Penanganan Manipulasi Perpajakan oleh Korporasi pada Tindak Pidana Pajak dengan Perbuatan Pencucian Uang: Studi Kasus Industri Rokok di Indonesia
- Ekonomi
Tuesday, 01 April 2025 00:41 WIB
1. Pendahuluan
Dalam memahami berbagai fenomena hukum yang terjadi di Indonesia, prinsip das sollen dan das sein memegang peranan penting. Das sollen merujuk pada tatanan normatif, yaitu seperangkat kaidah dan peraturan perundang-undangan yang seharusnya dipatuhi oleh setiap individu dan badan hukum. Dalam konteks kejahatan finansial dan kepatuhan regulasi, das sollen mencakup undang-undang dan peraturan yang dirancang untuk mencegah dan memberantas tindak pidana seperti penggelapan pajak dan pencucian uang. Di sisi lain, das sein menggambarkan realitas atau fakta yang terjadi di lapangan, yang terkadang menunjukkan adanya kesenjangan atau penyimpangan dari ideal yang ditetapkan oleh hukum. Kesenjangan antara das sollen dan das sein inilah yang seringkali menjadi fokus analisis hukum, terutama dalam mengidentifikasi potensi pelanggaran dan mencari solusi untuk menegakkan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.
Pengamatan terhadap fenomena hukum dalam industri rokok di Indonesia mengungkapkan adanya praktik yang menarik perhatian, khususnya terkait dengan munculnya apa yang oleh penulis disebut sebagai “virtual entity” dalam komunitas perdagangan eceran rokok. Komunitas-komunitas seperti Gudang Garam Strategic Partnership (GGSP), Djarum Retail Partnership (DRP), dan Sampoerna Retail Community (SRC) merupakan contoh dari entitas semu ini, yang beroperasi di tingkat pengecer, menghubungkan produsen rokok besar dengan warung-warung kecil sebagai penjual akhir kepada konsumen. Keberadaan “virtual entity” ini menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas hukum, terutama dalam kaitannya dengan kewajiban perpajakan dan potensi terjadinya tindak pidana pencucian uang. Meskipun “virtual entity” ini tidak memiliki status badan hukum yang formal, perannya sebagai perantara dalam rantai distribusi rokok, yang melibatkan transaksi tunai dalam jumlah besar, membuka peluang untuk praktik penghindaran pajak dan pencucian uang yang perlu dianalisis lebih lanjut.
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam implikasi hukum dan potensi kejahatan finansial terkait dengan manipulasi perpajakan oleh korporasi dalam industri rokok di Indonesia, dengan fokus pada hubungan antara penggelapan pajak dan tindak pidana pencucian uang. Laporan ini akan meneliti kerangka hukum yang relevan, praktik-praktik industri yang terjadi, dan tindakan regulasi yang telah diambil oleh pihak berwenang untuk mengatasi isu-isu ini. Selain itu, laporan ini juga akan memberikan rekomendasi untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan finansial dalam sektor ini.
2. Kerangka Hukum Pencucian Uang dan Penggelapan Pajak di Indonesia
2.1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) merupakan landasan hukum utama dalam upaya memerangi praktik pencucian uang di Indonesia. Dalam undang-undang ini, pencucian uang didefinisikan sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU TPPU. Lebih lanjut, UU TPPU mengidentifikasi tiga tahapan utama dalam proses pencucian uang, yaitu penempatan (placement), transfer atau pengalihan (layering), dan penggunaan atau pengintegrasian dana haram ke dalam sistem keuangan yang sah (integration). Pasal 3, 4, dan 5 UU TPPU secara spesifik merinci perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana pencucian uang, termasuk menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
Salah satu aspek krusial dalam UU TPPU adalah perluasan cakupan tindak pidana asal (predicate offenses) yang hasil kejahatannya dapat menjadi subjek pencucian uang. Undang-undang ini secara tegas mencantumkan tindak pidana di bidang perpajakan sebagai salah satu dari tindak pidana asal tersebut . Pasal 2 ayat (1) huruf v UU TPPU secara eksplisit menyatakan bahwa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana di bidang perpajakan termasuk dalam kategori harta yang dapat menjadi asal dari tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, apabila suatu korporasi terbukti melakukan penggelapan pajak, maka hasil dari penggelapan tersebut dapat menjadi dasar untuk menjerat pelaku dengan pasal-pasal pencucian uang jika terdapat upaya lebih lanjut untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana tersebut.
Lebih lanjut, Pasal 69 UU TPPU memberikan landasan hukum yang signifikan dalam pemberantasan pencucian uang dengan menyatakan bahwa untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Ketentuan ini memungkinkan penegak hukum untuk menuntut pelaku pencucian uang meskipun tindak pidana asalnya belum atau tidak dapat dibuktikan secara terpisah. Hal ini sangat relevan dalam kasus-kasus kompleks seperti penggelapan pajak yang melibatkan banyak transaksi dan pihak, di mana pembuktian tindak pidana asal bisa menjadi tantangan tersendiri. Dengan adanya Pasal 69, fokus penyidikan dan penuntutan dapat lebih diarahkan pada upaya menyembunyikan atau mengalirkan dana hasil kejahatan, tanpa harus menunggu pembuktian sempurna atas tindak pidana perpajakannya.
2.2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) beserta perubahannya, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mengatur mengenai kewajiban perpajakan, prosedur administrasi, serta sanksi-sanksi bagi pelanggaran di bidang perpajakan. Beberapa pasal dalam UU KUP secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penggelapan pajak dan penghindaran pajak, beserta sanksi pidana dan administratif yang dapat dikenakan. Pasal 38 UU KUP mengatur mengenai sanksi pidana bagi Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara. Sanksi yang dapat dikenakan berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau denda paling tinggi dua kali jumlah pajak yang terutang .
Pasal 39 UU KUP mengatur sanksi pidana yang lebih berat bagi Wajib Pajak yang dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian pada negara di bidang perpajakan. Tindakan-tindakan tersebut meliputi tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tidak menyampaikan SPT, menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, memperlihatkan pembukuan palsu, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. Sanksi yang dapat dikenakan berupa pidana penjara paling lama tiga tahun dan/atau denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang yang kurang atau tidak dibayar . Pasal 39A secara khusus mengatur mengenai sanksi pidana bagi pihak yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Selain sanksi pidana, UU KUP juga mengatur mengenai sanksi administratif berupa bunga dan denda untuk berbagai pelanggaran, seperti keterlambatan pembayaran pajak atau kekurangan pembayaran pajak berdasarkan hasil pemeriksaan . Pasal 8 ayat (3) UU KUP memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dengan kemauan sendiri sebelum penyidikan dimulai, dengan syarat melunasi kekurangan pembayaran pajak beserta denda administrasi sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar . Lebih lanjut, Pasal 44B UU KUP memungkinkan Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas permintaan Menteri Keuangan, setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara beserta sanksi administratif berupa denda dengan besaran tertentu. Kerangka hukum yang komprehensif ini menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberantas penggelapan dan penghindaran pajak, yang juga menjadi landasan penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari kejahatan perpajakan.
3. Fenomena Komunitas Perdagangan Eceran Rokok di Indonesia
Struktur operasional dan hubungan antara produsen rokok besar dan pengecer kecil dalam komunitas perdagangan eceran rokok di Indonesia, seperti GGSP, DRP, dan SRC, menunjukkan adanya pola kemitraan yang strategis namun juga berpotensi menimbulkan kerumitan dalam hal akuntabilitas hukum. Gudang Garam Strategic Partnership (GGSP) merupakan program kemitraan dari PT Gudang Garam yang bertujuan untuk memperkuat jaringan distribusi dan promosi produk mereka di tingkat pengecer. Program ini cenderung memberikan bantuan berupa spanduk merek, rak pajangan, dan terkadang produk rokok gratis kepada warung-warung kecil yang bersedia menjadi mitra. Struktur operasional GGSP dianggap kurang terstruktur dibandingkan dengan program serupa dari produsen lain.
Djarum Retail Partnership (DRP) adalah program kemitraan dari PT Djarum yang juga berfokus pada penguatan merek dan penjualan di tingkat eceran. Program ini seringkali melibatkan pengecatan toko dengan warna dan desain khas Djarum, serta permintaan kepada pengecer untuk menampilkan bungkus rokok kosong produk Djarum. DRP menawarkan kontrak kemitraan dengan jangka waktu 6 bulan atau 1 tahun . Sementara itu, Sampoerna Retail Community (SRC) merupakan program yang lebih komprehensif dari PT HM Sampoerna Tbk. Selain memberikan spanduk dan rak pajangan, SRC juga menawarkan penataan ulang toko, pengecatan dengan warna merek Sampoerna, pelatihan sistem pemasaran, dan bahkan aplikasi seluler “Ayo SRC”. SRC juga memiliki sistem penghargaan bertingkat bagi para mitranya.
Konsep “virtual entity” yang diungkapkan oleh pengguna merujuk pada keberadaan komunitas-komunitas ini sebagai entitas yang memiliki ciri dan identitas merek yang kuat di tingkat pengecer, namun tidak memiliki status badan hukum yang terpisah dari pemilik warung-warung individu. Kemitraan ini didasarkan pada perjanjian antara produsen rokok besar dan pemilik warung, yang biasanya dijalankan oleh tenaga pemasaran dari perusahaan rokok. Meskipun komunitas ini memiliki nama dan logo yang dikenal oleh konsumen, secara hukum, transaksi penjualan rokok tetap terjadi antara pemilik warung dan pembeli. Akibatnya, “virtual entity” ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas aktivitas penjualan rokok karena ketiadaan legal standing sebagai subjek hukum yang mandiri. Struktur ini menciptakan lapisan perantara dalam rantai distribusi yang dapat mempersulit penelusuran tanggung jawab hukum, terutama terkait dengan potensi pelanggaran perpajakan yang mungkin timbul dari transaksi di tingkat pengecer.
4. Risiko Transaksi Tunai dalam Industri Rokok Eceran
Prevalensi transaksi tunai dalam industri rokok eceran di Indonesia menimbulkan risiko signifikan terkait dengan potensi pelaporan pendapatan yang tidak akurat dan penghindaran pajak. Seperti yang dikemukakan oleh pengguna, pembelian rokok eceran, baik per bungkus maupun per batang, umumnya tidak memerlukan bukti pembelian seperti kuitansi, faktur, atau faktur pajak. Ketiadaan dokumentasi formal untuk setiap transaksi penjualan di tingkat konsumen akhir ini menciptakan peluang bagi para penjual, terutama warung-warung kecil, untuk tidak melaporkan seluruh pendapatan penjualan mereka. Volume transaksi tunai harian yang tinggi di ribuan titik penjualan eceran di seluruh Indonesia dapat mengakibatkan akumulasi dana tunai dalam jumlah besar di tingkat distributor, yang oleh pengguna diistilahkan sebagai “dirty money”.
Struktur “virtual entity” dapat memperburuk risiko ini. Sebagai perantara antara distributor utama dan pengecer akhir, “virtual entity” tidak secara langsung melakukan penjualan kepada konsumen. Namun, keberadaannya dapat memfasilitasi potensi underreporting pendapatan di tingkat distributor. Karena konsumen akhir tidak memerlukan bukti pembelian, perusahaan distributor mungkin tergoda untuk tidak melaporkan penjualan sebenarnya kepada para pengecer yang melakukan pembayaran secara tunai. Hubungan antara distributor dan pengecer dalam kerangka “virtual entity” seringkali bersifat informal dan didasarkan pada kesepakatan kemitraan untuk tujuan pemasaran dan distribusi, bukan pada mekanisme pelaporan keuangan yang ketat untuk setiap transaksi penjualan. Dengan demikian, “virtual entity” dapat menjadi “jembatan” yang memungkinkan distributor untuk menghindari pelaporan transaksi tunai dalam jumlah besar kepada otoritas pajak, karena transaksi tersebut dianggap sebagai bagian dari operasional “virtual entity” yang tidak memiliki kewajiban pelaporan formal . Meskipun PPATK memiliki perhatian terhadap laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) dalam konteks anti-pencucian uang , mekanisme untuk memastikan pelaporan yang akurat dari setiap transaksi tunai di seluruh rantai distribusi rokok tetap menjadi tantangan.
5. Peran “Back-to-Back Loans” dalam Penghindaran Pajak dan Pencucian Uang
Konsep “back-to-back loan” atau kredit berantai (B2B credit) merupakan skema transaksi keuangan di mana suatu perusahaan menyimpan dana di bank, dan kemudian bank tersebut memberikan pinjaman kembali kepada perusahaan dengan jumlah yang serupa, dengan dana yang disimpan sebagai jaminan deposito. Skema ini, seperti yang dijelaskan oleh pengguna, berpotensi digunakan untuk tujuan penghindaran pajak dan bahkan pencucian uang, terutama dalam konteks industri rokok di Indonesia yang memiliki arus kas tunai yang besar. Pengguna menggambarkan bagaimana “uang kotor” hasil penjualan eceran rokok yang tidak dilaporkan dapat disalurkan melalui skema hutang ini. Perusahaan distributor dapat menyimpan dana tunai yang tidak dilaporkan di bank dan kemudian mengambil pinjaman dengan jumlah yang sama. Dana pinjaman ini kemudian dapat dicatat sebagai pendapatan yang sah, sementara dana tunai yang sebenarnya merupakan hasil penjualan tetap tidak terlacak dan tidak dikenakan pajak. Pembayaran kembali pinjaman kemudian dapat dilakukan dengan “uang kotor” tersebut, sehingga mengubah karakteristik dana dari pendapatan kena pajak menjadi pelunasan hutang yang tidak dikenakan pajak.
Dalam praktiknya, skema “back-to-back loan” ini dapat dilakukan dengan membuat dua perjanjian pinjaman yang berbeda dalam waktu yang berdekatan. Perjanjian pertama, dengan nomor yang lebih kecil, mungkin tidak mencantumkan klausula jaminan deposito dan dapat ditunjukkan kepada petugas pajak saat pemeriksaan. Sementara itu, perjanjian kedua, yang dibuat satu hari setelahnya dengan nomor yang lebih besar, akan mencantumkan jaminan deposito. Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk menyamarkan transaksi sebenarnya dan memberikan kesan adanya pinjaman modal kerja biasa . Pengguna berpendapat bahwa skema transaksi hutang ini kemungkinan besar tidak akan lulus uji tujuan bisnis (Business Purpose Test) karena tidak memiliki urgensi bisnis yang jelas bagi perusahaan rokok yang kegiatan utamanya adalah penjualan rokok dengan perputaran uang yang cepat. Tujuan utama dari skema ini tampaknya adalah untuk melakukan reklasifikasi catatan akuntansi, mengubah penerimaan uang hasil penjualan yang merupakan objek pajak menjadi dana hasil pencairan hutang yang bukan objek pajak . Selain penghindaran pajak, skema ini juga berpotensi digunakan dalam tahap layering pencucian uang, di mana dana hasil tindak pidana disamarkan melalui serangkaian transaksi keuangan yang kompleks sehingga sulit untuk ditelusuri asal-usulnya.
6. Penerapan “Business Purpose Test” dalam Peraturan Perpajakan Indonesia
Konsep “Business Purpose Test” atau uji tujuan bisnis merupakan prinsip dalam peraturan perpajakan yang digunakan oleh otoritas pajak untuk mengevaluasi legitimasi suatu transaksi keuangan perusahaan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa transaksi tersebut memiliki substansi komersial yang nyata dan tidak semata-mata ditujukan untuk mendapatkan keuntungan pajak. Uji ini sering diterapkan dalam kasus-kasus restrukturisasi perusahaan seperti merger, akuisisi, pemekaran usaha, atau pengalihan aset, di mana perusahaan berupaya menggunakan nilai buku aset untuk tujuan perpajakan . Untuk dapat menggunakan nilai buku, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dan melampirkan berbagai dokumen, termasuk surat pernyataan yang menerangkan bahwa transaksi tersebut memenuhi persyaratan tujuan bisnis.
Kriteria yang digunakan dalam “Business Purpose Test” umumnya mencakup penilaian apakah transaksi tersebut bertujuan untuk menciptakan sinergi usaha yang kuat, memperkuat struktur permodalan, dan tidak dilakukan semata-mata untuk menghindari pajak . Wajib Pajak juga perlu menunjukkan bahwa kegiatan usaha sebelum dan sesudah transaksi akan tetap berjalan dalam jangka waktu tertentu, dan aset yang dialihkan tidak akan dipindahtangankan dalam waktu dekat. Dalam konteks skema “back-to-back loan” yang dijelaskan oleh pengguna dalam industri rokok, kemungkinan besar transaksi ini tidak akan memenuhi “Business Purpose Test”. Alasan utamanya adalah karena kegiatan utama perusahaan rokok adalah produksi dan penjualan rokok, yang menghasilkan perputaran kas yang relatif cepat. Penggunaan skema pinjaman berulang untuk operasional sehari-hari, di mana dana pinjaman berasal dari dana perusahaan sendiri yang dijaminkan, tidak menunjukkan adanya kebutuhan bisnis yang mendesak atau tujuan komersial yang jelas selain untuk mengurangi beban pajak. Upaya untuk mereklasifikasi pendapatan penjualan sebagai dana pinjaman yang tidak dikenakan pajak juga mengindikasikan bahwa tujuan utama dari skema ini adalah penghindaran pajak, yang bertentangan dengan prinsip “Business Purpose Test”.
7. Praktik Penerbitan dan Penggunaan Pita Cukai Rokok
Pita cukai merupakan tanda pelunasan cukai yang wajib dilekatkan pada kemasan rokok yang dijual secara legal di Indonesia . Sistem pita cukai bertujuan untuk mengamankan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau dan mengendalikan peredaran rokok. Namun, praktik penerbitan dan penggunaan pita cukai juga rentan terhadap penyalahgunaan, termasuk jual beli pita cukai ilegal dan penggunaan pita cukai yang tidak sesuai. Pengguna menyoroti adanya fenomena pendirian perusahaan rokok (PR) kecil di daerah sentra perajin rokok Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dicurigai didirikan hanya untuk mendapatkan hak menebus pita cukai. Pita cukai yang seharusnya digunakan oleh PR kecil ini diduga diperjualbelikan atau digunakan oleh perusahaan rokok besar yang mungkin ingin menghindari pembayaran cukai yang lebih tinggi. Pengguna juga mencatat bahwa pita cukai untuk perusahaan rokok besar tidak memiliki nama atau kode PR yang spesifik, berbeda dengan pita cukai untuk PR kecil yang jelas mencantumkan identitas pemiliknya. Hal ini berpotensi memfasilitasi penggunaan pita cukai yang tidak sesuai atau bahkan palsu pada produk rokok yang beredar di pasaran.
Praktik jual beli pita cukai di pasar gelap telah terungkap dalam berbagai investigasi . Pita cukai palsu dibuat dengan meniru fitur keamanan pita cukai asli, meskipun ahli dapat mengidentifikasinya. Selain itu, pita cukai asli yang diperoleh secara legal juga diperdagangkan secara ilegal. Modus operandi yang sering terjadi adalah rokok dari suatu perusahaan ditemukan menggunakan pita cukai perusahaan lain, yang dikategorikan sebagai rokok ilegal oleh Bea Cukai. Praktik salah personalisasi pita cukai ini menunjukkan adanya upaya untuk menghindari pembayaran cukai yang seharusnya atau untuk mengedarkan rokok secara ilegal. Peredaran rokok tanpa pita cukai atau dengan pita cukai palsu merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana dan denda . Struktur “virtual entity” dalam distribusi rokok dapat menjadi jalur potensial untuk mengedarkan rokok dengan pita cukai yang tidak sesuai atau ilegal, karena pengawasan terhadap ribuan warung kecil yang tergabung dalam komunitas ini bisa menjadi lebih sulit dibandingkan dengan pengawasan terhadap distributor besar atau pabrikan.
8. Tindakan dan Regulasi Otoritas Pajak dan Bea Cukai Indonesia
Otoritas pajak (Direktorat Jenderal Pajak) dan bea cukai (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) di Indonesia telah mengambil berbagai tindakan dan mengeluarkan regulasi untuk memerangi penghindaran pajak dan pencucian uang dalam industri rokok. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan reformasi internal dan mengeluarkan berbagai peraturan serta kebijakan untuk memperkuat rezim anti pencucian uang, termasuk kerjasama dengan PPATK dan aparat penegak hukum lainnya . DJP juga melakukan penilaian risiko kejahatan pajak, termasuk yang terkait dengan industri rokok. Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki peran utama dalam pengawasan peredaran rokok ilegal dan pemalsuan pita cukai. DJBC telah melakukan penilaian risiko sektoral terkait dengan kepabeanan, cukai, dan pembawaan uang tunai, yang mencakup risiko di sektor cukai seperti penjualan barang kena cukai tanpa pita cukai atau dengan pita cukai palsu.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengawasi peredaran rokok ilegal, termasuk peningkatan pengawasan dan penindakan, pengawasan di wilayah perbatasan dan platform online, kerjasama internasional, edukasi masyarakat, pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk penegakan hukum, dan sinergi dengan aparat penegak hukum lainnya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143 Tahun 2023 juga mengatur tata cara pemungutan, pemotongan, dan penyetoran pajak rokok, menunjukkan upaya berkelanjutan dalam regulasi sektor ini . Meskipun demikian, fenomena rokok ilegal dan potensi penghindaran pajak melalui skema-skema seperti yang dijelaskan oleh pengguna masih terjadi, menunjukkan bahwa efektivitas langkah-langkah ini masih perlu ditingkatkan. Peningkatan tarif cukai rokok juga dilaporkan berkontribusi pada peningkatan konsumsi rokok ilegal, yang menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas. Bea Cukai juga secara aktif melakukan penindakan terhadap pemalsuan pita cukai sebagai upaya untuk memberikan efek jera. Namun, kompleksitas rantai distribusi dan potensi penyalahgunaan dalam sistem pita cukai memerlukan pengawasan yang lebih ketat dan inovatif.
9. Kesimpulan dan Rekomendasi
Analisis dalam laporan ini menunjukkan adanya potensi risiko penghindaran pajak dan pencucian uang yang signifikan dalam struktur “virtual entity” pada industri rokok eceran di Indonesia. Kesenjangan antara das sollen (kerangka hukum yang melarang penggelapan pajak dan pencucian uang) dan das sein (praktik di lapangan, termasuk pembentukan komunitas ritel semu dan transaksi tunai yang dominan) mengindikasikan adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh korporasi untuk memanipulasi perpajakan. Penggunaan skema “back-to-back loan” untuk menyamarkan pendapatan dan potensi penyalahgunaan sistem pita cukai semakin memperkuat kekhawatiran ini. Meskipun otoritas pajak dan bea cukai telah mengambil berbagai tindakan regulasi dan penegakan hukum, kompleksitas isu ini memerlukan upaya yang lebih terarah dan komprehensif.
Untuk mengatasi masalah ini secara efektif, beberapa rekomendasi dapat diajukan kepada pihak-pihak terkait:
Penguatan Kerangka Hukum: Pemerintah perlu mempertimbangkan amandemen terhadap UU KUP dan UU TPPU untuk secara spesifik menangani risiko penghindaran pajak dan pencucian uang yang terkait dengan struktur distribusi yang kompleks seperti “virtual entity”. Perlu juga dipertimbangkan mekanisme untuk meningkatkan akuntabilitas hukum dari entitas-entitas semacam ini, meskipun tanpa status badan hukum formal.
Peningkatan Pengawasan Kemitraan Ritel: Otoritas perlu meningkatkan persyaratan transparansi untuk perjanjian antara produsen rokok besar dan pengecer kecil. Implementasi persyaratan pelaporan yang lebih ketat untuk penjualan dan transaksi keuangan dalam jaringan ini juga diperlukan.
Peningkatan Pengawasan Transaksi Keuangan: Direktorat Jenderal Pajak perlu mengembangkan pedoman audit khusus untuk industri rokok, dengan fokus pada risiko transaksi tunai dan potensi penyalahgunaan instrumen keuangan seperti “back-to-back loan”. Penerapan “Business Purpose Test” yang lebih ketat terhadap transaksi keuangan dalam industri ini juga krusial. Selain itu, perlu didorong atau bahkan diwajibkan penggunaan sistem pembayaran digital untuk mengurangi ketergantungan pada transaksi tunai di tingkat eceran.
Pemberantasan Kegiatan Ilegal terkait Pita Cukai: Pemerintah perlu mengimplementasikan sistem pelacakan pita cukai yang lebih kuat, termasuk potensi penggunaan pengenal unik untuk pita cukai yang dikeluarkan untuk produsen besar. Upaya penegakan hukum untuk mendeteksi dan menuntut perdagangan dan penyalahgunaan pita cukai harus ditingkatkan. Kerjasama yang lebih erat antara otoritas pajak dan bea cukai diperlukan untuk mengatasi masalah rokok ilegal secara komprehensif.
Penelitian Lebih Lanjut: Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengukur secara kuantitatif tingkat penghindaran pajak dan pencucian uang dalam industri rokok di Indonesia. Investigasi yang lebih rinci terhadap arus keuangan dan praktik operasional “virtual entity” juga akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang isu ini.
Dengan implementasi rekomendasi-rekomendasi ini, diharapkan kesenjangan antara das sollen dan das sein dalam industri rokok di Indonesia dapat dipersempit, sehingga kepatuhan terhadap peraturan perpajakan meningkat dan potensi terjadinya tindak pidana pencucian uang dapat diminimalisir.
Artikel UU
Undang-Undang
Deskripsi Singkat Artikel
Potensi Relevansi dengan Kasus Industri Rokok
Pasal 2 (1) v
UU TPPU
Hasil tindak pidana di bidang perpajakan termasuk dalam harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dapat menjadi asal dari tindak pidana pencucian uang.
Menegaskan bahwa hasil dari penggelapan pajak dalam industri rokok dapat menjadi subjek pencucian uang jika ada upaya untuk menyembunyikan atau mengalihkan dana tersebut.
Pasal 3, 4, 5
UU TPPU
Merinci perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana pencucian uang, termasuk menempatkan, mentransfer, menyembunyikan, atau menggunakan harta kekayaan hasil tindak pidana.
Skema seperti “back-to-back loan” yang digunakan untuk menyamarkan dana hasil penjualan rokok yang tidak dilaporkan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang berdasarkan pasal-pasal ini.
Pasal 69
UU TPPU
Untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Memudahkan penegak hukum untuk menuntut kasus pencucian uang yang berasal dari penggelapan pajak dalam industri rokok, meskipun tindak pidana pajaknya belum terbukti secara terpisah.
Pasal 38
UU KUP
Mengatur sanksi pidana bagi Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara.
Relevan jika perusahaan rokok atau distributor secara tidak sengaja melakukan kesalahan dalam pelaporan pendapatan, meskipun dapat berujung pada kerugian negara.
Pasal 39
UU KUP
Mengatur sanksi pidana bagi Wajib Pajak yang dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian pada negara di bidang perpajakan, termasuk tidak melaporkan pendapatan yang sebenarnya.
Sangat relevan jika perusahaan rokok atau distributor dengan sengaja tidak melaporkan sebagian besar pendapatan penjualan tunai mereka untuk menghindari pembayaran pajak yang lebih tinggi.
Pasal 39A
UU KUP
Mengatur sanksi pidana bagi pihak yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.
Dapat relevan jika perusahaan rokok atau distributor menggunakan faktur pajak fiktif dalam skema “back-to-back loan” atau transaksi lainnya untuk menyamarkan pendapatan atau mengurangi beban pajak.
Pasal 8 (3)
UU KUP
Mengatur tentang pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri sebelum penyidikan dimulai, dengan syarat melunasi kekurangan pembayaran pajak beserta denda.
Memberikan kesempatan bagi perusahaan rokok atau distributor yang melakukan kesalahan dalam pelaporan pajak untuk mengungkapkan kesalahannya dan menghindari penyidikan dengan membayar kekurangan pajak beserta denda.
Pasal 44B
UU KUP
Mengatur tentang penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan oleh Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan setelah Wajib Pajak melunasi kerugian negara beserta denda.
Memberikan mekanisme penyelesaian kasus penggelapan pajak dalam industri rokok di luar pengadilan jika perusahaan bersedia melunasi kerugian negara dan membayar denda yang ditentukan.
Nama Kemitraan
Perusahaan Pelaksana
Fitur Operasional Utama
Potensi Implikasi terhadap Transparansi Keuangan
Gudang Garam Strategic Partnership (GGSP)
PT Gudang Garam
Pemberian spanduk, rak pajangan, terkadang rokok gratis; kontrak fleksibel; kurang terstruktur.
Kurang terstruktur, potensi kurangnya pengawasan transaksi di tingkat pengecer.
Djarum Retail Partnership (DRP)
PT Djarum
Pengecatan toko; permintaan menampilkan bungkus rokok kosong; kontrak 6 bulan atau 1 tahun.
Fokus pada promosi merek, tidak secara langsung terkait dengan pelaporan keuangan.
Sampoerna Retail Community (SRC)
PT HM Sampoerna Tbk
Penataan toko, pengecatan, pelatihan, aplikasi seluler, spanduk, rak pajangan, sistem penghargaan.
Lebih terstruktur, namun transaksi penjualan tetap di tingkat pengecer individu.