Proyek Baru (11)

Penegakan Hukum Pidana Pajak yang Lebih Adil dan Selektif

- Ekonomi

Tuesday, 08 April 2025 03:26 WIB

Jakarta, fiskusnews.com:

“Hukum pidana tidak boleh menjadi alat balas dendam, tetapi harus digunakan sebagai ultimum remedium—jalan terakhir ketika cara-cara administratif tidak lagi memadai.”— Sudarto, Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Diponegoro.

Penegakan hukum pidana pajak di Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Salah satu isu yang mengemuka adalah belum terbangunnya jembatan yang sistematis antara kegiatan pemeriksaan pajak—yang mencakup seluruh jenis pajak—dengan eskalasi menuju penegakan hukum berupa pemeriksaan bukti permulaan (bukper) maupun penyidikan tindak pidana perpajakan (TPP).

Masalah Kesenjangan Proses
Dalam praktiknya, tidak semua temuan pemeriksaan yang mengindikasikan potensi pelanggaran pidana dapat langsung ditindaklanjuti melalui bukper atau penyidikan. Sebagian besar proses masih berakhir pada koreksi administratif tanpa kejelasan apakah pelanggaran tersebut tergolong tax avoidance atau sudah masuk ranah tax evasion yang memerlukan penegakan hukum.
Hal ini menyebabkan dua dampak besar: pertama, ketidakadilan bagi wajib pajak yang sudah melakukan perbaikan secara sukarela; kedua, kebocoran potensi penerimaan negara dari tindak pidana perpajakan yang lolos dari proses hukum.
Lebih jauh lagi, situasi ini juga memperlihatkan lemahnya mekanisme risk assessment dan koordinasi antara hasil pemeriksaan dan upaya penegakan hukum.

Peran Sistem CRM dalam Penegakan Pajak Modern
Sebagai respon terhadap tantangan tersebut, DJP sejak beberapa tahun terakhir telah membangun dan mengembangkan sistem Compliance Risk Management (CRM). Sistem ini merupakan instrumen manajemen risiko berbasis data dan analisis yang dirancang untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menilai tingkat risiko kepatuhan Wajib Pajak.

CRM memanfaatkan berbagai data internal dan eksternal (seperti data transaksi, perbankan, kepemilikan aset, dan laporan pihak ketiga) untuk memetakan profil risiko Wajib Pajak. Berdasarkan penilaian risiko tersebut, otoritas pajak dapat menentukan intervensi yang proporsional, mulai dari edukasi, pengawasan, pemeriksaan, hingga tindakan penegakan hukum. Seharusnya seluruh materi aktivitas yang dilakukan pemilik probis kepada Wajib Pajak, dicatat, diinvetnarisir, dan dipetakan ke dalam CRM.
CRM saat ini menjadi salah satu pilar penting dalam reformasi pengawasan DJP. Namun demikian, pengembangan sistem ini perlu dijembatani dengan proses hukum yang selaras. Salah satu tantangan besar adalah belum adanya alur yang eksplisit dari hasil pemetaan risiko CRM menuju bukti permulaan atau penyidikan. Padahal, informasi dari CRM dapat menjadi modal awal yang sangat kaya untuk mendeteksi indikasi tax fraud dan tax crime secara lebih dini.

Kerangka Hukum Pidana Pajak dan Ruang Ultimum Remedium
UU KUP telah menyediakan ruang untuk mekanisme ultimum remedium. Pasal 8 ayat (3) memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menghindari proses pidana melalui pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan. Namun, ketentuan ini terbatas hanya pada pelanggaran tertentu (Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) huruf c dan d).

Di sisi lain, Pasal 44B UU KUP membuka peluang lebih luas—penghentian penyidikan atas seluruh jenis tindak pidana pajak, termasuk Pasal 39A. Ketimpangan cakupan ini menimbulkan ketidaksesuaian kebijakan dalam pendekatan ultimum remedium yang seharusnya bersifat menyeluruh dan mendorong pemulihan kerugian negara.

Pembelajaran Internasional: Kasus Malaysia
Dari kegiatan pelatihan IRBM-IBFD di Malaysia Tahun 2014 silam, dapat disimpulkan bahwa penguatan penegakan hukum membutuhkan koordinasi erat antara otoritas pajak, aparat penegak hukum, dan lembaga keuangan. Di Malaysia, sistem intelijen pajak bahkan terintegrasi dengan kerangka Anti-Money Laundering (AML), memungkinkan penyidikan terhadap pelanggaran pajak yang juga menjadi predicate crime TPPU.
Tiga prinsip penting dapat diadopsi:
• Melibatkan penuntut sejak awal penyidikan untuk penyusunan dakwaan yang solid.
• Pelatihan menyeluruh bagi hakim dan aparat penegak hukum terkait modus pelanggaran pajak.
• Penguatan kerja sama kelembagaan dan sistem informasi intelijen fiskal.

Simpulan dan Rekomendasi
CRM telah membuka babak baru dalam pengawasan kepatuhan berbasis risiko. Namun, keberadaannya belum sepenuhnya terhubung dengan proses penegakan hukum yang responsif dan terstruktur.

Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis:
• Mengembangan SOP dan petnjuk teknis yang menjembatani hasil CRM maupun pemeriksaan dengan proses bukper dan penyidikan.
• Mengintegrasikan informasi CRM sebagai early evidence dalam penyidikan pidana pajak.
• Meninjau kembali ruang lingkup ultimum remedium agar tidak sempit dan diskriminatif.
• Mendorong interoperabilitas antar sistem dan lembaga penegak hukum.

Sudah saatnya penegakan pidana pajak mengarah pada compliance-based enforcement—mengutamakan pencegahan dan koreksi, namun tetap tegas terhadap pelanggaran serius. Kombinasi CRM, penegakan hukum selektif, dan pendekatan ultimum remedium akan menjadi fondasi penegakan hukum pajak yang adil, efisien, dan berintegritas.

Didy Supriyadi
Penyuluh Pajak Ahli Madya
Kanwil DJP Wajib Pajak Besar
Catatan: Tulisan merupakan pendapat pribadi.

Share

Berita Lainnya

Rekomendasi untuk Anda

15555188718693592081

Tag Terpopuler

# #TAX AVOIDANCE
# #TAE
# #TAX ACCOUNTING EQUATION
# #TAX FRAUD
# #TAX EVASION

Berita Terpopuler

Video

Berita Lainnya

Foto

Rekomendasi Untuk Anda