersempit kerugian negaranya atas apa?, apakah atas assets (kekayaan), divident (hak bagi hasil), expenses (biaya-biaya), liabilities (utang-utang) dan equity (ekuitas/modal) serta revenues (pendapatan) negaranya?. Jadi dikembalikan kepada makna yang lebih sempit kepada pengertian akuntansinya, bukan makna yang sangat luas, misalnya “merugikan perekonomian negara”, karena dengan adanya frasa “merugikan [titik-titik] negara” ini otomatis mengamanahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga Auditor Negara sehingga menambah beban pekerjaan BPK yang pada akhirnya memperlambat proses penyelesaiannya serta tidak bisa secepatnya dilakukan recovery atas kerugian negaranya. (jis).

Jakarta, 10 Februari 2024

Joko Ismuhadi Soewarsono*)

*) Penulis adalah seorang doctor candidate pada bidang ilmu hukum pidana perpajakan dan doctor candidate pada bidang ilmu akuntansi pajak.

Share

Berita Lainnya

Rekomendasi untuk Anda

15555188718693592081

Tag Terpopuler

# Jokowi
# Prabowo
# Presiden RI

Berita Terpopuler

Video

Berita Lainnya

Korupsi Korporasi di bidang Perpajakan, Apa Itu?

Ekonomi | Friday, 23 Feb 2024

Rahasia Jabatan

Ekonomi | Friday, 15 Mar 2024

Foto

Rekomendasi Untuk Anda