Monday, 21 April 2025 05:51 WIB
Jakarta, fiskusnews.com:
I. Ringkasan Eksekutif
Urgensi legislasi Undang-Undang Perampasan Aset (UU Perampasan Aset) di Indonesia menjadi semakin krusial dalam upaya mempercepat pemulihan kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi perpajakan korporasi, yang sering kali melibatkan delik pidana berantai dan teknik pencucian uang yang canggih. Regulasi yang berlaku saat ini menghadapi kendala signifikan dalam melacak, membekukan, dan menyita aset hasil tindak pidana, yang mengakibatkan proses pemulihan aset menjadi lambat dan kurang efektif. UU Perampasan Aset yang komprehensif menjanjikan landasan hukum yang lebih kuat dan mekanisme yang lebih efisien untuk mengatasi tantangan ini. Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat memberikan efek jera yang lebih kuat terhadap pelaku korupsi melalui ancaman kehilangan aset, memperluas basis pemajakan negara dengan mengungkap skema penghindaran pajak yang kompleks, dan pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan rasio pajak di Indonesia. Implementasi yang efektif dari UU Perampasan Aset memerlukan kerja sama yang erat antar lembaga penegak hukum dan pemahaman yang mendalam mengenai tujuan serta mekanisme undang-undang tersebut.
II. Pendahuluan: Tantangan Korupsi Perpajakan Korporasi dan Pemulihan Aset di Indonesia
Korupsi perpajakan korporasi, yang ditandai dengan delik pidana berantai dan pencucian uang, menimbulkan kerugian besar bagi pendapatan negara dan stabilitas ekonomi Indonesia. Bentuk kejahatan keuangan ini sering kali melibatkan skema yang rumit dan tersembunyi dengan baik, yang dirancang untuk menghindari kewajiban pajak dalam skala besar. Hasil dari tindak pidana ini sering kali dicuci melalui transaksi keuangan dan struktur korporasi yang kompleks, sehingga menyulitkan pelacakan dan pemulihannya. Kerangka hukum yang ada di Indonesia, yang terutama bergantung pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan peraturan terkait lainnya, menunjukkan keterbatasan dalam menangani kejahatan yang canggih ini dan memastikan pengembalian aset yang dicuri ke negara. Keterbatasan ini mencakup kerumitan prosedural, fokus utama pada sanksi pidana daripada pemulihan aset, dan tantangan dalam pelacakan serta penyitaan aset lintas batas. Urgensi pembentukan UU Perampasan Aset yang khusus muncul dari kebutuhan untuk mengatasi kekurangan ini dan mengadopsi pendekatan yang lebih berorientasi pada aset dalam memerangi kejahatan keuangan.
III. Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset: Mengatasi Kekurangan Saat Ini
A. Mempercepat Pemulihan Kerugian Negara
B. Memberikan Efek Jera yang Lebih Kuat
C. Meningkatkan Basis Pemajakan
D. Mendukung Peningkatan Rasio Pajak
E. Mengatasi Kompleksitas Delik Pidana Berantai dan Pencucian Uang
IV. Mekanisme Utama dan Tujuan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset
A. Tujuan Utama
Tujuan utama dari UU Perampasan Aset adalah untuk mengembalikan kerugian negara. Undang-undang ini bertujuan untuk memungkinkan penyitaan dan perampasan hasil serta instrumen tindak pidana secara efektif dan efisien, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan dan hak-hak individu. Beberapa tujuan dan prinsip dasar RUU Perampasan Aset antara lain pengembalian kerugian negara, pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, perampasan aset tanpa putusan pengadilan dalam beberapa hal, perluasan tindak pidana yang dapat dikenakan perampasan aset, serta prosedur dan mekanisme penyitaan aset. RUU ini juga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pendekatan in rem dan konsep unexplained wealth. Selain itu, RUU Perampasan Aset dimaksudkan untuk membentuk suatu aturan baru mengenai mekanisme dalam melakukan perampasan aset milik seseorang yang diduga didapatkan dari hasil tindak pidana.
B. Mekanisme Utama
V. Perbandingan dengan Kerangka Hukum yang Berlaku Saat Ini (UU Tipikor dan Undang-Undang Terkait)
A. Keterbatasan Kerangka Hukum Saat Ini: Hukum pidana di Indonesia saat ini lebih berfokus pada pengungkapan tindak pidana, penemuan pelaku, dan penghukuman melalui pidana badan, sering kali mengabaikan pemulihan aset. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya menargetkan aset terpidana, padahal aset hasil korupsi sering disembunyikan melalui keluarga atau kerabat. Mekanisme pidana di bawah UU Tipikor memiliki keterbatasan, seperti adanya metode subsider (kurungan badan sebagai pengganti pembayaran aset hasil tindak pidana) yang dapat mengurangi efektivitas perampasan aset. Selain itu, penyitaan dibatasi hanya pada benda yang terkait langsung dengan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan saat ini, perampasan hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana terbukti bersalah di pengadilan. Peraturan saat ini belum mengakomodir secara khusus keadaan tertentu seperti tersangka yang tidak ditemukan, memiliki gangguan jiwa, atau tidak adanya ahli waris. Sulitnya pemulihan aset dalam tindak pidana korupsi juga dialami oleh negara lain, dan UNCAC bertujuan untuk mengatasi masalah ini. Mekanisme gugatan perdata dalam UU PTPK juga memiliki kelemahan tersendiri, seperti kurangnya aturan mengenai proses atau hukum acara gugatan perdata yang berkaitan dengan tindak pidana. Indonesia cenderung mengutamakan jalur pidana yang lebih fokus pada penghukuman pelaku daripada pengembalian aset.
B. Peningkatan Kemampuan yang Ditawarkan oleh Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset: RUU Perampasan Aset diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum terkait mekanisme perampasan aset hasil korupsi di Indonesia dengan mengadopsi pendekatan in rem. RUU ini diharapkan menjadi solusi bagi kelemahan dalam sistem hukum Indonesia terkait perampasan aset, seperti penyelesaian yang lambat, proses penyitaan yang kaku, fokus penegakan hukum hanya pada pelaku, dan ketersediaan metode subsider. Paradigma in rem dalam RUU, seperti pada regulasi unexplained wealth di Australia, akan menimbulkan efisiensi dalam penindakan tindak pidana korupsi. RUU Perampasan Aset menjadi peluang dalam memberantas korupsi di Indonesia dengan adanya mekanisme perampasan aset secara penal maupun non penal (in rem). Dalam pengimplementasian RUU Perampasan Aset, pemerintah menegaskan bahwa mekanisme yang digunakan sama sekali tidak membuktikan kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu aset merupakan hasil kejahatan. RUU Perampasan Aset dapat mengoptimalkan konsep penegakan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan paradigma follow the money dan meminimalisir overcapacity lembaga pemasyarakatan karena tidak hanya fokus pada pidana badan. Pendekatan in rem dalam RUU Perampasan Aset memungkinkan perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berisi kesalahan dan pemberian hukuman bagi pelaku.
VI. Peran Krusial Kerja Sama Lintas Lembaga
Kerja sama internasional penting untuk pemulihan aset, terutama aset yang berada di luar negeri. KPK telah melakukan berbagai bentuk kerja sama internasional, baik bilateral maupun multilateral, yang meliputi pertukaran informasi dan bantuan hukum timbal balik. Kerja sama antara otoritas pajak (DJP) dan otoritas anti korupsi (KPK) sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan pajak melalui pertukaran informasi mengenai perilaku ketidakpatuhan dan indikator kejahatan pajak serta korupsi. PPATK juga memiliki peran dalam kerja sama nasional dan internasional dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta pendanaan terorisme. Implementasi UU Perampasan Aset yang efektif, terutama dalam kasus korupsi perpajakan korporasi dengan elemen lintas batas dan pencucian uang, akan sangat bergantung pada kolaborasi yang kuat antara lembaga domestik seperti penegak hukum, otoritas pajak (DJP), PPATK, dan potensi kerja sama internasional dengan lembaga asing terkait. Undang-undang ini harus memfasilitasi dan mewajibkan kerja sama tersebut untuk memastikan pertukaran informasi yang lancar, investigasi bersama, dan upaya pemulihan aset yang terkoordinasi.
VII. Potensi Dampak terhadap Kepatuhan dan Penerimaan Pajak
UU Perampasan Aset berpotensi meminimalisir kerugian negara akibat korupsi. Perampasan aset juga dapat membantu memulihkan penerimaan negara yang hilang akibat penggelapan pajak. Kerja sama antara otoritas pajak dan anti korupsi dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara. Pemerintah menargetkan peningkatan rasio pajak hingga 15% pada tahun 2029 melalui berbagai strategi, termasuk peningkatan kepatuhan wajib pajak. Peningkatan rasio pajak penting untuk mengurangi ketergantungan pada utang. Rasio pajak Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara lain di Asia Pasifik. Peningkatan rasio pajak juga dapat dicapai dengan mengendalikan ekonomi bayangan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap penggunaan dana pajak. Implementasi UU Perampasan Aset diharapkan berdampak positif pada kepatuhan pajak korporasi dengan menciptakan efek jera yang signifikan terhadap penghindaran pajak. Keberhasilan pemulihan aset dari korupsi pajak akan secara langsung berkontribusi pada pengurangan kerugian negara dan berpotensi meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan. Meskipun tidak ada prediksi spesifik mengenai peningkatan rasio pajak dalam materi yang tersedia, kontribusi undang-undang ini terhadap basis pajak yang lebih luas dan kepatuhan yang lebih baik menunjukkan korelasi positif dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak.
VIII. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Pengesahan UU Perampasan Aset bukan hanya sekadar kebutuhan hukum, tetapi merupakan urgensi strategis bagi Indonesia untuk mempercepat pemulihan kerugian negara yang substansial akibat korupsi perpajakan korporasi, yang sering kali terkait dengan delik pidana berantai dan pencucian uang yang kompleks. Potensi undang-undang ini untuk memberikan efek jera yang lebih kuat, memperluas basis pemajakan, dan berkontribusi pada rasio pajak yang lebih tinggi menggarisbawahi peran pentingnya dalam memperkuat kesehatan fiskal Indonesia dan mempromosikan keadilan ekonomi.
Rekomendasi Kebijakan:
IX. Tabel Utama untuk Laporan
Fitur | Keterbatasan |
Fokus | Terutama pada penuntutan pidana, mengabaikan pemulihan aset. |
Syarat Perampasan | Memerlukan vonis pidana yang berkekuatan hukum tetap. |
Sanksi Pengganti | Memungkinkan pidana penjara sebagai alternatif pemulihan aset. |
Target Pemulihan Aset | Terutama menargetkan aset individu yang terpidana. |
Efisiensi Prosedural | Sering kali lambat dan menghadapi kerumitan prosedural. |
Mekanisme | Deskripsi |
Perampasan Aset Berbasis Non-Hukuman (In Rem) | Memungkinkan negara memulihkan aset berdasarkan bukti asal-usul ilegal, bahkan tanpa adanya vonis pidana. |
Kewenangan Pelacakan Aset yang Ditingkatkan | Memberdayakan penyidik dan penuntut umum untuk meminta dokumen dan informasi untuk pelacakan aset yang efektif. |
Prosedur Pembekuan dan Penyitaan yang Jelas | Menetapkan proses yang terperinci dan memiliki kepastian hukum untuk memblokir dan menyita aset. |
Regulasi Pengelolaan Aset | Menyediakan pedoman untuk penanganan dan pemeliharaan aset yang disita dengan benar. |
Potensi Perintah Kekayaan yang Tidak Dapat Dijelaskan (Unexplained Wealth Orders) | Mungkin mencakup ketentuan yang mewajibkan individu untuk menjelaskan sumber kekayaan mereka yang sah. |
Area Dampak | Potensi Hasil |
Kepatuhan Pajak Korporasi | Meningkat karena efek jera dari potensi kehilangan aset. |
Penerimaan Negara dari Pajak | Meningkat melalui pemulihan pajak yang dihindari dan pengurangan korupsi pajak. |
Rasio Pajak Indonesia | Potensi peningkatan karena basis pajak yang lebih luas dan kepatuhan yang lebih baik. |
Keadilan dalam Sistem Perpajakan | Meningkat dengan menargetkan dan menghukum korupsi pajak. |
Kepercayaan Publik pada Pemerintah | Kemungkinan meningkat dengan keberhasilan upaya anti-korupsi dan pemulihan aset. |
Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda
Share
Eksplor lebih dalam berita dan program khas fiskusnews.com