Proyek Baru (11)

Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset dalam Mempercepat Pemulihan Kerugian Negara Akibat Korupsi Korporasi Perpajakan di Indonesia

- Ekonomi

Monday, 21 April 2025 05:51 WIB

lt63bd3f0cbe2ed

Jakarta, fiskusnews.com:

I. Ringkasan Eksekutif

Urgensi legislasi Undang-Undang Perampasan Aset (UU Perampasan Aset) di Indonesia menjadi semakin krusial dalam upaya mempercepat pemulihan kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi perpajakan korporasi, yang sering kali melibatkan delik pidana berantai dan teknik pencucian uang yang canggih. Regulasi yang berlaku saat ini menghadapi kendala signifikan dalam melacak, membekukan, dan menyita aset hasil tindak pidana, yang mengakibatkan proses pemulihan aset menjadi lambat dan kurang efektif. UU Perampasan Aset yang komprehensif menjanjikan landasan hukum yang lebih kuat dan mekanisme yang lebih efisien untuk mengatasi tantangan ini. Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat memberikan efek jera yang lebih kuat terhadap pelaku korupsi melalui ancaman kehilangan aset, memperluas basis pemajakan negara dengan mengungkap skema penghindaran pajak yang kompleks, dan pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan rasio pajak di Indonesia. Implementasi yang efektif dari UU Perampasan Aset memerlukan kerja sama yang erat antar lembaga penegak hukum dan pemahaman yang mendalam mengenai tujuan serta mekanisme undang-undang tersebut.

II. Pendahuluan: Tantangan Korupsi Perpajakan Korporasi dan Pemulihan Aset di Indonesia

Korupsi perpajakan korporasi, yang ditandai dengan delik pidana berantai dan pencucian uang, menimbulkan kerugian besar bagi pendapatan negara dan stabilitas ekonomi Indonesia. Bentuk kejahatan keuangan ini sering kali melibatkan skema yang rumit dan tersembunyi dengan baik, yang dirancang untuk menghindari kewajiban pajak dalam skala besar. Hasil dari tindak pidana ini sering kali dicuci melalui transaksi keuangan dan struktur korporasi yang kompleks, sehingga menyulitkan pelacakan dan pemulihannya. Kerangka hukum yang ada di Indonesia, yang terutama bergantung pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan peraturan terkait lainnya, menunjukkan keterbatasan dalam menangani kejahatan yang canggih ini dan memastikan pengembalian aset yang dicuri ke negara. Keterbatasan ini mencakup kerumitan prosedural, fokus utama pada sanksi pidana daripada pemulihan aset, dan tantangan dalam pelacakan serta penyitaan aset lintas batas. Urgensi pembentukan UU Perampasan Aset yang khusus muncul dari kebutuhan untuk mengatasi kekurangan ini dan mengadopsi pendekatan yang lebih berorientasi pada aset dalam memerangi kejahatan keuangan.  

III. Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset: Mengatasi Kekurangan Saat Ini

A. Mempercepat Pemulihan Kerugian Negara

  1. Kendala UU Saat Ini (Limitations of Current Laws): Regulasi yang berlaku saat ini sering kali menemui kesulitan dalam melacak, membekukan, dan menyita aset yang berasal dari korupsi perpajakan korporasi dan pencucian uang, terutama ketika aset tersebut disembunyikan melalui struktur perusahaan yang rumit dan transaksi internasional [User Query]. Kejahatan dengan motif ekonomi, seperti korupsi dan pencucian uang, sering kali melibatkan dana yang besar dan metode yang canggih, sehingga sulit ditangani oleh penegak hukum. Pengembalian aset dari korupsi, terutama yang telah diintegrasikan di luar yurisdiksi hukum Indonesia, menghadapi hambatan yang signifikan. Bahkan pemulihan aset domestik pun bisa menjadi rumit. Selain itu, pembuktian tindak pidana korupsi di bawah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sering kali memakan waktu dan sulit, memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menyembunyikan aset.  
  2. UU Perampasan Aset sebagai Solusi (Asset Forfeiture Law as a Solution): UU Perampasan Aset yang komprehensif akan menyediakan landasan hukum yang lebih kuat dan mekanisme yang lebih efektif untuk melacak, membekukan, menyita, dan merampas aset yang dihasilkan dari korupsi perpajakan korporasi di sektor perpajakan [User Query]. Pembentukan UU Perampasan Aset merupakan salah satu cara bagi negara untuk memiliki aturan hukum yang mengikat dalam hal antisipasi penyamaran hasil tindak pidana maupun pengembalian aset ke negara. Sistem yang efektif dan efisien untuk menyita dan merampas hasil serta instrumen kejahatan sangat dibutuhkan. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset), dengan pendekatan in rem, menawarkan solusi yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan hukum yang ada. Pendekatan in rem ini berfokus pada aset itu sendiri sebagai subjek utama perkara, terlepas dari siapa pemiliknya.  

B. Memberikan Efek Jera yang Lebih Kuat

  1. Ancaman Kehilangan Aset (Threat of Asset Loss): Dengan adanya UU Perampasan Aset, korporasi yang terlibat dalam korupsi perpajakan dan pencucian uang akan menghadapi risiko kehilangan aset secara signifikan [User Query]. Cara paling efektif untuk memberantas kejahatan dengan motif ekonomi adalah dengan merampas hasil dan instrumen tindak pidana tersebut. Presiden Joko Widodo juga menekankan perlunya “memiskinkan” koruptor melalui perampasan aset, karena hukuman penjara saja dinilai tidak cukup memberikan efek jera. Pemulihan aset merupakan aspek penting dalam memerangi korupsi, selain pencegahan dan penindakan.  
  2. Mencegah Keberulangan (Preventing Recurrence): Perampasan aset yang efektif akan mengurangi insentif bagi korporasi untuk melakukan tindak pidana serupa di masa depan, karena keuntungan yang diperoleh secara ilegal akan dirampas [User Query]. Membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil kejahatannya memberikan peluang bagi mereka atau pihak terkait untuk menikmati keuntungan tersebut dan berpotensi melakukan kejahatan kembali. Jika keuntungan yang didapatkan dari korupsi dihilangkan, maka diharapkan motivasi pelaku untuk melakukan atau melanjutkan perbuatannya akan berkurang.  

C. Meningkatkan Basis Pemajakan

  1. Mengungkap Kejahatan Pajak Terstruktur (Uncovering Structured Tax Crimes): Korupsi korporasi di bidang perpajakan dengan delik pidana berantai dan pencucian uang sering kali melibatkan skema penghindaran pajak yang kompleks dan terstruktur. UU Perampasan Aset akan membantu aparat penegak hukum untuk membongkar skema ini secara lebih efektif [User Query]. Tujuan utama adalah untuk mematikan sumber daya kejahatan ekonomi dengan menyita hasil dan instrumennya. UU Perampasan Aset diharapkan dapat mencegah pelaku kejahatan ekonomi mengelabui aparat penegak hukum atau mempersulit proses penyitaan aset oleh negara.  
  2. Memastikan Kepatuhan Pajak (Ensuring Tax Compliance): Dengan penegakan hukum yang lebih kuat dan ancaman perampasan aset, korporasi akan lebih patuh dalam membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini akan memperluas basis pemajakan negara [User Query]. Kerja sama antara otoritas pajak dan otoritas anti korupsi dapat meningkatkan kepatuhan pajak dengan mengidentifikasi perilaku ketidakpatuhan dan indikator kejahatan pajak serta korupsi.  
  3. Mencegah Kebocoran Penerimaan Negara (Preventing Leakage of State Revenue): Tindak pidana korupsi di bidang perpajakan secara langsung mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak. UU Perampasan Aset akan membantu mencegah kebocoran ini dengan memberantas praktik-praktik ilegal yang merugikan keuangan negara [User Query]. Perampasan aset dapat membantu memulihkan kerugian negara akibat penggelapan pajak.  

D. Mendukung Peningkatan Rasio Pajak

  1. Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak (Increasing Taxpayer Compliance): Basis pemajakan yang lebih luas dan kepatuhan wajib pajak yang meningkat akan secara langsung berkontribusi pada peningkatan rasio pajak (tax ratio) Indonesia [User Query]. Strategi untuk meningkatkan rasio pajak termasuk peningkatan kepatuhan wajib pajak. Peningkatan rasio pajak juga dapat dicapai melalui pengendalian ekonomi bayangan dan peningkatan kepercayaan publik terhadap penggunaan dana pajak.  
  2. Menciptakan Keadilan dalam Sistem Perpajakan (Creating Fairness in the Tax System): Korupsi perpajakan menciptakan ketidakadilan karena sebagian pihak menghindari kewajiban membayar pajak secara benar, sementara pihak lain memikul beban yang lebih besar. UU Perampasan Aset akan membantu menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil [User Query]. Keadilan fiskal merupakan pilar penting dalam sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan, termasuk pencegahan penipuan dan penghindaran pajak.  
  3. Meningkatkan Kepercayaan Publik (Increasing Public Trust): Keberhasilan pemerintah dalam memberantas korupsi dan memulihkan kerugian negara, termasuk melalui UU Perampasan Aset, akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi negara dan sistem perpajakan. Hal ini dapat mendorong kepatuhan sukarela dalam pembayaran pajak [User Query]. Penguatan kerangka hukum untuk memerangi korupsi melalui UU Perampasan Aset dapat meningkatkan legitimasi pemerintah dan mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pajak dapat meningkatkan kepercayaan publik.  

E. Mengatasi Kompleksitas Delik Pidana Berantai dan Pencucian Uang

  1. Menargetkan Aset yang Disembunyikan (Targeting Hidden Assets): Delik pidana berantai dan pencucian uang bertujuan untuk menyembunyikan asal-usul aset hasil kejahatan. UU Perampasan Aset yang efektif harus memiliki mekanisme untuk melacak dan merampas aset yang telah dialihkan atau disamarkan melalui berbagai transaksi dan entitas korporasi [User Query]. Undang-undang ini berperan dalam mengantisipasi penyamaran hasil tindak pidana. Pencucian uang digunakan untuk menyembunyikan hasil korupsi sejak awal terjadinya tindak pidana tersebut.  
  2. Kerja Sama Lintas Lembaga (Cross-Agency Cooperation): Implementasi UU Perampasan Aset akan memerlukan kerja sama yang kuat antar lembaga penegak hukum, otoritas pajak, pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK), serta lembaga terkait lainnya. UU ini dapat memfasilitasi koordinasi yang lebih baik [User Query]. Kerja sama antara otoritas pajak dan otoritas anti korupsi penting untuk meningkatkan kepatuhan pajak. PPATK juga memiliki fungsi dalam kerja sama nasional dan internasional untuk mencegah serta memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme.  

IV. Mekanisme Utama dan Tujuan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset

A. Tujuan Utama

Tujuan utama dari UU Perampasan Aset adalah untuk mengembalikan kerugian negara. Undang-undang ini bertujuan untuk memungkinkan penyitaan dan perampasan hasil serta instrumen tindak pidana secara efektif dan efisien, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan dan hak-hak individu. Beberapa tujuan dan prinsip dasar RUU Perampasan Aset antara lain pengembalian kerugian negara, pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, perampasan aset tanpa putusan pengadilan dalam beberapa hal, perluasan tindak pidana yang dapat dikenakan perampasan aset, serta prosedur dan mekanisme penyitaan aset. RUU ini juga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pendekatan in rem dan konsep unexplained wealth. Selain itu, RUU Perampasan Aset dimaksudkan untuk membentuk suatu aturan baru mengenai mekanisme dalam melakukan perampasan aset milik seseorang yang diduga didapatkan dari hasil tindak pidana.  

B. Mekanisme Utama

  1. Perampasan Aset Berbasis Non-Hukuman (Non-Conviction Based Asset Forfeiture/In Rem): RUU ini memungkinkan perampasan atau penyitaan aset meskipun pelaku kejahatan belum dihukum oleh pengadilan dalam beberapa kasus. Pendekatan in rem fokus pada aset atau benda itu sendiri sebagai subjek utama dalam suatu perkara, terlepas dari siapa pemiliknya. Perampasan in rem adalah tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga diperoleh secara tidak sah. Mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan (Non-Conviction Based Asset Forfeiture/NCB) adalah mekanisme hukum yang memungkinkan aset milik negara yang telah diambil oleh pelaku kejahatan untuk dirampas kembali. Konsep hukum in rem memiliki pengertian “suatu penindakan terhadap benda”, sehingga yang dijadikan tujuan penindakan adalah bendanya bukan pelaku atau pemiliknya. NCB dapat menjadi solusi ketika terdakwa tidak hadir karena meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak diketahui keberadaannya.  
  2. Pelacakan, Pembekuan, Penyitaan, dan Pengelolaan Aset: RUU ini akan mengatur tata cara pemblokiran, penyitaan, dan perampasan aset sebagai standar acuan bagi aparat penegak hukum (APH). Perlu diatur pula prosedur pemblokiran, penyitaan, dan perampasan aset yang diduga berasal dari tindak pidana, serta mekanisme penelusuran aset. Tahapan pemulihan aset oleh Kejaksaan meliputi penelusuran, pemblokiran, penyitaan, perampasan, serta pengembalian aset. Dalam RUU Perampasan Aset, penyidik atau penuntut umum berwenang meminta dokumen untuk penelusuran aset dan dapat memerintahkan pemblokiran aset yang diduga kuat berasal dari tindak pidana. RUU ini juga akan mengatur mengenai pengelolaan aset hasil perampasan agar tetap terjaga nilainya.  

V. Perbandingan dengan Kerangka Hukum yang Berlaku Saat Ini (UU Tipikor dan Undang-Undang Terkait)

A. Keterbatasan Kerangka Hukum Saat Ini: Hukum pidana di Indonesia saat ini lebih berfokus pada pengungkapan tindak pidana, penemuan pelaku, dan penghukuman melalui pidana badan, sering kali mengabaikan pemulihan aset. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya menargetkan aset terpidana, padahal aset hasil korupsi sering disembunyikan melalui keluarga atau kerabat. Mekanisme pidana di bawah UU Tipikor memiliki keterbatasan, seperti adanya metode subsider (kurungan badan sebagai pengganti pembayaran aset hasil tindak pidana) yang dapat mengurangi efektivitas perampasan aset. Selain itu, penyitaan dibatasi hanya pada benda yang terkait langsung dengan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan saat ini, perampasan hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana terbukti bersalah di pengadilan. Peraturan saat ini belum mengakomodir secara khusus keadaan tertentu seperti tersangka yang tidak ditemukan, memiliki gangguan jiwa, atau tidak adanya ahli waris. Sulitnya pemulihan aset dalam tindak pidana korupsi juga dialami oleh negara lain, dan UNCAC bertujuan untuk mengatasi masalah ini. Mekanisme gugatan perdata dalam UU PTPK juga memiliki kelemahan tersendiri, seperti kurangnya aturan mengenai proses atau hukum acara gugatan perdata yang berkaitan dengan tindak pidana. Indonesia cenderung mengutamakan jalur pidana yang lebih fokus pada penghukuman pelaku daripada pengembalian aset.  

B. Peningkatan Kemampuan yang Ditawarkan oleh Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset: RUU Perampasan Aset diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum terkait mekanisme perampasan aset hasil korupsi di Indonesia dengan mengadopsi pendekatan in rem. RUU ini diharapkan menjadi solusi bagi kelemahan dalam sistem hukum Indonesia terkait perampasan aset, seperti penyelesaian yang lambat, proses penyitaan yang kaku, fokus penegakan hukum hanya pada pelaku, dan ketersediaan metode subsider. Paradigma in rem dalam RUU, seperti pada regulasi unexplained wealth di Australia, akan menimbulkan efisiensi dalam penindakan tindak pidana korupsi. RUU Perampasan Aset menjadi peluang dalam memberantas korupsi di Indonesia dengan adanya mekanisme perampasan aset secara penal maupun non penal (in rem). Dalam pengimplementasian RUU Perampasan Aset, pemerintah menegaskan bahwa mekanisme yang digunakan sama sekali tidak membuktikan kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu aset merupakan hasil kejahatan. RUU Perampasan Aset dapat mengoptimalkan konsep penegakan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan paradigma follow the money dan meminimalisir overcapacity lembaga pemasyarakatan karena tidak hanya fokus pada pidana badan. Pendekatan in rem dalam RUU Perampasan Aset memungkinkan perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berisi kesalahan dan pemberian hukuman bagi pelaku.  

VI. Peran Krusial Kerja Sama Lintas Lembaga

Kerja sama internasional penting untuk pemulihan aset, terutama aset yang berada di luar negeri. KPK telah melakukan berbagai bentuk kerja sama internasional, baik bilateral maupun multilateral, yang meliputi pertukaran informasi dan bantuan hukum timbal balik. Kerja sama antara otoritas pajak (DJP) dan otoritas anti korupsi (KPK) sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan pajak melalui pertukaran informasi mengenai perilaku ketidakpatuhan dan indikator kejahatan pajak serta korupsi. PPATK juga memiliki peran dalam kerja sama nasional dan internasional dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta pendanaan terorisme. Implementasi UU Perampasan Aset yang efektif, terutama dalam kasus korupsi perpajakan korporasi dengan elemen lintas batas dan pencucian uang, akan sangat bergantung pada kolaborasi yang kuat antara lembaga domestik seperti penegak hukum, otoritas pajak (DJP), PPATK, dan potensi kerja sama internasional dengan lembaga asing terkait. Undang-undang ini harus memfasilitasi dan mewajibkan kerja sama tersebut untuk memastikan pertukaran informasi yang lancar, investigasi bersama, dan upaya pemulihan aset yang terkoordinasi.  

VII. Potensi Dampak terhadap Kepatuhan dan Penerimaan Pajak

UU Perampasan Aset berpotensi meminimalisir kerugian negara akibat korupsi. Perampasan aset juga dapat membantu memulihkan penerimaan negara yang hilang akibat penggelapan pajak. Kerja sama antara otoritas pajak dan anti korupsi dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara. Pemerintah menargetkan peningkatan rasio pajak hingga 15% pada tahun 2029 melalui berbagai strategi, termasuk peningkatan kepatuhan wajib pajak. Peningkatan rasio pajak penting untuk mengurangi ketergantungan pada utang. Rasio pajak Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara lain di Asia Pasifik. Peningkatan rasio pajak juga dapat dicapai dengan mengendalikan ekonomi bayangan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap penggunaan dana pajak. Implementasi UU Perampasan Aset diharapkan berdampak positif pada kepatuhan pajak korporasi dengan menciptakan efek jera yang signifikan terhadap penghindaran pajak. Keberhasilan pemulihan aset dari korupsi pajak akan secara langsung berkontribusi pada pengurangan kerugian negara dan berpotensi meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan. Meskipun tidak ada prediksi spesifik mengenai peningkatan rasio pajak dalam materi yang tersedia, kontribusi undang-undang ini terhadap basis pajak yang lebih luas dan kepatuhan yang lebih baik menunjukkan korelasi positif dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak.  

VIII. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Pengesahan UU Perampasan Aset bukan hanya sekadar kebutuhan hukum, tetapi merupakan urgensi strategis bagi Indonesia untuk mempercepat pemulihan kerugian negara yang substansial akibat korupsi perpajakan korporasi, yang sering kali terkait dengan delik pidana berantai dan pencucian uang yang kompleks. Potensi undang-undang ini untuk memberikan efek jera yang lebih kuat, memperluas basis pemajakan, dan berkontribusi pada rasio pajak yang lebih tinggi menggarisbawahi peran pentingnya dalam memperkuat kesehatan fiskal Indonesia dan mempromosikan keadilan ekonomi.

Rekomendasi Kebijakan:

  • Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus memprioritaskan penyelesaian dan pengesahan RUU Perampasan Aset secepatnya. Berbagai sumber menyoroti diskusi yang sedang berlangsung dan urgensi yang diakui untuk undang-undang ini.  
  • Undang-undang yang disahkan harus secara eksplisit mencakup ketentuan mengenai perampasan aset berbasis non-hukuman (in rem) untuk secara efektif menargetkan dan memulihkan aset ilegal bahkan tanpa adanya hukuman pidana. Beberapa sumber menekankan pentingnya mekanisme ini.  
  • Undang-undang harus menetapkan prosedur yang jelas dan komprehensif untuk pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan, dan pengelolaan aset, memastikan kepastian hukum dan efisiensi bagi lembaga penegak hukum. Beberapa sumber menggarisbawahi kebutuhan ini.  
  • Legislasi harus mewajibkan dan memfasilitasi kerja sama yang kuat antar lembaga penegak hukum, otoritas pajak (DJP), PPATK, dan badan-badan terkait lainnya, termasuk ketentuan untuk berbagi informasi dan operasi gabungan. Beberapa sumber menyoroti pentingnya kolaborasi ini.  
  • Pemerintah harus berinvestasi dalam peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi penegak hukum dan pejabat peradilan mengenai implementasi UU Perampasan Aset yang baru, terutama mengenai kompleksitas pelacakan dan pemulihan aset dalam kasus korupsi perpajakan korporasi dan pencucian uang.
  • Upaya harus dilakukan untuk memperkuat mekanisme kerja sama internasional untuk pemulihan aset lintas batas, memanfaatkan perjanjian dan kesepakatan yang ada. Beberapa sumber menunjukkan pentingnya kolaborasi internasional.  
  • Kampanye kesadaran publik harus diluncurkan untuk mengedukasi masyarakat dan korporasi tentang pentingnya UU Perampasan Aset dalam memerangi korupsi dan mempromosikan tata kelola yang baik. Sumber menunjukkan pentingnya partisipasi publik.  
  • Implementasi undang-undang harus dipantau dan dievaluasi secara berkala untuk mengidentifikasi tantangan dan memastikan efektivitasnya dalam mencapai tujuannya.

IX. Tabel Utama untuk Laporan

  • Tabel 1: Keterbatasan Kerangka Hukum Saat Ini (UU Tipikor) dalam Pemulihan Aset
FiturKeterbatasan
FokusTerutama pada penuntutan pidana, mengabaikan pemulihan aset.
Syarat PerampasanMemerlukan vonis pidana yang berkekuatan hukum tetap.
Sanksi PenggantiMemungkinkan pidana penjara sebagai alternatif pemulihan aset.
Target Pemulihan AsetTerutama menargetkan aset individu yang terpidana.
Efisiensi ProseduralSering kali lambat dan menghadapi kerumitan prosedural.
  • Tabel 2: Mekanisme Utama Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset
MekanismeDeskripsi
Perampasan Aset Berbasis Non-Hukuman (In Rem)Memungkinkan negara memulihkan aset berdasarkan bukti asal-usul ilegal, bahkan tanpa adanya vonis pidana.
Kewenangan Pelacakan Aset yang DitingkatkanMemberdayakan penyidik dan penuntut umum untuk meminta dokumen dan informasi untuk pelacakan aset yang efektif.
Prosedur Pembekuan dan Penyitaan yang JelasMenetapkan proses yang terperinci dan memiliki kepastian hukum untuk memblokir dan menyita aset.
Regulasi Pengelolaan AsetMenyediakan pedoman untuk penanganan dan pemeliharaan aset yang disita dengan benar.
Potensi Perintah Kekayaan yang Tidak Dapat Dijelaskan (Unexplained Wealth Orders)Mungkin mencakup ketentuan yang mewajibkan individu untuk menjelaskan sumber kekayaan mereka yang sah.
  • Tabel 3: Potensi Dampak UU Perampasan Aset terhadap Kepatuhan dan Penerimaan Pajak
Area DampakPotensi Hasil
Kepatuhan Pajak KorporasiMeningkat karena efek jera dari potensi kehilangan aset.
Penerimaan Negara dari PajakMeningkat melalui pemulihan pajak yang dihindari dan pengurangan korupsi pajak.
Rasio Pajak IndonesiaPotensi peningkatan karena basis pajak yang lebih luas dan kepatuhan yang lebih baik.
Keadilan dalam Sistem PerpajakanMeningkat dengan menargetkan dan menghukum korupsi pajak.
Kepercayaan Publik pada PemerintahKemungkinan meningkat dengan keberhasilan upaya anti-korupsi dan pemulihan aset.

Reporter: Marshanda Gita – Pertapsi Muda

Share

Berita Lainnya

Rekomendasi untuk Anda

15555188718693592081

Tag Terpopuler

# Jokowi
# Prabowo
# Presiden RI

Berita Terpopuler

Video

Berita Lainnya

Foto

Rekomendasi Untuk Anda