Friday, 23 February 2024 06:27 WIB
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kata corruptio masuk dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption atau dalam bahasa Belanda menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan Indonesia menjadi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. sumber:https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220411-mengenal-pengertian-korupsi-dan-antikorupsi.
Korupsi, jika kita bicara korupsi maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah ada seorang Menteri, ada seorang Gubernur, ada seorang Bupati, ada seorang Walikota, ada seorang Camat, ada seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang sekarang disebut sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), baik yang berstatus pegawai kontrak maupun pegawai tetap yang tertangkap tangan melakukan korupsi.
Baru-baru ini masih segar dalam ingatan kita penggeledahan ruang kerja seorang Bupati di Sidoarjo Jawa Timur tentang adanya dugaan korupsi. Korupsi selalu saja dikait-kaitkan dengan pejabat publik karena isi dari UU Tipikor itu sendiri terdiri dari 2 (dua) hal pokok yaitu yang pertama “Abuse of Power” yaitu pejabat publik melakukan Tindakan atas jabatannya yang memperkaya diri sendiri, pihak lain atau korporasi dan yang kedua adalah “Break a Law” yaitu suatu tindakan penggelapan atas suatu kekayaan negara dalam jabatannya. Penulis menyebut ini sebagai Korupsi Birokrasi (corruption in birocration).
Tahukah kita bahwa frasa “merugikan negara” sebagai unsur delik korupsi tidak dikenal dalam Konvensi Internasional, dalam hal ini UNCAC (United Nations Convention Against Corruption), tidak secara eksplisit menjelaskan rumusan kerugian negara. Pasal 3 ayat (2) UNCAC (bagian Scope of Application) menjelaskan,“For the purposes of implementing this Convention, it shall not be necessary, exceptas otherwise stated herein, for the offenses set forth in it to result in damage orharm to state property”. Apabila diterjemahkan secara langsung, maka ruang lingkup pemberlakuan atas UNCAC dan demi tujuan implementasi konvensi ini; kejahatan-kejahatan yang dimaksud di dalamnya tidak perlu, kecuali dinyatakan lain, mengakibatkan kerugian atau kerusakan pada kekayaan negara, lantas kenapa di Indonesia ada frasa itu?. Jawabannya karena dengan adanya frasa itu banyak digunakan para penegak hukum untuk menjerat para koruptor.
Kita sudah tahu dan pernah mengalami krisis moneter tahun 1998 yang berujung kepada kerusuhan yang menyebabkan demo besar-besaran yang berakhir dengan runtuhnya rezim orde baru. Hal ini dimulai dengan adanya efek domino atas kebangkrutan bank-bank di Indonesia yang notabene punya para konglomerat yang besar dengan fasilitas pemerintah. Memang karena pada saat itu ada suatu peraturan yang apabila suatu bank umum, baik milik pemerintah (Bank BUMN) maupun milik swasta yang mengalami kesulitan likwiditas harus ditolong dan dibantu oleh bank sentral atau Bank Indonesia (BI), maka lahirlah suatu Lembaga yang mengurusi tentang hal itu yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang di bailed out dengan uang rakyat hasil pungutan pajak.
Ini semua mengakibatkan dampak yang sangat besar dalam perekonomian negara Indonesia. Dengan dampak yang luar biasa besar ini kenapa tidak disebut sebagai suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, penulis menyebut sebagai Korupsi Korporasi (corruption in corporation)?. Sejalan dengan frasa “merugikan pendapatan negara” pada ketentuan Pasal 38 jo Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang terakhir telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan jelas bisa ditafsirkan sebagai delik korupsi.
Masih segar pula dalam ingatan publik mantan Direktur Pertamina bisa lolos dari jerat tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dengan berlindung di balik Doktrin Business Judgment Rule (BJR) dimana BJR merupakan keputusan yang diputuskan pimpinan yang di kemudian hari ternyata ada kesalahan, oleh sebabnya direksi tidak dapat digugat karena keputusannya tersebut berlandaskan iktikad yang baik dan demi perusahaan semata. BJR di Indonesia familiar diperbincangkan di lingkup perusahaan khususnya direksi. Di dalam putusan-putusan pengadilan jika ada sesuatu perkara yang melibatkan direksi, baik perdata maupun pidana erat kaitannya dengan BJR. Apabila dalam Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham (RULBPS) telah diterima dan disetujui pertanggungjawaban Board of Director (BOD), maka dengan demikian seharusnya BOD mendapatkan suatu release and discharge (R & D) artinya dilepas dari segala tanggung jawab tentang perusahaan atau korporasi karena kewenangan mutlak telah dikembalikan sepenuhnya kepada para pemegang saham sebagai pemilik (penguasa) tertinggi dalam suatu korporasi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas (PT).
Pertanyaan yang timbul adalah bisakah diberlakukan BJR ini di lingkungan ASN/Pejabat Publik?. Jika dan hanya jika sesuatu keputusan yang telah diputuskan pimpinan yang di kemudian hari ternyata ditemukan adanya suatu kesalahan, terutama oleh para ASN dalam bidang perpajakan mengingat sejatinya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah masuk rumpun hukum administrasi negara, dalam hal suatu hari ditemukan adanya kekurangan penetapan jumlah pajak yang terhutang bukan karena suatu kesengajaan yang dapat memperkaya diri sendiri/orang lain atau korporasi maka pada saat anggaran belanja telah diterima pertanggungjawabannya dalam sidang umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai “pemegang saham” negara ini maka seyogjanya juga mendapat perlakuan yang persis sama seperti BOD korporasi yaitu bebas dari segala tanggung jawab dan tuntutan (release and discharge [R & D]).
Dalam disertasi saya menyoroti bahwa dalam kasus Tipijak (predicate crime) yang dapat merugikan pendapatan negara bisa ditafsirkan sebagai delik korupsi yang dilakukan oleh korporasi (corporate criminal liability). Karena sesungguhnya perusahaan atau Perseroan Terbatas adalah suatu organ/badan/entitas yang ada karena hukum (by law) yang merupakan file-file saja yang dikendalikan oleh orang perorang atau manajemen sesuai dengan pengertian Agency Theory bahwa memang ada konflik kepentingan diantara para agen dalam suatu Perusahaan, baik agen sebagai pekerja (karyawan) maupun agen pemilik atau pemegang saham (Beneficial Owner). Namun badan hukum diberikan hak dan kewajiban yang sama dengan orang perorang (persoon).
Bahwa oleh karena itu menurut promovendus atas suatu Tipijak bisa dipandang sebagai Tipikor yang dilakukan oleh korporasi untuk memperkaya pemiliknya (Beneficial Owner) dengan ketentuan Pasal 44C ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang secara tersirat menyatakan bahwa yang bertanggung jawab atas Tipijak dan/atau Tipikor nya adalah korporasi dengan bunyi frasa “pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana”. Dalam penjelasan Pasal 44A ayat (1) dinyatakan “Cukup jelas”, seharusnya diperjelas sehingga menjadi tersurat bukan tersirat. Jadi pidana denda disini sebagai hukuman primer yang tidak bisa digantikan dengan pidana kurungan sebagai hukuman subsider, dengan demikian secara tersirat Pasal ini mengatur tentang tanggung jawab pidana oleh korporasi (corporate criminal liability) mengingat korporasi tidak memiliki jiwa dan bentuk phisik seperti manusia (persoon) sehingga tidak bisa diterapkan hukuman kurungan.
Bahwa frasa “setiap orang” yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 38 jo Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) jo Pasal 39A jo Pasal 41A jo Pasal 41B jo Pasal 41C ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) telah dipertegas dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan Dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan bahwa setiap orang dimaknai sebagai orang pribadi dan korporasi.
Promovendus mengusulkan kepada otoritas penegak hukum, yang pertama agar kegiatan penyelidikan dan penyidikan fokus kepada aliran uang (follow the money), baik di tingkat pidana asal maupun pidana ikutannya. Yang kedua mengusulkan agar Tipijak dilakukan penuntutan kepada korporasi sebagai pelaku Tipijak (corporate criminal liability) agar tidak terjadi lagi para boneka-boneka yang sejatinya bukan BO (Beneficial Owner) yang dikorbankan sebagai penanggung jawab Tipijaknya. Yang ketiga dalam proses penuntutan agar diterapkan penuntutan Tipijak sekaligus TPPU sebagai “delik berangkai” dibarengi dengan freze pembekuan asset terdakwa agar tujuan recovery kerugian pendapatan negara bisa segera dipulihkan, dan yang ke empat adalah dibentuknya Undang-Undang Pidana Perpajakan dalam suatu Undang-Undang tersendiri yang terpisah dari UU KUP yang mengatur tentang ketentuan formil perpajakan yang selama ini berlaku, dan yang terakhir agar segera diubah bunyi Pasal 38 jo Pasal 39 ayat (1) jo Pasal 44B ayat (2) huruf a, huruf b ayat (2a) huruf a, agar tidak ditafsirkan sebagai delik korupsi, karena Tipikor merupakan suatu bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang tentunya akan sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 44B ayat (1) ayat (2) dimana ada kewenangan Menteri Keuangan menghentikan penyidikan yang mana ini adalah bentuk restorative justice, padahal restorative justive diberikan untuk kasus-kasus dengan tingkat kejahatan yang lebih rendah, tindak pidana ringan (Tipiring). (jis).
Jakarta, 10 Februari 2024
Joko Ismuhadi Soewarsono*)
*) Penulis adalah seorang doctor candidate dalam bidang ilmu hukum pidana perpajakan dan doctor candidate ilmu akuntansi pajak.
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com